Sabtu, 20 Agustus 2011

Renungan Kemerdekaan


Pakaian kebangsaan kita, harga diri nasionalisme kita telah disobek-sobek oleh tradisi penindasan, oleh tradisi kebodohan, oleh tradisi keserakahan yang tidak habis-habis. Harus kita benahi lagi, harus kita jahit lagi, harus kita utuhkan kembali agar supaya kita siap untuk menghadap ke masa depan.

Memang kita sudah terbangun dari tidur, sudah bangun, sudah bangkit sesudah tidur terlalu nyenyak selama 30 tahun atau mungkin lebih lama dari itu. Kita memang sudah bangkit. Beribu-ribu kaum muda, berjuta-juta rakyat sudah bangkit keluar rumah dan memenuhi jalanan. Membanjiri sejarah dengan semangat menguak kemerdekaan yang terlalu lama diidamkan. Akan tetapi, mungkin karena terlalu lama kita tidak merdeka, sehingga sekarang kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan. Sehingga tidak paham beda antara demokrasi dengan anarki.

Terlalu lama kita tidak boleh berpikir. Lantas sekarang hasil pikiran kita keliru. Sehingga tidak sanggup membedakan mana asap, mana api, mana emas, mana loyang, mana nasi dan mana tinja.

Telalu lama kita hidup di dalam ketidakmenentuan nilai. Lantas sekarang semakin kabur pandangan kita atas nilai-nilai yang berlaku di dalam diri kita sendiri. Sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan diri kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri.

Terlalu lama kita hidup didalam kegelapan sehingga kita tidak mengerti bagaimana melayani cahaya. Sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang. Sehingga di dalam kegelapan gerhana bulan yang membikin kita buntu sekarang kita junjung-junjung penghianat dan kita buang para pahlawan. Kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan.

Kita memang sudah bangun, sudah bangkit bahkan kaki kita sudah berlari kesana-kemari. Namun akal pikiran kita belum, hati nurani kita belum. Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk dimulut namun ajaran-ajarannya kita biarkan hidup subur dalam aliran darah dan jiwa kita.

Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik. Kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling. Kita mencaci penguasa lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikannya. Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara setan yakni melarangnya untuk insaf dan bertobat. Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara menggusur. Kita menolak pemusnahan dengan merancang pemusnahan-pemusnahan. Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana iblis yakni kita halangi usahanya untuk memperbaiki diri.

Sesudah ditindas kita mempersiapkan diri untuk menindas. Sesudah diperbudak kita siaga untuk ganti memperbudak. Sesudah dihancurkan kita susun barisan untuk menghancurkan.

Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan melainkan asiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan tapi mengelegaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan prasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang saudara. Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri.

Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta melainkan mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kebencian dan iri hati.

Disadur dari Penyembuh Bangsa dan Menyorong Rembulan (Emha Ainun Nadjib)

Kamis, 18 Agustus 2011

PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI INDONESIA SELAMA ORDE BARU


1965:
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1966:
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967:
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969:
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970:
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972:
1. Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973:
1. Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung.
1974:
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975:
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977:
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1978:
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980:
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981:
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982:
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983:
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984:
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1985:
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

1986:
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989:
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991:
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992:
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994:
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1995:
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.
1996:
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1997:
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998:
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999.
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.

Senin, 15 Agustus 2011

FILSAFAT SEBAGAI PENDIDIKAN POLITIK

Oleh
Chusnul Murtafiin

NIETZSCHE membayangkan filsafat sebagai praktik membentuk kehidupan--sebagai perjuangan dan kegagalan serta gelombang-pasang energi ekstatik--yang mengubahnya dari malaise idealisme melalui ribuan malam-malam gelap menuju pencapaian kesehatan yang bersemangat.
Senada dengan Nietzsche, Gramsci pernah mengatakan bahwa 'filsafat yang sejati bukan merupakan cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung seluruh anasir fundamental yang dibutuhkan untuk mengonstruksi konsepsi tentang dunia yang total dan integral dan segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi masyarakat politik yang integral dalam kehidupan manusia'. (Gramsci, "Selections from Prison Notebooks", 1933). Oleh karenanya, politik Gramsci mengarahkan dia pada filsafat, dan filsafatnya sepenuhnya bersifat politis. Dengan kata lain, Gramsci melihat filsafat sebagai pendidikan politik, dan politik sebagai arena untuk menerapkan pengetahuan filosofis.
Gramsci sepenuh hati sepakat dengan Sartre bahwa apa yang dibutuhkan adalah 'sebuah teori yang meletakkan pengetahuan di dalam dunia-- dan yang menentukannya dalam negativitasnya. Dan harus dipahami bahwa mengetahui bukanlah pengetahuan tentang ide-ide, tetapi pengetahuan praktis tentang segala hal'. (Sartre, "Search for a Method", 1963).
***
GAGASAN mengenai kaitan antara filsafat dan politik sebenarnya sudah bisa ditemukan dalam pemikiran Plato yang memahami filsafat dan politik dalam terma-terma yang sama; tujuannya adalah untuk merasionalisasikan tatanan politik menurut hasil-hasil permenungan filosofis dan untuk melembagakan pencarian pengetahuan filosofis sebagai prinsip utama tatanan politik. Pemikiran ini juga dilanjutkan oleh Aristoteles yang memandang politik sepenuhnya sebagai praksis, yang banyak bergantung pada kebiasaan-kebiasaan yang baik dan pemikiran yang jernih.
Pemikiran ini kemudian dilanjutkan oleh Karl Marx yang memandang bahwa seluruh filsafat sejati bersifat autodidak: manusia yang bekerja, berproduksi, dan berpikir adalah pendidikan bagi diri mereka sendiri melalui berbagai praksis yang mereka lakukan. Marx memandang bahwa praksis individu berada dalam hubungan dialektis dengan sejarah: melalui praksis, manusia secara kolektif menciptakan sejarah mereka, yang kemudian membatasi dan mensyaratkan praksis.
Persoalan filsafat dan pendidikan, dalam pemikiran Marx, kadang-kadang direduksi menjadi persoalan-persoalan instrumental yang bisa dipecahkan melalui rasionalitas teknis dan organisasional, dan 'sekolah buruh' dilengkapi dengan konsepsi-konsepsi mengenai pendidikan proletarian yang hingga tingkat tertentu bersandar pada 'para pendidik luar'. Setidaknya ada dua konsepsi Marx yang terkenal menyangkut persoalan ini.
Yang pertama, mungkin bisa disebut dengan therapeutic image, karena peran pendidik di sini adalah bertindak sebagai semacam terapis tidak langsung yang, dalam membangunkan dunia dari mimpi-mimpinya, hanya memfasilitasi, tetapi tidak memaksakan praktis baru yang lebih tepat. Yang kedua disebut directive image di mana kaum intelektual borjuis yang memainkan peran aktif dan edukatif berusaha membangkitkan kesadaran kritis di kalangan kaum proletariat.
Dalam kondisi seperti ini, jelas bahwa peran filsafat sangat penting untuk memunculkan kesadaran yang lebih mendalam tentang realitas kehidupan yang kita hadapi. Selama ini, bangsa kita terjebak dalam pola-pikir--meminjam istilah Jameson--depthlessness sebagai akibat dari terlalu silaunya kita dengan penampakan dan bentuk, tetapi sering mengabaikan substansi dan hakikat sesuatu. Oleh karenanya, ada baiknya kita merenungkan kembali gagasan-gagsan dari para pemikir di atas perihal filsafat sebagai pendidikan politik, mengingat politik tanpa dilandasi pemikiran yang jernih dan permenungan mendalam tentang realitas kehidupan yang kita hadapi hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang jauh dari memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Ketika Gramsci--dengan mengutip Sartre--menyatakan bahwa knowing is not knowing of ideas but a practical knowing of things. Setidaknya di sini terdapat tiga konsep kunci mengenai manusia, pengetahuan, dan dunia. Mengatakan bahwa manusia adalah ansambel hubungan-hubungan sosial bukan berarti menindas kategori subjek konkret atau pribadi. Intinya adalah memahami subjek konkret yang 'mengetahui, berkehendak, menghormati, dan menciptakan' melalui 'hubungan-hubungan aktif' dengan subjek-subjek konkret lainnya dan dunia. Gramsci menekankan bahwa di antara hubungan-hubungan ini, individualitas mungkin adalah yang paling penting. Ini memberinya basis ontologis untuk memandang kebebasan manusia sebagai tergantung baik pada individualitas maupun pada kolektivitas yang ditempatkan secara tepat.
Di sini kita melihat bahwa manusia sebagai individu memiliki kemerdekaan untuk melakukan apa saja, tetapi di sisi lain, ia pun harus mempertimbangkan posisinya di antara individu-individu lain yang juga memiliki hak sama. Dengan demikian, penempatan secara proporsional individualitas dan kolektivitas akan melahirkan kehidupan sosial yang lebih mengedepankan asas keadilan dan kerja sama dengan tidak mengorbankan orang lain secara semena-semena.
Manusia juga memasuki hubungan dengan dunia alami secara aktif, dengan cara bekerja dan teknik. Bagi Gramsci, dunia ini tidak riil secara objektif, tetapi secara aktif dimunculkan oleh subjek-subjek manusia. Pada saat yang sama, kategori mengenai 'dunia' tidak selalu identik dengan kategori tentang objektifikasi manusia; Gramsci tidak menyangkal eksistensi realitas material yang independen, atau apa yang disebut Marx sebagai natural substratum. Apropriasi terhadap dunia dalam objektifikasi manusia adalah proses mediasi kompleks yang dibimbing oleh kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan manusia.
Manusia mengetahui fenomena bukan melalui pilihan semena-mena, tetapi sebagai 'kualitas-kualitas' yang telah diisolasi sebagai akibat dari kepentingan-kepentingan praktisnya dan kepentingan-kepentingan ilmiahnya. Gramsci memandang kepentingan-kepentingan ini bukan sebagai entitas-entitas yang terpisah secara analitis, tetapi sebagai aspek-aspek yang saling menembus (interprenetrating aspects) dari nexus subjek dan dunia yang terpadu.
Oleh karenanya, gambaran umum tentang kehidupan manusia yang muncul dalam reaopropriasi Gramsci terhadap Marx adalah bahwa individu-individu konkret secara aktif mentransformasikan dunia alami dalam sebuah proses kolektif kerja sosial yang dibimbing oleh kepentingan-kepentingan praktis dan ilmiah bersama. Manusia adalah pembentuk, sekaligus dibentuk oleh, dunia.
Dari pembedaan kepentingan ini, Gramsci kemudian mengklasifikasikan kaum intelektual menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator yang secara terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi, yang sebagian besar (atau seluruh kerjanya) didasarkan pada kepentingan ilmiah; dan kedua adalah intelektual organik, yang dipandang Gramsci sebagai kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Intelektual organik inilah yang kemudian membawa angin perubahan dalam masyarakat karena mereka bekerja berdasarkan kepentingan praktis. Dan ke arah mana perubahan itu--perbaikan dan keruntuhan--banyak tergantung pada para politisi dan/atau pengusaha yang menggunakan jasa intelektual untuk kepentingannya, selain otonomi atau kemandirian seorang intelektual untuk menerima atau menolak 'pesanan' tertentu.
***
UPAYA untuk mengaitkan filsafat dengan politik dan transformasi sosial dalam masyarakat juga terdapat dalam pemikiran tokoh-tokoh teori kritis yang, menurut Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1972), membedakan dirinya dari teori 'tradisional' dengan mengklaim sebagai teori yang memiliki 'maksud praktis'. Dalam hal ini, teori kritis menemukan inspirasinya dalam "Theses on Feurbach" kesebelas-nya Marx yang terkenal: Selama ini, para filsuf hanya menginterpretasikan dunia, dengan beragam cara; padahal yang lebih penting adalah bagaimana mengubah-nya.
Teori kritis merupakan kritik terhadap kapitalisme, apropriasinya atas nilai-nilai kolektif, dan komodifikasinya atas segala aspek masyarakat modern. Ia memberikan pemahaman yang lebih baik atas kondisi-kondisi sosial sekarang, bagaimana kondisi-kondisi ini berubah, bagaimana kondisi-kondisi ini ditransformasikan, bagaimana kondisi-kondisi ini berinteraksi satu sama lain, hukum-hukum apa yang mengatur transformasi mereka, dan bagaimana kondisi-kondisi itu mempertahankan keabsahannya. Tugas yang kompleks ini dicapai melalui pendekatan multi-disiplin yang memadukan berbagai perspektif yang berasal dari banyak bidang kajian yang berbeda. Bidang-bidang ini termasuk kajian ekonomi, sejarah, filsafat, politik, psikologi, dan sosiologi. Namun, tidak berarti bahwa teori kritis hanya terbatas pada bidang-bidang ini. Bertentangan dengan kepercayaan banyak ilmuwan, teori kritis pada hakikatnya bersifat swa-refleksif dan dikendalikan nilai. Tujuan akhir dari teori kritis adalah mentransformasikan masyarakat sekarang menjadi masyarakat yang adil, rasional, manusiawi, dan damai. Teori kritis memiliki beberapa tugas mendasar, tetapi tidak terbatas hanya pada tugas-tugas ini, yang sama pentingnya dalam situasi historis sekarang. Sebagian tugas dari teori kritis antara lain:
1. Mempromosikan pendidikan yang diversified bagi seluruh individu dengan maksud untuk menghindarkan mereka dari spesialisasi yang berlebihan. Ini akan menciptakan individu-individu dengan fakultas-fakultas mental yang kuat yang akan mampu berpikir secara kritis mengenai kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.
2. Menciptakan keseimbangan sosial antara otonomi personal individu dan solidaritas universal kolektif.
3. Mempromosikan revolusi melawan segala bentuk fasisme dan nasionalisme buta.
4. Mempromosikan revolusi melawan segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin, orientasi seksual, ras, dan kepercayaan agama, dan
5. Mempertahankan nilai-nilai moral yang baik yang mempromosikan solidaritas dan membantu menciptakan sebuah masyarakat yang adil, manusiawi, rasional, dan damai.
***
SEBAGAI penutup, saya akan mengutip pandangan Paulo Freire mengenai pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran politik, dengan harapan kita bisa bercermin dari pemikiran-pemikiran ini guna memperbaiki baik sistem pendidikan kita maupun tatanan politik bangsa kita menuju bangsa yang lebih berkeadilan dan demokratis.
Seperti ditulis oleh Peter L. Berger dalam "Pyramids of Sacrifice" (1974), pada permulaan tahun 1960-an, sebelum kaum militer melancarkan kudeta, Paulo Freire dan teman-teman sekerjanya melakukan percobaan dengan sebuah metode baru dalam pendidikan membaca dan menulis di kawasan Timur Laut Brazil. Gagasan dasar dalam pendekatan baru tersebut sederhana: Mengajar membaca dan menulis bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari kegiatan lebih besar untuk memperluas cakrawala dari orang-orang yang sebelumnya buta huruf. Salah satu segi yag penting dari kegiatan ini bersifat politis. Orang-orang buta huruf itu belajar membaca dan menulis melalui pembahasan berbagai topik--yang disebut Freire sebagai generative themes--yang menyangkut kehidupan sosial yang mereka alami sehari-hari. Bagi kaum proletar yang menjalani proses pemiskinan di kawasan Timur Laut tersebut, hal ini terutama berarti perampasan, pengisapan, dan penindasan. Tujuan pendidikan adalah menggabungkan 'alfabetisasi' dengan kesengajaan menanamkan kesadaran tentang fakta-fakta penindasan, dan juga pemahaman atas semua kekuatan (ekonomi, politik, struktur sosial) yang dianggap sebagai penyebab timbulnya fakta-fakta penindasan ini. Namun, Freire terutama berkepentingan untuk memupuk perkembangan kesadaran politik tersebut ketimbang pemberantasan buta huruf itu sendiri. Jadi, pada intinya, metodenya adalah metode pendidikan politik--lebih tepat, metode pendidikan untuk aktivitas politik.
Tujuan yang pada intinya politis inilah, lebih daripada pembahasan, pembaruan teknis dalam pendidikan membaca dan menulis, yang menimbulkan minat terhadap metode Freire di seluruh dunia. Ia menyebut metodenya sebagai concientizacao--secara harfiah berarti 'menyadarkan'. Istilah itu menjadi terkenal di dunia internasional--sebagai concientizacion di Amerika Latin yang berbahasa Spanyol, sebagai Bewusstmachung di kalangan kiri Jerman, dan sebagai consciousness raising di Amerika Serikat. Dalam pemakaian istilah itu yang biasa sekarang ini, kaitan pendidikannya yang asli dikesampingkan. Namun, 'peningkatan kesadaran' dipandang sebagai metode untuk mengajar kelompok tertindas apa pun juga agar memahami kondisinya dan (dan kesatuan antara teori dan praksis) untuk menggiatkan mereka secara politis demi mengubah kondisi mereka secara revolusioner.
"Pedagogy of the Oppressed"-nya (1970) Freire juga memusatkan perhatian pada a transformed consciousness semacam ini, tetapi ia didedikasikan untuk pemberdayaan kaum tertindas (para petani miskin di Amerika Tengah) melalui berbagai macam metode, termasuk self-directed dan pendidikan yang tepat. Ia juga merujuk pada kesadaran palsu dari para penindas, dan menekankan kebutuhan untuk mengarahkan penindas agar mau melihat bagaimana 'reifikasi' telah mengakibatkan dehumanisasi baik terhadap penindas maupun yang ditindas. Konsen utama Freire terletak pada upaya transformasi sosial para oligarki politis masyarakat Amerika Latin dengan memberi pendidikan baik kepada penindas maupun yang ditindas melalui swa-refleksi kritis (conscientisation) mengenai situasi sosial-politik yang mereka hadapi untuk kemudian mengubahnya menjadi situasi yang lebih baik, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0702/18/0802.htm

Dominasi Negara dan Kerusakan Lingkungan


ign: center;">
Oleh: Adji Samekto
Ada hubungan erat antara teori modernisasi atau pembangunan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, dan kerusakan lingkungan. Tulisan ini mencoba mengurai fenomena modernisasi model dunia ketiga, yang ternyata menjadi penyebab kerusakan lingkungan.
Penggunaan istilah modernisasi sering ditukarbalikkan dengan istilah pembangunan sehingga modernisasi dianggap memiliki kesamaan arti dengan pembangunan (Mansour Fakih, 2001). Sesuai dengan itu maka dikatakan teori modernisasi sebenarnya sama dengan teori pembangunan, yang pada dasarnya merupakan teori perubahan sosial .
Sebagaimana diketahui, setelah Perang Dunia II, negara-negara Eropa Barat mengalami banyak kesulitan ekonomi. Untuk memulihkan, negara-negara Eropa Barat dan AS melakukan konsolidasi. Hasilnya adalah perubahan dalam hubungan antarnegara di bidang sosial, ekonomi dan politik.
Negara-negara Eropa Barat dan AS tidak mungkin lagi melakukan penjajahan fisik. Dominasi kapitalisme kemudian diwujudkan dalam penjajahan non-fisik. Hal yang menambah kekhawatiran negara-negara Barat, pada masa itu perang dingin mulai melanda dunia.
Amerika dan negara-negara Eropa Barat menyadari situasi ini sehingga mereka mendorong para ilmuwan sosial mengembangkan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negara-negara dunia ketiga namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri.
Oleh karena itulah di bidang sosial, mulai dilakukan rekayasa dengan penyusunan teori-teori sosial. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang adalah teori modernisasi atau teori pembangunan.
Dalam perspektif ilmuwan Barat, pengertian modernisasi menunjuk kepada satu tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri di Inggris 1760-1830 dan revolusi politik di Prancis 1789-1794 (Bendix, 1980).
Modernisasi dalam konteks itu merujuk pada perubahan sosial sejak abad ke-18, yang terdiri atas kemajuan dalam masyarakat Inggris dan Prancis serta perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Jadi modernisasi merupakan satu tipe perubahan sosial yang merujuk pada revolusi industri dan politik dalam masyarakat Barat .
Dalam konteks modernisasi, penggunaan cara-cara budaya Barat maupun pemasukan barang-barang materi Barat merupakan bagian dari modernisasi. Oleh karena itu, proses modernisasi disebut sebagai westernisasi, dengan komponen-komponennya yang terdiri atas industrialisasi, demokrasi, dan ekonomi pasar (Fred W.Riggs 1980).
Maka dikatakan oleh Vedi R.Hadiz (1999), bahwa modernisasi diukur berdasarkan sejauh mana pola-pola dan nilai-nilai demokrasi Barat tertanam dan berkembang dalam masyarakat. Modernisasi negara-negara dunia ketiga lalu dilihat dari kemampuan negara yang bersangkutan dalam mengembangkan pola-pola kehidupan politik sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasionalitas dan objektivitas dalam ukuran negara-negara Barat, pencetus kapitalisme.
Dalam konstruksi teori modernisasi dari Barat, sebenarnya peran negara telah dikurangi seminimal mungkin. Ini sesuai paham kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat.
Negara berperan sekadar sebagai fasilitator untuk menjamin kelancaran berjalannya mekanisme pasar bebas. Mereka yang melakukan kegiatan dalam rangka modernisasi adalah pengusaha, industri yang didukung petani dan buruh.
Masing-masing saling melakukan interaksi dalam mekanisme pasar bebas yang sehat dan kompetitif. Kelas pekerja yang terampil dan kelas menengah yang energik, mandiri dan menentukan, mendorong timbulnya kekuatan-kekuatan politik sehingga negara tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Di sinilah muncul apa yang diistilahkan sebagai era of right dan negara demokratik modern .
Model Dunia Ketiga
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara dunia ketiga, ternyata menunjukkan hal yang sangat jauh dari idealisme di atas. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara dunia ketiga justru menimbulkan dominasi peran negara .
Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan negara.
Sedangkan modernisasi di negara-negara dunia ketiga membutuhkan modal besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Gerschenkron sebagaimana dikutip Agus Subagyo (2002) menyatakan makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi , makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya negara harus terlibat dalam pembangunan ekonomi.
Keterlibatan negara inilah yang mendorong negara untuk terjun dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan (Agus Subagyo, 2002).
Dengan demikian jelas adanya kenyataan yang berlawanan antara negara-negara Eropa Barat dan negara-negara dunia ketiga. Jika modernisasi di Eropa Barat dan AS yang banyak berperan aktor-aktor non-negara, sebaliknya di dunia ketiga yang berperan negara.
Dominasi negara ternyata menciptakan kolaborasi-kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dan penguasa (negara).
Kekuatan kapitalisme global berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang harus terus-menerus diperbesar demi akumulasi keuntungan.
Penguasa berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi sesaat yang bisa diperoleh karena kewenangannya. Karena itu tidak mengherankan apabila di Indonesia, banyak kasus lingkungan hidup yang tidak direspons dengan sungguh oleh pemerintah atau kandas di pengadilan.
Pembuatan peraturan di bidang lingkungan pun banyak yang tidak melibatkan rakyat. Demikianlah maka untuk kepentingan-kepentingan kelanggengan koalisi rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Keadaan diperparah dengan tidak efektifnya penegakan hukum untuk melindungi lingkungan.
Maka terjadinya kerusakan lingkungan di Indonesia dengan berbagai modusnya seperti pembabatan hutan, penebangan liar, pembangunan areal pemukiman secara sembarangan yang menyebabkan banjir.
Pembiaran pengambilan keragaman hayati oleh perusahaan-perusahaan asing, ataupun diberikannya izin pembuangan limbah dari negara asing ke negara kita, bisa dipahami dalam konteks dominasi negara yang memunculkan koalisi kepentingan.
Untuk mengikis koalisi kepentingan yang merusak lingkungan, demokratisasi di bidang pengelolaan lingkungan menjadi tidak terelakkan. Persoalan lingkungan hidup terlalu penting untuk diserahkan begitu saja kepada politisi dan birokrat negara.
Suara masyarakat harus didengar dan dihargai dalam merumuskan pilihan-pilihan yang akan diambil. Sebab masyarakat itu sendirilah yang nanti akan menanggung akibat kerusakan lingkungan.
Pengingkaran terhadap keharusan-keharusan itu niscaya akan menyebabkan peraturan-peraturan perlindungan lingkungan tidak efektif selamanya.(33)

sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0206/05/kha1.htm

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan