Oleh : Taufik Nurohman
Saya yakin ada diantara pembaca yang tidak setuju dengan judul artikel ini. Tetapi kita tidak bisa menafikan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya kita. Kita banyak mendengar ataupun membaca di media massa bahwa Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia dan sebetulnya kita dapat melihat dengan jelas bahwa korupsi yang merajalela di negeri ini betul betul terjadi secara terang-terangan dan melibatkan banyak kalangan, pemerintah baik pusat maupun daerah, organisasi politik, organisasi bisnis, organisasi sosial kemasyarakatan bahkan kalangan akademis pun tidak luput dari serangan virus korupsi ini. Banyak fakta empiris yang ada di hadapan kita maupun hasil penelitian yang menunjukan bahwa korupsi sudah menjadi budaya sehingga pada akhirnya dapat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat. Kisah seorang Gayus Tambunan yang dapat membeli hukum dengan uang telah memekakan mata kita bahwa korupsi sudah menjadi “virus ganas” yang dapat menyerang siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Korupsi sudah menjadi “virus ganas” yang menggerogoti logika dan pemikiran masyarakat yang sudah memasuki kawasan yang sulit dijangkau oleh tangan hukum.
Syed Hussain Alatas dalam bukunya Corruption and the Destiniy of Asia menyatakan bahwa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi jika memenuhi beberapa karakteristik berikut ini: (a) korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang; (b) korupsi secara keseluruhan melibatkan kerahasiaan, kecuali jika sudah membayar; (c) korupsi melibatkan elemen saling menguntungkan dan saling berkewajiban; (d) pihak-pihak yang melakukan korupsi biasanya bersembunyi di balik justifikasi hukum; (e) pihak-pihak yang terliabat dalam korupsi adalah pihak yang berkepentingan terhadap suatu keputusan dan dapat mempengaruhi keputusan tersebut; (f) setiap tindak korupsi melibatkan kebohongan atau kecurangan terhadap publik; (g) setiap tindak korupsi merupakan penghianatan terhadap kepercayaan; (h) melibatkan fungsi ganda yang saling bertolak belakang dari sisi pelaku; (i) melanggar norma-norma tugas dan tanggung jawab dalam aturan-aturan sipil.
Sementara itu, H. A. Brazz menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebagai korupsi jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (a) kekuasaan yang dialihkan; (b) kekuasaan yang dialihkan tersebut dipakai berdasarkan wewenang yag melekat pada kekuasaaan itu atau berdasarkan kemampuan-kemampuan yang formal; (c) kekuasaan itu dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan asli; (d) kekuasaan tersebut dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang luar; (e) pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara secara tersembunyi dengan dalih menurut hukum.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa budaya korupsi diproduksi oleh perilaku masyarakat yang mendewakan materi sehingga masyarakat tersebut dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan uang sebagai salah satunya jalan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan uang seseorang akan mendapat perlakuan dan pelayanan yang terbaik mulai dari penilaian dari orang lain sampai pada pelayanan yang dibutuhkan akan didapat dengan mudah. Contoh sederhananya di negeri ini jika ada seseorang yang sakit akan mendapat pelayaan yang baik dan cepat jika ia datang ke rumah sakit dengan membawa uang. Sebaliknya, pelayanan yang buruk atau bahkan dapat terkesan tidak dilayani akan terasa jika orang miskin yang sakit dan tidak mempunyai uang datang ke sebuah rumah sakit. Contoh lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah seorang anak akan dapat bersekolah di sekolah manapun yang ia inginkan jika orang tuanya mempunyai banyak uang karena untuk masuk di sekolah favorit ada tarif tertentu yang harus calon siswa bayar.
Perilaku masyarakat demikianlah yang kemudian menjadikan korupsi sebagai salah satu dari budaya kita. Budaya korupsi dipahami sebagai sebuah perilaku korupsi yang telah dilakukan secara terus menerus dalam praktik-praktik kehidupan masyarakat dan mendapat permakluman sebagian besar masyarakat. Budaya korupsi ini lama kelamaan sangat akrab dengan masyarakat karena memang dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat hidup dengan nilai-nilai budaya ini. Korupsi seakan menjadi kebiasaan yang legal dan tidak dilarang dalam segi pandangan agama, susila dan hukum. Istilah “sama-sama tahu” sudah menjadi kebiasaan ketika kita melihat perilaku korupsi di hadapan kita terlebih jika kita ikut mencicipi buahnya yang sudah tentu tidak halal itu. Atau stigma “ada fulus urusan mulus” sangat akrab dengan telinga masyarakat. Bahkan istilah “korupsi berjamaah” sudah sangat seting kita dengan dan kita lihat di depan mata kepala kita. Korupsi yang sudah sedemikian membudaya itu mencerminkan bobroknya kepribadian bangsa ini.
Sikap masyarakat yang lunak dan permisif terhadap penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat telah menjadi lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya budaya korupsi di negeri ini. Karena itu, korupsi dianggap sebagai masalah biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Hal yang sangat sederhana tetapi sulit untuk dilakukan sebenarnya dapat lakukan untuk mengikis budaya korupsi ini. Hal tersebut adalah merubah pola pikir kita bahwa korupsi bukan sebuah budaya namun sebuah penyimpangan yang harus kita hindari. Karena sebetulya budaya atau kebudayaan sangat dipengaruhi oleh pola pikir manusia. Pola pikir manusia dapat diimplementasikan dalam kebudayaan. Ini disebabkan karena secara harfiah kebudayaan adalah hasil dari pola pikir manusia. Oleh kerena itu pola pikir manusia sangat banyak mempengaruhi kebudayaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Agar kita mempunyai pola pikir bahwa korupsi itu adalah suatu penyimpangan yang seharusnya kita hindari kita harus dahulu mengenal hal-hal atau tindakan-tindakan yang mungkin kita sering lakukan dan menganggapnya hal yang biasa dan legal namun sesungguhnya hal-hal itu lebih mendekatkan diri kita pada perilaku korup. Berikut adalah tindakan-tindakan yang sering kita lihat atau bahkan kita lakukan yang sebenarnya ini merupakan benih-benih atau bahkan sudah menjadi tunas dari tindakan korupsi yang terjadi di lingkungan organisasi/kantor dimana kita bekerja, tindakan-tindakan tersebut antara lain:
1. Jika ditunjuk dalam proyek pengadaan barang/jasa di organisasi/kantor tempat bekerja, menghubungi rekanannya dan berjanji menggunakan jasa atau barangnya asal harga barang atau nilai kontrak ditinggikan/dinaikan untuk masuk kantong pribadi.
2. Memenangkan rekanan tertentu dalam tender atau menunjuknya secara langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (di-mark up) untuk masuk kantong pribadi.
3. Membuat spesifikasi barang yang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanannya, dengan maksud mendapatkan keuntungan pribadi dengan melakukan mark-up harga barang dan nilai kontrak.
4. Menggunakan dana/anggaran dari pos yang tidak sesuai dengan peruntukannya, lalu membuat laporan fiktif.
5. Menggunakan dana organisasi/kantor untuk kepentingan pribadi dengan membuat pertanggungjawaban fiktif.
6. Menjual aset organisasi/kantor dengan laporan barang rusak atau sudah tidak berfungsi lagi.
7. Meminta uang jasa dibayar di muka kepada rekanan sebelum melaksanakan proyek.
8. Menerima sejumlah uang atau barang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
9. Membuka rekening atas nama organisasi/kantor dengan specimen pribadi untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
10. Menerima jasa/bunga dari giro/tabungan dana organisasi/kantor yang ditempatkan di bank.
11. Menyewakan atau mengelola sendiri aset organisasi/kantor dan hasilnya masuk ke kantong pribadi.
12. Menerima uang/barang sehubungan dengan tugas dan pekerjaannya dari pihak ketiga/bagian lain dalam organisasi/kantor tersebut yang diuntungkan olehnya.
13. Membeli barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali kepada organisasi/kantor dengan harga yang di mark-up.
14. Mencicil harga barang pribadinya dengan menggunakan uang kantor.
15. Menggunakan dana untuk keperluan pribadi dengan beban organinsasi.
Hal-hal atau tindakan-tindakan tersebut diataslah sebagai beberapa yang seharusnya kita anggap sebagai sebuah penyimpangan, bukan sebagai sesuatu yang sudah biasa terjadi atau sesuatu yang dihalalkan untuk dilakukan demi mendapatkan keuntungan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Artinya dengan meninggalkan tindakan-tindakan tersebut diatas yang sudah menjadi kebiasaan maka paling tidak kita telah memberikan sumbangan besar dalam upaya mengkikis budaya korupsi yang dimulai dari diri sendiri untuk masa depan bangsa yang lebih baik.