Sabtu, 20 Agustus 2011

Renungan Kemerdekaan


Pakaian kebangsaan kita, harga diri nasionalisme kita telah disobek-sobek oleh tradisi penindasan, oleh tradisi kebodohan, oleh tradisi keserakahan yang tidak habis-habis. Harus kita benahi lagi, harus kita jahit lagi, harus kita utuhkan kembali agar supaya kita siap untuk menghadap ke masa depan.

Memang kita sudah terbangun dari tidur, sudah bangun, sudah bangkit sesudah tidur terlalu nyenyak selama 30 tahun atau mungkin lebih lama dari itu. Kita memang sudah bangkit. Beribu-ribu kaum muda, berjuta-juta rakyat sudah bangkit keluar rumah dan memenuhi jalanan. Membanjiri sejarah dengan semangat menguak kemerdekaan yang terlalu lama diidamkan. Akan tetapi, mungkin karena terlalu lama kita tidak merdeka, sehingga sekarang kita tidak begitu mengerti bagaimana mengerjakan kemerdekaan. Sehingga tidak paham beda antara demokrasi dengan anarki.

Terlalu lama kita tidak boleh berpikir. Lantas sekarang hasil pikiran kita keliru. Sehingga tidak sanggup membedakan mana asap, mana api, mana emas, mana loyang, mana nasi dan mana tinja.

Telalu lama kita hidup di dalam ketidakmenentuan nilai. Lantas sekarang semakin kabur pandangan kita atas nilai-nilai yang berlaku di dalam diri kita sendiri. Sehingga yang kita jadikan pedoman kebenaran hanyalah kemauan diri kita sendiri, nafsu kita sendiri, kepentingan kita sendiri.

Terlalu lama kita hidup didalam kegelapan sehingga kita tidak mengerti bagaimana melayani cahaya. Sehingga kita tidak becus mengurusi bagaimana cahaya terang. Sehingga di dalam kegelapan gerhana bulan yang membikin kita buntu sekarang kita junjung-junjung penghianat dan kita buang para pahlawan. Kita bela kelicikan dan kita curigai ketulusan.

Kita memang sudah bangun, sudah bangkit bahkan kaki kita sudah berlari kesana-kemari. Namun akal pikiran kita belum, hati nurani kita belum. Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk dimulut namun ajaran-ajarannya kita biarkan hidup subur dalam aliran darah dan jiwa kita.

Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik. Kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling. Kita mencaci penguasa lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikannya. Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara setan yakni melarangnya untuk insaf dan bertobat. Kita memperjuangkan gerakan anti penggusuran dengan cara menggusur. Kita menolak pemusnahan dengan merancang pemusnahan-pemusnahan. Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana iblis yakni kita halangi usahanya untuk memperbaiki diri.

Sesudah ditindas kita mempersiapkan diri untuk menindas. Sesudah diperbudak kita siaga untuk ganti memperbudak. Sesudah dihancurkan kita susun barisan untuk menghancurkan.

Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan melainkan asiknya perpecahan. Yang kita bangun bukan nikmatnya kemesraan tapi mengelegaknya kecurigaan. Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan melainkan prasangka dan fitnah. Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka melainkan rencana-rencana panjang untuk menyelenggarakan perang saudara. Yang kita kembang suburkan adalah kebiasaan memakan bangkai saudara-saudara kita sendiri.

Kita tidak memperluas cakrawala dengan menabur cinta melainkan mempersempit dunia kita sendiri dengan lubang-lubang kebencian dan iri hati.

Disadur dari Penyembuh Bangsa dan Menyorong Rembulan (Emha Ainun Nadjib)

Kamis, 18 Agustus 2011

PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI INDONESIA SELAMA ORDE BARU


1965:
1. Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1966:
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967:
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969:
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970:
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972:
1. Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973:
1. Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung.
1974:
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975:
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977:
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1978:
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980:
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981:
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982:
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983:
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984:
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1985:
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.

1986:
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989:
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991:
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992:
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994:
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1995:
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.
1996:
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1997:
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998:
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998.
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999.
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.

Senin, 15 Agustus 2011

FILSAFAT SEBAGAI PENDIDIKAN POLITIK

Oleh
Chusnul Murtafiin

NIETZSCHE membayangkan filsafat sebagai praktik membentuk kehidupan--sebagai perjuangan dan kegagalan serta gelombang-pasang energi ekstatik--yang mengubahnya dari malaise idealisme melalui ribuan malam-malam gelap menuju pencapaian kesehatan yang bersemangat.
Senada dengan Nietzsche, Gramsci pernah mengatakan bahwa 'filsafat yang sejati bukan merupakan cabang kajian yang terisolasi, tetapi dalam dirinya sendiri mengandung seluruh anasir fundamental yang dibutuhkan untuk mengonstruksi konsepsi tentang dunia yang total dan integral dan segala hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan organisasi masyarakat politik yang integral dalam kehidupan manusia'. (Gramsci, "Selections from Prison Notebooks", 1933). Oleh karenanya, politik Gramsci mengarahkan dia pada filsafat, dan filsafatnya sepenuhnya bersifat politis. Dengan kata lain, Gramsci melihat filsafat sebagai pendidikan politik, dan politik sebagai arena untuk menerapkan pengetahuan filosofis.
Gramsci sepenuh hati sepakat dengan Sartre bahwa apa yang dibutuhkan adalah 'sebuah teori yang meletakkan pengetahuan di dalam dunia-- dan yang menentukannya dalam negativitasnya. Dan harus dipahami bahwa mengetahui bukanlah pengetahuan tentang ide-ide, tetapi pengetahuan praktis tentang segala hal'. (Sartre, "Search for a Method", 1963).
***
GAGASAN mengenai kaitan antara filsafat dan politik sebenarnya sudah bisa ditemukan dalam pemikiran Plato yang memahami filsafat dan politik dalam terma-terma yang sama; tujuannya adalah untuk merasionalisasikan tatanan politik menurut hasil-hasil permenungan filosofis dan untuk melembagakan pencarian pengetahuan filosofis sebagai prinsip utama tatanan politik. Pemikiran ini juga dilanjutkan oleh Aristoteles yang memandang politik sepenuhnya sebagai praksis, yang banyak bergantung pada kebiasaan-kebiasaan yang baik dan pemikiran yang jernih.
Pemikiran ini kemudian dilanjutkan oleh Karl Marx yang memandang bahwa seluruh filsafat sejati bersifat autodidak: manusia yang bekerja, berproduksi, dan berpikir adalah pendidikan bagi diri mereka sendiri melalui berbagai praksis yang mereka lakukan. Marx memandang bahwa praksis individu berada dalam hubungan dialektis dengan sejarah: melalui praksis, manusia secara kolektif menciptakan sejarah mereka, yang kemudian membatasi dan mensyaratkan praksis.
Persoalan filsafat dan pendidikan, dalam pemikiran Marx, kadang-kadang direduksi menjadi persoalan-persoalan instrumental yang bisa dipecahkan melalui rasionalitas teknis dan organisasional, dan 'sekolah buruh' dilengkapi dengan konsepsi-konsepsi mengenai pendidikan proletarian yang hingga tingkat tertentu bersandar pada 'para pendidik luar'. Setidaknya ada dua konsepsi Marx yang terkenal menyangkut persoalan ini.
Yang pertama, mungkin bisa disebut dengan therapeutic image, karena peran pendidik di sini adalah bertindak sebagai semacam terapis tidak langsung yang, dalam membangunkan dunia dari mimpi-mimpinya, hanya memfasilitasi, tetapi tidak memaksakan praktis baru yang lebih tepat. Yang kedua disebut directive image di mana kaum intelektual borjuis yang memainkan peran aktif dan edukatif berusaha membangkitkan kesadaran kritis di kalangan kaum proletariat.
Dalam kondisi seperti ini, jelas bahwa peran filsafat sangat penting untuk memunculkan kesadaran yang lebih mendalam tentang realitas kehidupan yang kita hadapi. Selama ini, bangsa kita terjebak dalam pola-pikir--meminjam istilah Jameson--depthlessness sebagai akibat dari terlalu silaunya kita dengan penampakan dan bentuk, tetapi sering mengabaikan substansi dan hakikat sesuatu. Oleh karenanya, ada baiknya kita merenungkan kembali gagasan-gagsan dari para pemikir di atas perihal filsafat sebagai pendidikan politik, mengingat politik tanpa dilandasi pemikiran yang jernih dan permenungan mendalam tentang realitas kehidupan yang kita hadapi hanya akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang jauh dari memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Ketika Gramsci--dengan mengutip Sartre--menyatakan bahwa knowing is not knowing of ideas but a practical knowing of things. Setidaknya di sini terdapat tiga konsep kunci mengenai manusia, pengetahuan, dan dunia. Mengatakan bahwa manusia adalah ansambel hubungan-hubungan sosial bukan berarti menindas kategori subjek konkret atau pribadi. Intinya adalah memahami subjek konkret yang 'mengetahui, berkehendak, menghormati, dan menciptakan' melalui 'hubungan-hubungan aktif' dengan subjek-subjek konkret lainnya dan dunia. Gramsci menekankan bahwa di antara hubungan-hubungan ini, individualitas mungkin adalah yang paling penting. Ini memberinya basis ontologis untuk memandang kebebasan manusia sebagai tergantung baik pada individualitas maupun pada kolektivitas yang ditempatkan secara tepat.
Di sini kita melihat bahwa manusia sebagai individu memiliki kemerdekaan untuk melakukan apa saja, tetapi di sisi lain, ia pun harus mempertimbangkan posisinya di antara individu-individu lain yang juga memiliki hak sama. Dengan demikian, penempatan secara proporsional individualitas dan kolektivitas akan melahirkan kehidupan sosial yang lebih mengedepankan asas keadilan dan kerja sama dengan tidak mengorbankan orang lain secara semena-semena.
Manusia juga memasuki hubungan dengan dunia alami secara aktif, dengan cara bekerja dan teknik. Bagi Gramsci, dunia ini tidak riil secara objektif, tetapi secara aktif dimunculkan oleh subjek-subjek manusia. Pada saat yang sama, kategori mengenai 'dunia' tidak selalu identik dengan kategori tentang objektifikasi manusia; Gramsci tidak menyangkal eksistensi realitas material yang independen, atau apa yang disebut Marx sebagai natural substratum. Apropriasi terhadap dunia dalam objektifikasi manusia adalah proses mediasi kompleks yang dibimbing oleh kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan manusia.
Manusia mengetahui fenomena bukan melalui pilihan semena-mena, tetapi sebagai 'kualitas-kualitas' yang telah diisolasi sebagai akibat dari kepentingan-kepentingan praktisnya dan kepentingan-kepentingan ilmiahnya. Gramsci memandang kepentingan-kepentingan ini bukan sebagai entitas-entitas yang terpisah secara analitis, tetapi sebagai aspek-aspek yang saling menembus (interprenetrating aspects) dari nexus subjek dan dunia yang terpadu.
Oleh karenanya, gambaran umum tentang kehidupan manusia yang muncul dalam reaopropriasi Gramsci terhadap Marx adalah bahwa individu-individu konkret secara aktif mentransformasikan dunia alami dalam sebuah proses kolektif kerja sosial yang dibimbing oleh kepentingan-kepentingan praktis dan ilmiah bersama. Manusia adalah pembentuk, sekaligus dibentuk oleh, dunia.
Dari pembedaan kepentingan ini, Gramsci kemudian mengklasifikasikan kaum intelektual menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah intelektual tradisional semacam guru, ulama, dan para administrator yang secara terus-menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi, yang sebagian besar (atau seluruh kerjanya) didasarkan pada kepentingan ilmiah; dan kedua adalah intelektual organik, yang dipandang Gramsci sebagai kalangan yang berhubungan langsung dengan kelas atau perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan mereka untuk berbagai kepentingan, serta untuk memperbesar kekuasaan dan kontrol. Intelektual organik inilah yang kemudian membawa angin perubahan dalam masyarakat karena mereka bekerja berdasarkan kepentingan praktis. Dan ke arah mana perubahan itu--perbaikan dan keruntuhan--banyak tergantung pada para politisi dan/atau pengusaha yang menggunakan jasa intelektual untuk kepentingannya, selain otonomi atau kemandirian seorang intelektual untuk menerima atau menolak 'pesanan' tertentu.
***
UPAYA untuk mengaitkan filsafat dengan politik dan transformasi sosial dalam masyarakat juga terdapat dalam pemikiran tokoh-tokoh teori kritis yang, menurut Theodor Adorno dan Max Horkheimer dalam Dialectic of Enlightenment (1972), membedakan dirinya dari teori 'tradisional' dengan mengklaim sebagai teori yang memiliki 'maksud praktis'. Dalam hal ini, teori kritis menemukan inspirasinya dalam "Theses on Feurbach" kesebelas-nya Marx yang terkenal: Selama ini, para filsuf hanya menginterpretasikan dunia, dengan beragam cara; padahal yang lebih penting adalah bagaimana mengubah-nya.
Teori kritis merupakan kritik terhadap kapitalisme, apropriasinya atas nilai-nilai kolektif, dan komodifikasinya atas segala aspek masyarakat modern. Ia memberikan pemahaman yang lebih baik atas kondisi-kondisi sosial sekarang, bagaimana kondisi-kondisi ini berubah, bagaimana kondisi-kondisi ini ditransformasikan, bagaimana kondisi-kondisi ini berinteraksi satu sama lain, hukum-hukum apa yang mengatur transformasi mereka, dan bagaimana kondisi-kondisi itu mempertahankan keabsahannya. Tugas yang kompleks ini dicapai melalui pendekatan multi-disiplin yang memadukan berbagai perspektif yang berasal dari banyak bidang kajian yang berbeda. Bidang-bidang ini termasuk kajian ekonomi, sejarah, filsafat, politik, psikologi, dan sosiologi. Namun, tidak berarti bahwa teori kritis hanya terbatas pada bidang-bidang ini. Bertentangan dengan kepercayaan banyak ilmuwan, teori kritis pada hakikatnya bersifat swa-refleksif dan dikendalikan nilai. Tujuan akhir dari teori kritis adalah mentransformasikan masyarakat sekarang menjadi masyarakat yang adil, rasional, manusiawi, dan damai. Teori kritis memiliki beberapa tugas mendasar, tetapi tidak terbatas hanya pada tugas-tugas ini, yang sama pentingnya dalam situasi historis sekarang. Sebagian tugas dari teori kritis antara lain:
1. Mempromosikan pendidikan yang diversified bagi seluruh individu dengan maksud untuk menghindarkan mereka dari spesialisasi yang berlebihan. Ini akan menciptakan individu-individu dengan fakultas-fakultas mental yang kuat yang akan mampu berpikir secara kritis mengenai kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.
2. Menciptakan keseimbangan sosial antara otonomi personal individu dan solidaritas universal kolektif.
3. Mempromosikan revolusi melawan segala bentuk fasisme dan nasionalisme buta.
4. Mempromosikan revolusi melawan segala bentuk diskriminasi, termasuk diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin, orientasi seksual, ras, dan kepercayaan agama, dan
5. Mempertahankan nilai-nilai moral yang baik yang mempromosikan solidaritas dan membantu menciptakan sebuah masyarakat yang adil, manusiawi, rasional, dan damai.
***
SEBAGAI penutup, saya akan mengutip pandangan Paulo Freire mengenai pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran politik, dengan harapan kita bisa bercermin dari pemikiran-pemikiran ini guna memperbaiki baik sistem pendidikan kita maupun tatanan politik bangsa kita menuju bangsa yang lebih berkeadilan dan demokratis.
Seperti ditulis oleh Peter L. Berger dalam "Pyramids of Sacrifice" (1974), pada permulaan tahun 1960-an, sebelum kaum militer melancarkan kudeta, Paulo Freire dan teman-teman sekerjanya melakukan percobaan dengan sebuah metode baru dalam pendidikan membaca dan menulis di kawasan Timur Laut Brazil. Gagasan dasar dalam pendekatan baru tersebut sederhana: Mengajar membaca dan menulis bukanlah kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari kegiatan lebih besar untuk memperluas cakrawala dari orang-orang yang sebelumnya buta huruf. Salah satu segi yag penting dari kegiatan ini bersifat politis. Orang-orang buta huruf itu belajar membaca dan menulis melalui pembahasan berbagai topik--yang disebut Freire sebagai generative themes--yang menyangkut kehidupan sosial yang mereka alami sehari-hari. Bagi kaum proletar yang menjalani proses pemiskinan di kawasan Timur Laut tersebut, hal ini terutama berarti perampasan, pengisapan, dan penindasan. Tujuan pendidikan adalah menggabungkan 'alfabetisasi' dengan kesengajaan menanamkan kesadaran tentang fakta-fakta penindasan, dan juga pemahaman atas semua kekuatan (ekonomi, politik, struktur sosial) yang dianggap sebagai penyebab timbulnya fakta-fakta penindasan ini. Namun, Freire terutama berkepentingan untuk memupuk perkembangan kesadaran politik tersebut ketimbang pemberantasan buta huruf itu sendiri. Jadi, pada intinya, metodenya adalah metode pendidikan politik--lebih tepat, metode pendidikan untuk aktivitas politik.
Tujuan yang pada intinya politis inilah, lebih daripada pembahasan, pembaruan teknis dalam pendidikan membaca dan menulis, yang menimbulkan minat terhadap metode Freire di seluruh dunia. Ia menyebut metodenya sebagai concientizacao--secara harfiah berarti 'menyadarkan'. Istilah itu menjadi terkenal di dunia internasional--sebagai concientizacion di Amerika Latin yang berbahasa Spanyol, sebagai Bewusstmachung di kalangan kiri Jerman, dan sebagai consciousness raising di Amerika Serikat. Dalam pemakaian istilah itu yang biasa sekarang ini, kaitan pendidikannya yang asli dikesampingkan. Namun, 'peningkatan kesadaran' dipandang sebagai metode untuk mengajar kelompok tertindas apa pun juga agar memahami kondisinya dan (dan kesatuan antara teori dan praksis) untuk menggiatkan mereka secara politis demi mengubah kondisi mereka secara revolusioner.
"Pedagogy of the Oppressed"-nya (1970) Freire juga memusatkan perhatian pada a transformed consciousness semacam ini, tetapi ia didedikasikan untuk pemberdayaan kaum tertindas (para petani miskin di Amerika Tengah) melalui berbagai macam metode, termasuk self-directed dan pendidikan yang tepat. Ia juga merujuk pada kesadaran palsu dari para penindas, dan menekankan kebutuhan untuk mengarahkan penindas agar mau melihat bagaimana 'reifikasi' telah mengakibatkan dehumanisasi baik terhadap penindas maupun yang ditindas. Konsen utama Freire terletak pada upaya transformasi sosial para oligarki politis masyarakat Amerika Latin dengan memberi pendidikan baik kepada penindas maupun yang ditindas melalui swa-refleksi kritis (conscientisation) mengenai situasi sosial-politik yang mereka hadapi untuk kemudian mengubahnya menjadi situasi yang lebih baik, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0702/18/0802.htm

Dominasi Negara dan Kerusakan Lingkungan


ign: center;">
Oleh: Adji Samekto
Ada hubungan erat antara teori modernisasi atau pembangunan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, dan kerusakan lingkungan. Tulisan ini mencoba mengurai fenomena modernisasi model dunia ketiga, yang ternyata menjadi penyebab kerusakan lingkungan.
Penggunaan istilah modernisasi sering ditukarbalikkan dengan istilah pembangunan sehingga modernisasi dianggap memiliki kesamaan arti dengan pembangunan (Mansour Fakih, 2001). Sesuai dengan itu maka dikatakan teori modernisasi sebenarnya sama dengan teori pembangunan, yang pada dasarnya merupakan teori perubahan sosial .
Sebagaimana diketahui, setelah Perang Dunia II, negara-negara Eropa Barat mengalami banyak kesulitan ekonomi. Untuk memulihkan, negara-negara Eropa Barat dan AS melakukan konsolidasi. Hasilnya adalah perubahan dalam hubungan antarnegara di bidang sosial, ekonomi dan politik.
Negara-negara Eropa Barat dan AS tidak mungkin lagi melakukan penjajahan fisik. Dominasi kapitalisme kemudian diwujudkan dalam penjajahan non-fisik. Hal yang menambah kekhawatiran negara-negara Barat, pada masa itu perang dingin mulai melanda dunia.
Amerika dan negara-negara Eropa Barat menyadari situasi ini sehingga mereka mendorong para ilmuwan sosial mengembangkan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negara-negara dunia ketiga namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri.
Oleh karena itulah di bidang sosial, mulai dilakukan rekayasa dengan penyusunan teori-teori sosial. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang adalah teori modernisasi atau teori pembangunan.
Dalam perspektif ilmuwan Barat, pengertian modernisasi menunjuk kepada satu tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri di Inggris 1760-1830 dan revolusi politik di Prancis 1789-1794 (Bendix, 1980).
Modernisasi dalam konteks itu merujuk pada perubahan sosial sejak abad ke-18, yang terdiri atas kemajuan dalam masyarakat Inggris dan Prancis serta perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Jadi modernisasi merupakan satu tipe perubahan sosial yang merujuk pada revolusi industri dan politik dalam masyarakat Barat .
Dalam konteks modernisasi, penggunaan cara-cara budaya Barat maupun pemasukan barang-barang materi Barat merupakan bagian dari modernisasi. Oleh karena itu, proses modernisasi disebut sebagai westernisasi, dengan komponen-komponennya yang terdiri atas industrialisasi, demokrasi, dan ekonomi pasar (Fred W.Riggs 1980).
Maka dikatakan oleh Vedi R.Hadiz (1999), bahwa modernisasi diukur berdasarkan sejauh mana pola-pola dan nilai-nilai demokrasi Barat tertanam dan berkembang dalam masyarakat. Modernisasi negara-negara dunia ketiga lalu dilihat dari kemampuan negara yang bersangkutan dalam mengembangkan pola-pola kehidupan politik sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasionalitas dan objektivitas dalam ukuran negara-negara Barat, pencetus kapitalisme.
Dalam konstruksi teori modernisasi dari Barat, sebenarnya peran negara telah dikurangi seminimal mungkin. Ini sesuai paham kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat.
Negara berperan sekadar sebagai fasilitator untuk menjamin kelancaran berjalannya mekanisme pasar bebas. Mereka yang melakukan kegiatan dalam rangka modernisasi adalah pengusaha, industri yang didukung petani dan buruh.
Masing-masing saling melakukan interaksi dalam mekanisme pasar bebas yang sehat dan kompetitif. Kelas pekerja yang terampil dan kelas menengah yang energik, mandiri dan menentukan, mendorong timbulnya kekuatan-kekuatan politik sehingga negara tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Di sinilah muncul apa yang diistilahkan sebagai era of right dan negara demokratik modern .
Model Dunia Ketiga
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara dunia ketiga, ternyata menunjukkan hal yang sangat jauh dari idealisme di atas. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara dunia ketiga justru menimbulkan dominasi peran negara .
Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan negara.
Sedangkan modernisasi di negara-negara dunia ketiga membutuhkan modal besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Gerschenkron sebagaimana dikutip Agus Subagyo (2002) menyatakan makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi , makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya negara harus terlibat dalam pembangunan ekonomi.
Keterlibatan negara inilah yang mendorong negara untuk terjun dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan (Agus Subagyo, 2002).
Dengan demikian jelas adanya kenyataan yang berlawanan antara negara-negara Eropa Barat dan negara-negara dunia ketiga. Jika modernisasi di Eropa Barat dan AS yang banyak berperan aktor-aktor non-negara, sebaliknya di dunia ketiga yang berperan negara.
Dominasi negara ternyata menciptakan kolaborasi-kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dan penguasa (negara).
Kekuatan kapitalisme global berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang harus terus-menerus diperbesar demi akumulasi keuntungan.
Penguasa berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi sesaat yang bisa diperoleh karena kewenangannya. Karena itu tidak mengherankan apabila di Indonesia, banyak kasus lingkungan hidup yang tidak direspons dengan sungguh oleh pemerintah atau kandas di pengadilan.
Pembuatan peraturan di bidang lingkungan pun banyak yang tidak melibatkan rakyat. Demikianlah maka untuk kepentingan-kepentingan kelanggengan koalisi rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Keadaan diperparah dengan tidak efektifnya penegakan hukum untuk melindungi lingkungan.
Maka terjadinya kerusakan lingkungan di Indonesia dengan berbagai modusnya seperti pembabatan hutan, penebangan liar, pembangunan areal pemukiman secara sembarangan yang menyebabkan banjir.
Pembiaran pengambilan keragaman hayati oleh perusahaan-perusahaan asing, ataupun diberikannya izin pembuangan limbah dari negara asing ke negara kita, bisa dipahami dalam konteks dominasi negara yang memunculkan koalisi kepentingan.
Untuk mengikis koalisi kepentingan yang merusak lingkungan, demokratisasi di bidang pengelolaan lingkungan menjadi tidak terelakkan. Persoalan lingkungan hidup terlalu penting untuk diserahkan begitu saja kepada politisi dan birokrat negara.
Suara masyarakat harus didengar dan dihargai dalam merumuskan pilihan-pilihan yang akan diambil. Sebab masyarakat itu sendirilah yang nanti akan menanggung akibat kerusakan lingkungan.
Pengingkaran terhadap keharusan-keharusan itu niscaya akan menyebabkan peraturan-peraturan perlindungan lingkungan tidak efektif selamanya.(33)

sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0206/05/kha1.htm

Rabu, 06 Juli 2011

Korupsi Adalah Budaya Kita


Oleh : Taufik Nurohman

Saya yakin ada diantara pembaca yang tidak setuju dengan judul artikel ini. Tetapi kita tidak bisa menafikan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya kita. Kita banyak mendengar ataupun membaca di media massa bahwa Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia dan sebetulnya kita dapat melihat dengan jelas bahwa korupsi yang merajalela di negeri ini betul betul terjadi secara terang-terangan dan melibatkan banyak kalangan, pemerintah baik pusat maupun daerah, organisasi politik, organisasi bisnis, organisasi sosial kemasyarakatan bahkan kalangan akademis pun tidak luput dari serangan virus korupsi ini. Banyak fakta empiris yang ada di hadapan kita maupun hasil penelitian yang menunjukan bahwa korupsi sudah menjadi budaya sehingga pada akhirnya dapat merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat. Kisah seorang Gayus Tambunan yang dapat membeli hukum dengan uang telah memekakan mata kita bahwa korupsi sudah menjadi “virus ganas” yang dapat menyerang siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Korupsi sudah menjadi “virus ganas” yang menggerogoti logika dan pemikiran masyarakat yang sudah memasuki kawasan yang sulit dijangkau oleh tangan hukum.
Syed Hussain Alatas dalam bukunya Corruption and the Destiniy of Asia menyatakan bahwa tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi jika memenuhi beberapa karakteristik berikut ini: (a) korupsi selalu melibatkan lebih dari satu orang; (b) korupsi secara keseluruhan melibatkan kerahasiaan, kecuali jika sudah membayar; (c) korupsi melibatkan elemen saling menguntungkan dan saling berkewajiban; (d) pihak-pihak yang melakukan korupsi biasanya bersembunyi di balik justifikasi hukum; (e) pihak-pihak yang terliabat dalam korupsi adalah pihak yang berkepentingan terhadap suatu keputusan dan dapat mempengaruhi keputusan tersebut; (f) setiap tindak korupsi melibatkan kebohongan atau kecurangan terhadap publik; (g) setiap tindak korupsi merupakan penghianatan terhadap kepercayaan; (h) melibatkan fungsi ganda yang saling bertolak belakang dari sisi pelaku; (i) melanggar norma-norma tugas dan tanggung jawab dalam aturan-aturan sipil.
Sementara itu, H. A. Brazz menyatakan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebagai korupsi jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: (a) kekuasaan yang dialihkan; (b) kekuasaan yang dialihkan tersebut dipakai berdasarkan wewenang yag melekat pada kekuasaaan itu atau berdasarkan kemampuan-kemampuan yang formal; (c) kekuasaan itu dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan asli; (d) kekuasaan tersebut dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang luar; (e) pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara secara tersembunyi dengan dalih menurut hukum.
Banyak kalangan yang berpendapat bahwa budaya korupsi diproduksi oleh perilaku masyarakat yang mendewakan materi sehingga masyarakat tersebut dapat melakukan apa saja untuk mendapatkan uang sebagai salah satunya jalan untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Dengan uang seseorang akan mendapat perlakuan dan pelayanan yang terbaik mulai dari penilaian dari orang lain sampai pada pelayanan yang dibutuhkan akan didapat dengan mudah. Contoh sederhananya di negeri ini jika ada seseorang yang sakit akan mendapat pelayaan yang baik dan cepat jika ia datang ke rumah sakit dengan membawa uang. Sebaliknya, pelayanan yang buruk atau bahkan dapat terkesan tidak dilayani akan terasa jika orang miskin yang sakit dan tidak mempunyai uang datang ke sebuah rumah sakit. Contoh lain yang tidak kalah memprihatinkan adalah seorang anak akan dapat bersekolah di sekolah manapun yang ia inginkan jika orang tuanya mempunyai banyak uang karena untuk masuk di sekolah favorit ada tarif tertentu yang harus calon siswa bayar.
Perilaku masyarakat demikianlah yang kemudian menjadikan korupsi sebagai salah satu dari budaya kita. Budaya korupsi dipahami sebagai sebuah perilaku korupsi yang telah dilakukan secara terus menerus dalam praktik-praktik kehidupan masyarakat dan mendapat permakluman sebagian besar masyarakat. Budaya korupsi ini lama kelamaan sangat akrab dengan masyarakat karena memang dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat hidup dengan nilai-nilai budaya ini. Korupsi seakan menjadi kebiasaan yang legal dan tidak dilarang dalam segi pandangan agama, susila dan hukum. Istilah “sama-sama tahu” sudah menjadi kebiasaan ketika kita melihat perilaku korupsi di hadapan kita terlebih jika kita ikut mencicipi buahnya yang sudah tentu tidak halal itu. Atau stigma “ada fulus urusan mulus” sangat akrab dengan telinga masyarakat. Bahkan istilah “korupsi berjamaah” sudah sangat seting kita dengan dan kita lihat di depan mata kepala kita. Korupsi yang sudah sedemikian membudaya itu mencerminkan bobroknya kepribadian bangsa ini.
Sikap masyarakat yang lunak dan permisif terhadap penyimpangan moral dalam kehidupan masyarakat telah menjadi lahan yang subur untuk tumbuh dan berkembangnya budaya korupsi di negeri ini. Karena itu, korupsi dianggap sebagai masalah biasa yang wajar terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Hal yang sangat sederhana tetapi sulit untuk dilakukan sebenarnya dapat lakukan untuk mengikis budaya korupsi ini. Hal tersebut adalah merubah pola pikir kita bahwa korupsi bukan sebuah budaya namun sebuah penyimpangan yang harus kita hindari. Karena sebetulya budaya atau kebudayaan sangat dipengaruhi oleh pola pikir manusia. Pola pikir manusia dapat diimplementasikan dalam kebudayaan. Ini disebabkan karena secara harfiah kebudayaan adalah hasil dari pola pikir manusia. Oleh kerena itu pola pikir manusia sangat banyak mempengaruhi kebudayaan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Agar kita mempunyai pola pikir bahwa korupsi itu adalah suatu penyimpangan yang seharusnya kita hindari kita harus dahulu mengenal hal-hal atau tindakan-tindakan yang mungkin kita sering lakukan dan menganggapnya hal yang biasa dan legal namun sesungguhnya hal-hal itu lebih mendekatkan diri kita pada perilaku korup. Berikut adalah tindakan-tindakan yang sering kita lihat atau bahkan kita lakukan yang sebenarnya ini merupakan benih-benih atau bahkan sudah menjadi tunas dari tindakan korupsi yang terjadi di lingkungan organisasi/kantor dimana kita bekerja, tindakan-tindakan tersebut antara lain:
1. Jika ditunjuk dalam proyek pengadaan barang/jasa di organisasi/kantor tempat bekerja, menghubungi rekanannya dan berjanji menggunakan jasa atau barangnya asal harga barang atau nilai kontrak ditinggikan/dinaikan untuk masuk kantong pribadi.
2. Memenangkan rekanan tertentu dalam tender atau menunjuknya secara langsung dan harga barang/jasa dinaikkan (di-mark up) untuk masuk kantong pribadi.
3. Membuat spesifikasi barang yang mengarah pada merek produk atau spesifikasi tertentu untuk memenangkan rekanannya, dengan maksud mendapatkan keuntungan pribadi dengan melakukan mark-up harga barang dan nilai kontrak.
4. Menggunakan dana/anggaran dari pos yang tidak sesuai dengan peruntukannya, lalu membuat laporan fiktif.
5. Menggunakan dana organisasi/kantor untuk kepentingan pribadi dengan membuat pertanggungjawaban fiktif.
6. Menjual aset organisasi/kantor dengan laporan barang rusak atau sudah tidak berfungsi lagi.
7. Meminta uang jasa dibayar di muka kepada rekanan sebelum melaksanakan proyek.
8. Menerima sejumlah uang atau barang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan.
9. Membuka rekening atas nama organisasi/kantor dengan specimen pribadi untuk mempermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur.
10. Menerima jasa/bunga dari giro/tabungan dana organisasi/kantor yang ditempatkan di bank.
11. Menyewakan atau mengelola sendiri aset organisasi/kantor dan hasilnya masuk ke kantong pribadi.
12. Menerima uang/barang sehubungan dengan tugas dan pekerjaannya dari pihak ketiga/bagian lain dalam organisasi/kantor tersebut yang diuntungkan olehnya.
13. Membeli barang dengan harga murah untuk kemudian dijual kembali kepada organisasi/kantor dengan harga yang di mark-up.
14. Mencicil harga barang pribadinya dengan menggunakan uang kantor.
15. Menggunakan dana untuk keperluan pribadi dengan beban organinsasi.
Hal-hal atau tindakan-tindakan tersebut diataslah sebagai beberapa yang seharusnya kita anggap sebagai sebuah penyimpangan, bukan sebagai sesuatu yang sudah biasa terjadi atau sesuatu yang dihalalkan untuk dilakukan demi mendapatkan keuntungan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Artinya dengan meninggalkan tindakan-tindakan tersebut diatas yang sudah menjadi kebiasaan maka paling tidak kita telah memberikan sumbangan besar dalam upaya mengkikis budaya korupsi yang dimulai dari diri sendiri untuk masa depan bangsa yang lebih baik.

Sabtu, 21 Mei 2011

Strategi Pertahanan Wilayah Perbatasan Indonesia


Oleh: Moh Arif Widarto, SE., Anggota Dewan Penasehat Harian TANDEF

Media Indonesia 14/11/2008 menurunkan editorial berjudul "Ambalat yang Terancam". Media Indonesia menulis bahwa TNI AL mengerahkan enam kapal perang ke perairan Ambalat di Kalimantan Timur.

Ambalat memang menjadi wilayah yang disengketakan oleh Malaysia dan Indonesia. Bahkan, pada 2005 sempat terjadi ketegangan di wilayah itu karena Angkatan Laut Indonesia dan Malaysia sama-sama dalam keadaan siap tempur.

Indonesia, sebagai negara ASEAN yang memiliki wilayah paling luas tidak memiliki ambisi teritorial untuk mencaplok wilayah negara lain. Hal tersebut sangat berbeda dengan negara tetangga kita, Malaysia, yang tidak pernah berhenti untuk memperluas wilayahnya. Usaha itu di antaranya dengan mengakuisisi pulau-pulau dalam sengketa dan memindah-mindah patok perbatasan darat seperti yang dilakukan oleh Malaysia terhadap Indonesia di mana titik-titik perbatasan darat Indonesia - Malaysia di Pulau Kalimantan selalu digeser oleh Malaysia. Akibat dari aktivitas ilegal Malaysia itu wilayah kita semakin sempit sementara wilayah Malaysia semakin luas.

Perkembangan terakhir dalam konsep strategi maritim Malaysia (dengan membangun setidaknya tiga pangkalan laut besar di Teluk Sepanggar, Sandakan dan Tawau) menunjukkan bahwa mereka semakin serius “mengarah ke timur” alias ke perairan antara Kalimantan dan Sulawesi.

Ambisi teritorial Malaysia tidak hanya dilakukan terhadap Indonesia. Kisah sukses Malaysia dalam merebut Pulau Sipadan dan Ligitan dengan cara membangun kedua pulau tersebut saat ini sedang diterapkan oleh Malaysia di Kepulauan Spratley yang menjadi sengketa banyak negara (a.l. Malaysia, China, Vietnam, Philipina) juga dibangun oleh Malaysia. Indonesia yang menjunjung kejujuran dan menganggap bahwa wilayah dalam sengketa tidak boleh dibangun justru dikalahkan oleh hakim-hakim Mahkamah Internasional yang menganggap bahwa pemilik pulau adalah pihak yang peduli dengan wilayahnya. Bukti kepedulian adalah dengan melakukan pembangunan di wilayah tersebut. Mungkinkah Malaysia akan mengulang suksesnya di Sipada dan Ligitan dalam kasus Kepualauan Sprateley?

Indonesia Harus Tegas


Dalam menyikapi gerak langkah negara lain dalam memperluas wilayahnya Indonesia harus tegas. Kita tidak boleh lagi kehilangan sejengkal pun wilayah kita, apa pun ongkosnya. Terjaganya luas wilayah Indonesia merupakan wujud dari kedaulatan kita sehingga kita harus mempertahankan dengan cara apa pun. Pemerintah Indonesia dan negara tetangga boleh sepakat untuk menyelesaikan sengketa perbatasan melalui perundingan. Hal tersebut merupakan hal yang baik. Akan tetapi, kita tidak boleh percaya begitu saja kepada negara tetangga kita. Apalagi untuk Negara tetangga kita yang pandai mengkomunikasikan pesan damai ke dunia internasional. Padahal, di tataran teknis mereka berbeda sama sekali. Patok-patok perbatasan di Kalimantan selalu digeser. Kayu di hutan kita pun dicurinya. Sayangnya, para pemimpin kita seakan-akan tidak peduli dengan hal-hal tersebut.

Strategi Pertahanan Wilayah

Upaya untuk mempertahankan wilayah Indonesia merupakan tanggung jawab kita semua. Selama ini kita mungkin memandang bahwa penanggung jawab upaya mempertahankan kedaulatan wilayah RI adalah TNI. Hal tersebut tidak tepat. Kita semua bertanggung jawab untuk membantu negara dalam mempertahankan kedaulatan wilayah RI. Kerja sama dan sinergi antar instansi pemerintah, pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, pemerintah dengan swasta, dan pemerintah dengan masyarakat harus diperkuat.

Kita harus menyusun strategi pertahanan wilayah perbatasan. Apabila perlu, kita harus menyusun sebuah undang-undang khusus untuk itu. Apabila terpilih menjadi anggota dewan nanti, saya akan memprakarsai hal tersebut. Adapun beberapa pokok strategi yang dapat dilakukan dalam mempertahankan kedaulatan wilayah kita antara lain:

Pemetaan Kembali Titik-Titik Perbatasan Indonesia

Pemetaan kembali titik-titik perbatasan wilayah Indonesia harus dilakukan. Hasil pemetaan baru tersebut harus dibandingkan dengan pemetaan yang pernah dilakukan sebelumnya. Koordinat titik-titik perbatasan sangat penting untuk kita inventarisir dan dimasukkan dalam sebuah undang-undang mengenai perbatasan wilayah Indonesia. Apabila perlu, daripada konstitusi diubah-ubanh hanya untuk keperluan rebutan kekuasaan, masukkan klausul mengenai titik-titik perbatasan tersebut dalam UUD.

Bangun Jalan (Prioritaskan Pembangunan) di Sepanjang Perbatasan Darat

Pandangan kita mengenai perbatasan sebagai wilayah terpencil harus kita ubah. Mulai saat ini kita harus memandang perbatasan sebagai wilayah strategis. Strategis untuk mempertahankan wilayah kita. Dari perspektif eksternal, wilayah atau kota-kota/kabupaten di daerah perbatasan adalah "etalase" NKRI. Artinya, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah tersebut akan menjadi "nilai jual" positif bagi diplomasi internasional Indonesia. Sebaliknya, keterbelakangan atau kelambanan ekonomi di daerah-daerah itu akan menjadi makanan empuk bagi pihak-pihak asing yang berkepentingan untuk melemahkan kredibilitas RI di dunia internasional. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah yang memiliki wilayah perbatasan darat dengan negara tetangga seperti Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Papua harus memprioritaskan pembangunan prasarana jalan di sepanjang perbatasan. Jalan tersebut dihubungkan ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat. Tujuan pembangunan jalan tersebut adalah untuk merangsang pembangunan kota atau pemukiman baru di dekat perbatasan. Kelak, sarana transportasi darat itulah media "perkuatan" ketahanan ekonomi (juga sosial budaya) di daerah-daerah tersebut.

Bangun Wilayah Baru di Dekat Perbatasan

Setelah di sepanjang perbatasan dibangun jalan yang terhubung ke pusat kota atau pusat pemukiman terdekat, pemerintah daerah diharuskan membangun wilayah baru di dekat perbatasan. Pembangunan untuk perluasan kota yang sudah mapan harus dihambat dan masyarakat dirangsang untuk mengembangkan wilayah baru. Untuk melakukan hal tersebut, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus menyusun konsep pengembangan wilayah perbatasan secara komprehensif agar wilayah baru yang dibentuk dapat hidup baik secara ekonomi maupun sosial.

Selain itu, wilayah baru yang dibangun sebaiknya diarahkan untuk memiliki spesialsisasi. Misalnya, ada blok khusus jeruk Pontianak, blok khusus kebun aren, blok khusus sawah padi, dll. untuk merangsang masuknya investasi bisnis pendukung di sana.

Pembangunan Pangkalan Militer di Dekat Perbatasan

Saat ini kita melihat gelaran pasukan TNI kita kurang memadai untuk melakukan upaya menjaga perbatasan negara. Gelaran pasukan justru diletakkan di wilayah-wilayah padat penduduk yang sudah terbangun. Gelaran pasukan seperti ini harus diubah. Batalyon-batalyon yang berada di wilayah "aman" dari gangguan luar sepantasnya direlokasi ke wilayah perbatasan. Apalagi, urusan keamanan dan ketertiban saat ini sudah menjadi tanggung jawab kepolisian. Jelas ini tidak mudah dan akan membutuhkan „effort“ tidak sedikit. Namun, terbukti ini cukup efektif di perbatasan RI-Papua Nugini. Bukan karena angkatan perang PNG „lebih kecil“ dibanding TNI (juga Malaysia), namun penggelaran kekuatan militer akan menghambat „perilaku mencuri“ negara lain karena konflik senjata (apabila terjadi kontak senjata) relatif lebih sulit diselesaikan sehingga negara manapun cenderung menghindari kontak senjata.

Galakkan Kembali Transmigrasi

Program transmigrasi yang dulu gencar dilaksanakan pada era Orde Baru harus digalakkan kembali. Transmigran diarahkan untuk mendiami wilayah-wilayah baru yang dibentuk di dekat perbatasan. Saya yakin, apabila infrastruktur transportasi dan komunikasi disiapkan, banyak penduduk dari wilayah-wilayah padat yang bersedia bertransmigrasi.

Pemberian Insentif Pajak

Agar pengusaha dan perbankan mau masuk, pemerintah perlu memberikan insentif pajak bagi pengusaha yang mau berinvestasi di wialayah baru tersebut.
Pilih Pemimpin yang Kuat dan Tegas

Pemimpin yang kuat dan tegas sangat penting. Terlepas dari segala kekurangan yang dituduhkan, kita pernah memiliki dua sosok pemimpin yang tegas sehingga dihormati kawan dan disegani lawan. Kedua pemimpin yang kuat dan tegas itu adalah Soekarno dan Soeharto. Pada saat kedua orang itu memimpin, tidak ada yang berani melecehkan negara kita. Akan tetapi, setelah berganti pemimpin, negara kita menjadi bulan-bulanan pelecehan terutama oleh Malaysia dan kadang-kadang Singapura.

Perkuat Diplomasi Internasional

Diplomasi internasional tidak semata-mata menyampaikan pendapat atau pembelaan di forum-forum internasional. Diplomasi ini bersifat multidimensional. Kita harus aktif mensosialisasikan kebijakan pembangunan NKRI beserta hasil-hasilnya. Dunia pariwisata kita harus proaktif “memasarkan” produk-produk wisata di wilayah-wilayah perbatasan itu kepada negara-negara terdekat (misalnya potensi wisata Kalimantan ke Malaysia, Sumatera ke Singapura, Sulawesi ke Filipina, Papua dan Nusa Tenggara ke Australia, dst). Secara geografis, kedekatan produk wisata itu ke negara yang berbatasan dengannya akan menghasilkan “wisata murah”, namun masuknya wisatawan asing ke daerah-daerah tersebut akan memberi akselerasi pembangunan dan perputaran uang yang tidak sedikit. Konsekuensinya, aset wisata di daerah-daerah tersebut harus dibangun dan dibenahi terlebih dahulu. Sekali lagi, ini dapat dimanfaatkan sebagai “selling point” kita di mata internasional.

Pembangunan Sistem Pendidikan yang Nasionalis

Dunia pendidikan kita juga harus membangun sebuah konsep pendidikan yang menanamkan secara kuat nasionalisme dan patriotisme masyarakat di perbatasan, sehingga mereka tidak mudah tersusupi ideologi-ideologi dan paham-paham yang membahayakan keutuhan NKRI (infiltrasi ideologi dan budaya adalah bentuk “invasi” yang efektif untuk meruntuhkan sebuah negara dari dalam. Ingat kisah runtuhnya Uni Sovyet).

Demikian pokok-pokok strategi yang dapat saya utarakan. Tentu saja pokok-pokok strategi di atas masih perlu dikaji dan disempurnakan. Setelah itu, mari kita turunkan strategi tersebut ke bumi. Jangan sampai dokumen strategi hanyan menjadi dokumen yang menumpuk di lemari tanpa pernah dilaksanakan.

sumber : http://www.tandef.net

Kamis, 21 April 2011

Orang Miskin Dilarang Sakit, Orang Tidak Miskin Jangan Sakit



Oleh : Taufik Nurohman

Memang sangat relevan dengan keadaan di negeri ini ketika ada ungkapan "orang miskin dilarang sakit". ungkapan ini terbukti ketika kita coba datang ke rumah sakit, rumah sakit manapun baik milik pemerintah maupun swasta, sebelum mendapat penganganan yang sifatnya serius kita harus mempersiapan terlebih dahulu biayanya dengan dalih penyelesaian administrasi.

Memang ada beberapa kebijakan pemerintah yang memberikan keringanan kepada orang yang kurang mampu membeyar "biaya administrasi" namun persyaratannya sangat banyak termasuk surat-surat keterangan dari RT, RW, sampai ke desa atau kelurahan. Hal ini memungkinkan seorang pasien dari keluarga miskin akan meningggal terlebih dahulu sebelum keluarganya selesai mengurus surat-surat keterangan tersebut.

Hal ini memang menjadi persoalan yang akan selalu ada ketika orang miskin jatuh sakit.

Tapi apakah orang dari keluarga yang tidak digolongkan pada keluarga miskin tidak menemukan masalah ketika ia jatuh sakit dan memerlukan penanganan medis di rumah sakit? jawabannya tentu saja "tidak". karena, ini sesungguhnya persoalan yang belum terlewatkan oleh pemerintah. Seorang Pasien yang berasal dari keluarga yang tidak tergolong keluarga miskin tentu saja tidak mendapat keringanan biaya. Keringanan biaya tersebut hanya diperuntukan untuk keluarga miskin.

Sementara itu biaya untuk mendapatkan pelayanan medis sangat mahal. Inilah sebetulnya masalah yang harus lebih diperhatikan oleh pemerintah.

Sabtu, 09 April 2011

Kasus Arifinto Tusuk Jantung Kredibilitas PKS


Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Arifinto, tertangkap kamera sedang menonton video porno ketika sidang paripurna DPR berlangsung. Tak pelak lagi, hal ini kembali membuat PKS menjadi sorotan.

“Kasus ini makin menambah demoralisasi PKS,” kata pengamat politik Burhanudin Muhtadi, kepada VIVAnews, Sabtu 9 April 2011.

Padahal, kata Burhanuddin, PKS adalah salah satu partai di parlemen yang turut mendukung dan memperjuangkan pengesahan UU Pornografi. Dengan demikian, menurutnya, kasus terakhir yang memalukan ini – terlepas dari apakah Arifinto menonton video itu karena faktor kesengajaan atau ketidaksengajaan – dapat menjadi bumerang bagi PKS dan pribadi Arifinto sendiri.

Burhanuddin mengungkapkan, Arifinto merupakan salah satu pendiri majalah Sabili yang membidik umat Islam sebagai konsumen mereka. “Ini langsung menusuk jantung kredibilitas PKS. Publik jadi bertanya-tanya, ada apa dengan PKS,” ujar Burhanuddin. Terlebih, lanjutnya, baru-baru ini salah satu pendiri PKS, Yusuf Supendi, juga menggugat PKS atas sejumlah tuduhan serius seperti korupsi.

Kedua persoalan ini, baik Yusuf Supendi maupun Arifinto, disebut Burhanuddin telah mencoreng muka partai Islam terbesar di tanah air itu dengan telak. “Padahal selama ini kan mereka fokus pada moralitas pribadi, ponografi, dan pemberantasan korupsi,” papar peneliti LSI itu. Namun kini justru tiga hal itu yang balik menyerang PKS sendiri.

Oleh karena itu, tutur Burhanuddin, kalangan internal PKS harus bersikap tegas terkait kasus Arifinto. “Kredibilitas partai di atas segalanya,” kata Burhanuddin mengingatkan. Dengan demikian, ujarnya, PKS tidak boleh melindungi Arifinto, terlepas dari argumen Arifinto yang mengaku tidak sengaja membuka link berisi konten porno itu. “Itu tetap tidak etis,” tutup Burhanuddin.

Arifinto tertangkap kamera fotografer Media Indonesia, Mohammad Irfan, saat membuka video porno ketika sidang paripurna terkait gedung baru DPR sedang berlangsung, Jumat kemarin. Saat itu dua fraksi DPR, PDIP dan Gerindra sedang melakukan aksi walk out. (umi)

Sumber : vivanews.com Sabtu, 9 April 2011

Selasa, 05 April 2011

Sesat Pikir dalam Dunia Politik Praktis


Oleh : Taufik Nurohman

Akhir-akhir ini kita seringkali melihat sebuah realitas yang terjadi di dalam dunia politik yang berkembang di negara kita yang sangat memprihatinkan. Jangankan dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara atau pemerintahan, dalam suatu kelompok yang dinamakan partai politik pun seringkali terjadi konflik. Memang ketika melihat teori yang ada konflik dalam dunia politik tidak dapat dihilangkan. Tetapi dalam hal ini, konflik yang sifatnya intern dalam tubuh partai politik misalnya seyogyanya dapat diatur sedemikian sehingga tidak menimbulkan distintergrasi dalam tubuh partai atau kelompoknya.

Ketika kita melihat realitas yang terjadi, ternyata ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik dalam tubuh partai atau kelompok kepentingan khususnya dan dunia politik umumnya. Faktor yang paling mempengaruhi adalah faktor perbedaan kepentingan. Karena setiap individu atau kelompok mempunyai kepentingan yang berbeda-beda maka di wilayah itu kita sering temukan terjadinya konflik.

Selain itu ternyata ada satu faktor penyebab terjadinya konflik yang tidak kalah pentingnya yakni kesalahan dalam dialektika. Artinya mereka kerap melakukan atau mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan alur pemikiran yang benar, atau dengan kata lain mereka kerap kali melakukan kesalahan penalaran (Fallacy Logical atau sesat-pikir) dalam berpendapat sehingga menimbulkan kesalahan dalam pemaknaannya. Dan ketika timbul kesalahan pemaknaan maka akan timbul kesalahpahaman dan pada akhirnya akan timbul konflik yang dapat bersifat disintegratif.

Sesat-pikir, terutama dalam politik, akan sangat efektif digunakan dalam provokasi, menggiring opini publik, debat perencanaan undang-undang, pembunuhan karakter, hingga menghindari jerat hukum. Memang, dengan memanfaatkan sesat-pikir logis sebagai silat lidah kita dapat memenangkan suatu diskusi, namun itu menjauhkan kita dari esensi permasalahan.

Pengetahuan orang tentang prinsip-prinsip logis sebuah seringkali tidak memadai dari masyarakat awam sampai politisi sering kali melakukan kesalahan dalam penalaran. Bahkan kita sering melihat orang memaksakan prinsip-prinsip penalaran tersebut untuk menarik kesimpulan yang tidak relevan atau menggunakan kata-kata yang memiliki makna lebih dari satu. Dan inilah yang seringkali menyebabkan kesalahpahaman dan yang kemudian akan menimbulkan konflik. Oleh karena itu sebelum mengeluarka pendapat kita perlu memahami adanya kemungkinan sesat-pikir yang sering terjadi dalam proses berpikir kita.

Sesat-pikir adalah proses penalaran atau argumentasi yang sebenarnya tidak logis, salah arah dan menyesatkan, suatu gejala berpikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya. Walaupun proses berpikir semacam ini menyesatkan, tetapi hal ini sering kita lakukan. Atau dalam pengertian lain Logical fallacy atau sesat-pikir logis adalah suatu komponen dalam argumen, muncul dalam statement klaim yang mengacaukan logika. Sesat-pikir logis menghasilkan kesimpulan yang menyesatkan karena klaim argumennya tidak disusun dengan logika yang benar.

Seringkali sesat-pikir logika dilakukan oleh orang-orang yang kurang memahami tentang penalaran logis, orang yang tidak bisa menempatkan dirinya pada posisi orang lain, hingga orang-orang yang berpendapat bahwa ketika pendapat diserang maka egonya diserang. Golongan yang pertama ini disebut Paralogisme, yaitu pelaku sesat-pikir logis yang tidak menyadari sesat-pikir yang dilakukannya. Namun ada juga sesat-pikir logis yang disamarkan menjadi silat lidah, yang dilakukan oleh orang-orang yang berniat memperdaya, yang disebut Sofisme.

Ada banyak jenis kekeliruan yang dilakukan orang dalam melakukan penalaran atau dalam berargumen. Setiap kekeliruan dalam menalar itu merupakan argumen yang salah. Ada dua macam argumen yang salah yakni sebagai berikut.

Pertama, argumen yang sebenarnya keliru namun tetap diterima umum karena banyak orang yang menerima argumen tersebut tetapi tidak merasa kalau mereka itu sebenarnya telah tertipu. Sesat-pikir semacam ini disebut kekeliruan relevansi. Argumen-argumen semacam itu biasanya bersifat persuasif dan dimaksudkan untuk mempengaruhi aspek kejiwaan orang lain. Argumen-argumen semacam itu misalnya terdapat dalam pidato politik dalam kampaye, pernyataan pejabat yang dimaksudkan untuk meredam situasi, reklame untuk menawarkan barang-barang produksi.

Kedua, argumen yang keliru karena kesalahan dalam penalaran yang disebabkan oleh kecerobohan dan kekurangperhatian orang terhadap pokok persoalan yang terkait, atau keliru dalam menggunakan term dan proposisi yang memiliki ambiguitas makna bahasa yang dipergunakan dalam berargumen. Sesat-pikir semacam ini disebut penalaran yang ambigu atau ambiguitas penalaran. Misalnya, term “salah prosedur” yang sering diucapkan oleh pejabat untuk berdalih ketika mendapatkan kritik dari masyarakat. Term tersebut memiliki lebih dari satu, yaitu dapat diartikan sebagai salah interpretasi terhadap suatu perintah/instruksi, menggunakan metode atau langkah yang berbeda dan tidak dimaksudkan dalam petunjuk pelaksanaan sebuah proses kegiatan, atau pengambilan putusan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ada beberapa logical fallacy atau sesat-pikir logika yang sering ditemukan dalam kampanye, debat, maupun diskusi politik diantaranya adalah;

1. Argumentum ad Hominem
Argumentum ad Hominem adalah bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang disampaikan oleh orang lain tetapi justru menuju pada pribadi si pemberi argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat-pikir ketika ia ditujukan menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan. Kalimat populernya adalah: shoot the messenger, not the message. Ada banyak bentuk ad hominem, namun yang paling umum dan dijadikan contoh di sini adalah ad hominem cercaan. Ad hominem termasuk dalah satu sesat-pikir yang paling sering dijumpai dalam debat dan diskusi politik, yang biasanya akan membawa topik ke dalam debat kusir yang tak ada ujung pangkal.
Ad hominem tidak sama dengan penghinaan, celaan, atau cercaan. Sejatinya, ad hominem ada dalam premis dan pengambilan kesimpulan berupa logika yang langsung mengarahkan argumennya pada seseorang dibalik suatu argumen. Dan tendensinya bisa saja bukan merupakan penghinaan, namun hanya mengkaitkan dua hal yang tidak berhubungan sama sekali. Sederhananya, bisa dikatakan ad hominem jika itu berupa premis dan kesimpulan, untuk menjatuhkan argumen lawan. Contoh: Kepada anggota dewan yang terhormat, harus saya ingatkan bahwa ketika Bung anggota Fraksi Merdeka yang menanyai saya ini memegang jabatan, tingkat pengangguran berlipat ganda, inflasi terus-menerus melonjak, dan harga sembako naik drastis. Dan Bung ini masih berani menanyai saya tentang masa depan proyek sekolah gratis ini. Cara yang berbelit-belit untuk mengatakan "no comment", namun juga sekaligus menyerang lawan.

2. Red Herring
Red Herring adalah argumen yang tak ada sangkut-pautnya dengan argumen lawan, yang digunakan untuk mendistraksi atau mengalihkan perhatian orang dari perkara yang sedang dibahas, serta menggiring menuju kesimpulan yang berbeda. Sesat-pikir ini biasanya akan keluar jika seseorang tengah terdesak. Ia akan langsung melemparkan umpannya ke topik lain, di mana topik lain ini sukar dihindari untuk tidak dibahas. Itu karena biasanya pemilihan topik lain itu 'baunya' cukup kuat seperti perumpamaan ikan merah (red herring) atau terasi bagi orang Indonesia (meminjam istilah Herman Saksono), antara lain topik yang aktual atau isu yang cukup dengan lawan debat atau audiens.
Contoh:
Andi: Polisi harusnya menindak tegas para aktivis lingkungan yang berdemo hingga menyebabkan macet di beberapa ruas jalan.
Badu: Anda merasa makin panas dan gerah saat macet kan? Kita harus peduli dengan isu global warming itu, bagaimana opini Anda?
(ketika Andi mengemukakan opininya tentang global warming, maka jatuhlah ia ke dalam topik baru)

3. Straw Man
Straw Man yaitu argumen yang membuat sebuah skenario yang dengan suatu imej yang menyesatkan, kemudian menyerangnya. Untuk membuat 'manusia jerami' (straw man) adalah dengan membuat ilusi telah menyangkal suatu proposisi dengan mensubstitusinya dengan sesuatu yang mirip namun dangkal dan mudah diserang, tanpa pernah benar-benar menyangkal argumen lawan yang sebenarnya.
Seperti namanya, manusia jerami adalah sasaran yang empuk dan mudah untuk diserang. Menyerang manusia jerami yang diciptakan dari manipulasi argumen lawan akan membuat argumen diri sendiri terlihat kuat dan bagus. Pada umumnya, selain terdapat dalam kampanye, manusia jerami ini akan dikeluarkan setelah lawan selesai bicara mengenai perkara yang dibahas.
Contoh:
Tono: Kita harus mengendurkan lagi status hukum ganja.
Rudi: Tidak. Obat-obatan terlarang itu akan merusak generasi muda kita.
(kalimat 'obat-obatan terlarang yang merusak' adalah manusia jerami untuk menggantikan menyerang 'ganja')

4. Guilt by Association
Guilt by Association berciri-ciri tipe generalisasi umum--yang terlalu cepat mengambil kesimpulan--yang meyakini bahwa sifat-sifat suatu hal berasal dari sifat-sifat suatu hal lain. Sesat-pikir ini bisa berupa ad hominem, biasanya dengan menghubungkan argumen dengan sesuatu hal diluar argumen itu, kemudian menyerang si pembuat argumen.
Ini adalah bentuk ekstrim dari majas Totum pro parte yang mana berupa seolah-olah pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian. Intinya adalah mencari kesalahan seseorang dari apa saja yang berkaitan dengannya, lalu jadikan hal tersebut argumen untuk menjatuhkannya.
Contoh:
Gusdur banyak bergaul dengan golongan sekuler. Golongan sekuler itu kebanyakan berasal dari Amerika. Pasti Gusdur adalah seorang liberal dan antek-antek Amerika. (lihat bagaimana dengan mudah menggeneralisasikan seseorang berdasarkan hubungannya dengan hal lain)

5. Perfect Solution Fallacy
Perfect Solution Fallacy adalah sesat-pikir yang terjadi ketika suatu argumen berasumsi bahwa sebuah solusi sempurna itu ada, dan sebuah solusi harus ditolak karena sebagian dari masalah yang ditangani akan tetap ada setelah solusi tersebut diterapkan.
Asumsinya, jika tidak ada solusi sempurna, tidak akan ada solusi yang bertahan lama secara politik setelah diimplementasi. Tetap saja, banyak orang tergiur oleh ide solusi sempurna, mungkin karena itu sangat mudah untuk dibayangkan.
Contoh:
Penerapan UU Pornografi ini tidak akan berjalan dengan baik. Pemerkosaan akan tetap terjadi.
(argumen yang tidak memperhatikan penurunan tingkat kriminalitas asusila)

6. Argumentum ad Verecundiam
Argumentum ad Verecundiam terjadi ketika mengacu pada seseorang yang dianggap positif sebagai pakar atau ahli sehingga apa yang diucapkannya adalah sebuah kebenaran. Otoritas kepakaran seseorang yang mengucapkan suatu hal tersebut kemudian otomatis diakui sebagai sesuatu yang pasti benar, meskipun otoritas itu tidak relevan
Contoh:
Banyak ahli mengakui kapitalisme itu telah runtuh dan banyak boroknya. Jadi mana yang sebaiknya saya percaya, para ahli terkemuka itu atau Anda yang kuliah saja belum lulus? (tembakan plus ad hominem, dan ya, bisa juga menambahkan sederet nama orang terkenal dalam argumennya)

7. Poisoning the Well
Poisoning the Well adalah sesat-pikir yang mencegah argumen atau balasan dari lawan dengan cara membuat lawan dianggap tercela dengan berbagai tuduhan bahkan sebelum lawan sempat bicara. Teknik meracuni sumur ini lebih licik dari sekadar mencela lawan karena akan membuatnya menghina diri sendiri karena menyambut argumen yang telah diracuni tersebut.
Contoh:
Kami menduga Sintong akan melakukan negative campaign untuk menjatuhkan Gerindra. (dan apa yang Sintong tulis tentang Prabowo dalam bukunya akan dianggap sebagai upaya menjatuhkan Gerindra)

8. Argumentum ad Temperantiam
Argumentum ad Temperantiam adalah kesesatan yang menyatakan bahwa pandangan pertengahan adalah sesuatu yang benar tanpa peduli nilai-nilai lainnya. Serta juga menganggap jalan tengah sebagai pertanda kekuatan suatu posisi. Meskipun dapat menjadi nasihat yang bagus, namun kesesatannya disebabkan karena ia tak punya dasar yang kuat dalam argumen karena selalu berpatokan bahwa jalan tengah adalah yang benar. Penggunaannya kadang dengan membuat-buat posisi lain sebagai posisi yang ekstrim.
Contoh:
Daripada mendukung komunisme atau mendukung kapitalisme, lebih baik ideologi Pancasila yang merupakan jalan tengah keduanya. (sedikitpun tidak menjabarkan kelebihan dan kekurangan masing-masing sistem)

9. Ipse-dixitism
Ipse-dixitism adalah argumen dengan dasar keyakinan yang dogmatis. Seseorang yang menggunakan Ipse-dixitism mengasumsikan secara sepihak premisnya sebagai sesuatu yang disepakati, padahal tidak demikian. Premis yang diajukan dalam argumen seolah-olah merupakan fakta mutlak dan telah disepakati bersama kebenarannya, padahal itu hanya dipegang oleh pemberi argumen, tidak bagi lawannya. Sesat-pikir ini akan berujung pada debat kusir.
Contoh:
Ideologi liberalis dan kapitalis telah terbukti gagal dan hanya menyengsarakan rakyat, karena itu harus diganti dengan sistem spiritual. (ideologi yang gagal itu belum disepakati lawan bicaranya, jadi bagaimana langsung dapat menggulirkan solusi?)

10. Proof by Assertion
Proof by Assertion adalah kesesatan dimana suatu argumen terus-menerus diulang tanpa mengacuhkan kontradiksi terhadapnya. Kadang ini diulang hingga diskusi pun jenuh, dan pada titik ini akan dianggap sebagai fakta karena belum dikontradiksi. Sesat-pikir ini sering digunakan sebagai retorika oleh politikus, atau dalam debat sebagai usaha menggagalkan penetapan suatu undang-undang dengan pidato yang amat panjang dan tak habis-habis. Dalam bentuk yang lebih ekstrim lagi, juga bisa menjadi salah satu bentuk pencucian otak. Penggunaannya dapat diamati dari penggunaan slogan politik yang terus-menerus diulang.
Contoh:
Tapi Bapak Menteri, seperti yang telah saya jelaskan selama dua bulan terakhir ini, tak mungkin kita memotong anggaran biaya departemen ini. Tiap posisi dan jabatan di dalamnya amat penting bagi efesiensi kerja dan prestasi departemen. Lihat saja office boy yang selalu mengantarkan kopi, atau mereka yang memunguti penjepit kertas di ruang kerja, maka blablablablablaaa... [dan seterusnya, berbelit-belit] (selama dua bulan cuek terhadap argumen balasan dan terus mengulang perkara yang sama)

11. Two Wrongs Make a Right
Two Wrongs Make a Right adalah kesesatan yang terjadi ketika diasumsi bahwa jika dilakukan suatu hal yang salah, tindakan salah yang lain akan menyeimbanginya. Sesat-pikir ini biasa digunakan untuk menggagalkan tuduhan dengan menyerang tuduhan lain yang juga dianggap salah.
Contoh:
Dedi: Soeharto merebut kekuasaan dari Bung Karno dan akhirnya ia berkuasa dengan tangan besi.
Amir: Tapi Soekarno juga mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup! (ya, tapi itu bukan berarti apa yang dilakukan Soeharto itu benar)

12. Argumentum ad Novitam
Argumentum ad Novitam muncul ketika sesuatu hal yang baru dapat dikatakan benar dan lebih baik, dengan mengasumsikan penggunaan hal yang baru berbanding lurus dengan kemajuan zaman dan sama dengan kemajuan baru yang lebih baik. Sesat-pikir ini selalu menjual kata 'baru', dengan menyerang suatu hal yang lama sebagai hal yang gagal dan harus diganti dengan yang lebih baru.
Contoh:
Mengganti golongan tua dengan golongan muda serta wajah baru di parlemen akan membuat negara ini lebih baik. (tapi masalah seperti korupsi bukan perkara tua atau muda)

13. Argumentum ad Antiquitam
Kebalikan dari Argumentum ad Novitatem, ketika sesuatu benar dan lebih baik karena merupakan sesuatu yang sudah dipercaya dan digunakan sejak lama. Argumen ini adalah favorit bagi golongan konservatif. Nilai-nilai lama pasti benar. Patriotisme, kejayaan negara, dan harga diri sejak puluhan tahun silam. Sederhananya, sesat-pikir ini adalah kebiasaan malas berpikir. Dengan selalu berpatokan bahwa cara lama telah dijalankan bertahun-tahun, maka itu dianggap sesuatu yang pasti benar.
Contoh:
PDI-Perjuangan telah memperjuangkan nasib wong cilik sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, maka pilihlah moncong putih. (berpuluh-puluh tahun berjuang, lalu apa hasilnya?)

14. False Dichotomy
False Dichotomy atau False Dilemma terjadi apabila argumen hanya melibatkan dua opsi, yang seringkali berupa dua titik ekstrim dari beberapa kemungkinan, di mana masih ada cara lain namun tidak disertakan ke dalam argumen. Biasanya sesat-pikir ini menyempitkan opsi menjadi dua saja, walaupun masih ada opsi lain. Bahkan kadang-kadang menyempitkan opsi menjadi satu, sehingga seolah-olah mau tidak mau harus menyetujuinya.
Contoh:
Sistem pendidikan yang fraksi kami ajukan harus segera disahkan dan dilaksanakan, jika tidak, kemerosotan moral pasti akan menghinggapi generasi muda kita.(opsi lainnya tidak disertakan sehingga membuat argumennya mau tidak mau harus disetujui).

Sesat-pikir pada hakikatnya merupakan jebakan bagi proses penalaran kita. Seperti halnya rambu-rambu lalu lintas dipasang sebagai peringatan bagi para pemakai jalan di bagian-bagian yang rawan kecelakaan, maka rambu-rambu sesat-pikir ditawarkan kepada kita agar kita mampu mengidentifikasi dan menganalisis kesalahan-kesalahan tersebut sehingga mungkin kita akan selamat dari penalaran yang keliru.

Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan relevansi, misalnya kita sendiri harus tetap bersikap kritis terhadap setiap argumen. Dalam hal ini, penelitian terhadap peranan bahasa dan penggunaannya merupakan hal yang sangat menolong dan penting. Realisasi keluwesan dan keanekaragaman penggunaan bahasa dapat kita manfaatkan untuk memperoleh kesimpulan yang benar dari sebuah argumen.

Sesat-pikir karena ambiguitas kata atau kalimat terjadi secara “halus”. Banyak kata yang menyebabkan kita mudah tergelincir karena banyak kata yang memiliki rasa dan makna yang berbeda-beda. Untuk menghindari terjadinya sesat-pikir tersebut, kita harus dapat mengupayakan agar setiap kata atau kalimat memiliki makna yang tegas dan jelas. Untuk itu kita harus dapat mendefinisikan setiap kata atau term yang kita pergunakan.

Senin, 04 April 2011

Peran Lembaga Kemasyarakatan atau Organisasi Non-Politik (Ornop) dalam Mempengaruhi Kebijakan


Oleh : Taufik Nurohman

Peran Lembaga Kemasyarakatan atau Organisasi Non-Politik (Ornop) dalam Mempengaruhi Kebijakan
Menurut Soekanto (1999:268) Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan. Peranan dan kedudukan tidak dapat dipisahkan, karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Hubungan-hubungan yang ada dalam masyarakat merupakan hubungan antara peranan-peranan individu dalam masyarakat. Peranan yang melekat pada diri seseorang harus dibedakan dengan posisi dalam pergaulan masyarakat. Posisi seseorang dalam masyarakat (yaitu social-positional) merupakan unsur statis yang menunjukan tempat individu pada organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjukan pada fungsi, penyesuaian diri, dan sebagian suatu proses. Jadi seseorang menduduki suatu posisi dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan.


Menurut Soekanto (1999:269) Peranan mencakup tiga hal yaitu:
a.Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan kemasyarakatan.
b.Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
c.Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada individu untuk dapat menjalankan peranan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan merupakan bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk melaksanakan peranan.
Menurut Setiawan (2000:23) secara umum, peran Organisasi-organisasi non-pemerintah harus terus mendorong adanya perubahan kebijakan sektor-sektor kehidupan publik ke arah yang lebih baik. Untuk itu masing-masing organisasi non-pemerintah harus menyiapkan unsur-unsur objektif dan subjektifnya sebagai prasyarat sebuah gerakan sejati. Kondisi subjektif berkaitan dengan kecerdasan, kemampuan, keterampilan dan tanggung jawab dari para aktivis organisasi dengan mengedepankan kerjasama antarjaringan kerja. Sementara kondisi objektif lebih pada pengolahan indera dalam melihat dan menilai peluang-peluang yang berkembang di seluruh bidang kehidupan yang dapat mendorong tujuan bersama.
Setiawan (2000:24) menegaskan beberapa peran organisasi non-pemerintah (dalam aras nasional) yang harus diupayakan yaitu:
1.Menemukan pemimpin negara yang efektif dan produktif dalam arti seluas-luasnya; keterlibatan dalam pendidikan politik, menjadi pemantau pemilu dan berbagai macam proses tingkah laku politik negaradengan berpegang pada prinsip-prinsip ke-Ornop-an yakni independent/non-partisan dan mengabdi kepada rakyat kecil.
2.Membuat media publikasi nasional yang secara sistematik mampu menjadi payung dan corong propaganda organisasi non-pemerintah di seluruh Indonesia.
3.Merumuskan kesepakatan minimal tentang isu-isu yang sangat strategis untuk diupayakan perubahannya sebagai prasyarat langkah menuju demokratisasi di Indonesia.

Teori Sistem David Easton


Oleh : Taufik Nurohman

Sistem dapat diartikan sebagai kesatuan yang terbentuk dari beberapa unsur (elemen). Unsur, komponen atau bagian yang banyak ini satu sama lain berada dalam keterkaitan yang mengikat dan fungsional. Masing-masing kohesif satu sama lain, sehingga ketotalitasannya unit terjaga utuh eksistensinya. Tinjauan tersebut adalah pandangan dari segi bentuknya. Jadi pengertian sistem, disamping dapat diterapkan pada hal yang bersifat “immaterial” atau suatu proses “immaterial”, juga dapat diterapkan pada hal yang bersifat material. Untuk yang bersifat “immaterial” penguraian atau penentuan “model”-nya lebih cenderung berfungsi sebagai alat analisis dan merupakan cara, tata, rencana, skema, prosedur atau metode. Sistem adalah suatu cara yang mekanismenya berpatron (berpola) dan konsisten, bahkan mekanismenya sering disebut otomatis.
Sementara itu menurut David Easton (1984:395) sistem adalah:
Teori sistem adalah suatu model yang menjelaskan hubungan tertentu antara sub-sub sistem dengan sistem sebagai suatu unit (yang bisa saja berupa suatu masyarakat, serikat buruh, organisasi pemerintah).

Easton juga meringkas ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Sistem mempunyai batas yang didalamnya ada saling hubungan fungsional yang terutama dilandasi oleh beberapa bentuk komunikasi.
2. Sistem terbagi kedalam sub-sub sistem yang satu sama lainnya saling melakukan pertukaran (seperti antara desa dengan pemerintah daerah atau antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat).
3. Sistem bisa membuat kode, yaitu menerima informasi, mempelajari dan menerjemahkan masukan (input) kedalam beberapa jenis keluaran (output).

Carl. D. Friedrich dalam buku “man and his Government” mengemukakan definisi sistem, yaitu :
Apabila beberapa bagian yang berlainan dan berbeda satu sama lain membentuk suatu kesatuan, melaksanakan hubungan fungsional yang tetap satu sama lain serta mewujudkan bagian-bagian itu saling tergantung satu sama lain. Sehingga kerusakan suatu bagian mengakibatkan kerusakan keseluruhan, maka hubungan yang demikian disebut sistem. (Sukarna, 1981:19)

Sedangkan teori sistem menurut Michael Rush dan Philip Althoff (1988:19) menyatakan bahwa gejala sosial merupakan bagian dari politik tingkah laku yang konsisten, internal dan reguler dan dapat dilihat serta dibedakan, karena itu kita bisa menyebutnya sebagai: sistem sosial, sistem politik dan sejumlah sub-sub sistem yang saling bergantung seperti ekonomi dan politik.
Sebenarnya tiap-tiap sistem yang ada dalam masyarakat itu tidak otonom atau tertutup tetapi terbuka, dalam arti suatu sistem akan dipengaruhi oleh sistem yang lain. Setiap sistem akan menerima input dari sistem lainnya dan sistem akan memproses input tersebut dalam bentuk output bagi sistem lainnya.
David Easton dalam karyanya A System Analysis of Political Life (dalam Susser, 1992:189) mencoba menggambarkan kemungkinan melihat kehidupan politik dari terminologi sistem. Sistem adalah konsep simulasi dari totalitas. Untuk melihat kehidupan sosial, sistem dapat bermakna kenyataan sosial yang terintegrasi dari kompleksitas berbagai unit yang ada serta bersifat interdependen. Jadi perubahan unit-unit sosial akan menyebabkan perubahan pada unit-unit lainnya dalam satu totalitas. Apabila melihat kehidupan politik suatu negara, dengan perpektif sistem maka fokusnya adalah adanya ko-variasi dan interdependensi dari berbagai unit-unit politik dalam suatu negara yang merupakan bagian dari unit sistem itu sendiri. Kehidupan politik diinterpretasikan sebagai sistem tingkah laku yang bersifat adaptif dan melakukan proses penyesuaian secara otomatis terhadap berbagai tekanan dari lingkungan dan perubahan fungsional dari unit-unitnya.
David Easton (1984: 395) mendefinisikan sistem politik sebagai sistem interaksi dalam masyarakat dimana didalamnya alokasi yang mengikat atau juga yang mengandung otoritas dibuat dan diimplementasikan.
Menurut S.P Varma (1990:298), definisi sistem Easton tersebut terbagi kedalam tiga komponen yaitu : (1) alokasi nilai-nilai, (2) alokasi sebagai kewenangan dan (3) alokasi-alokasi otoritatif sebagai sesuatu yang mengikat masyarakat secara keseluruhan dan menurutnya cara yang paling memuaskan.
Pengertian lain tentang sistem politik dikemukakan Rusadi Kantaprawira (1988:8) yaitu mekanisme seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur politik dalam hubungannya satu sama lain yang menunjukan suatu yang langgeng, proses termaksud mengandung dimensi waktu (masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang) kemudian yang diartikan dengan struktur ialah semua aktivitas yang dapat diobservasi atau diidentifikasi dapat menentukan sistem politik itu sendiri.
Menurut pendapat Robert. S. Dahl (dalam Mohtar M. 1982:2) dalam bukunya yang berjudul Modern “Political Analysis”, dinyatakan tentang pengertian sistem politik sebagai berikut :
A political system as any persistent pattern of human relationships that involves to a significant extent, control, influence, power or outhority. (jadi menurut Dahl sistem politik adalah sebagai pola yang tetap dari hubungan-hubungan antar manusia yang melibatkan,--sampai pada tingkat berarti--, kontrol, pengaruh, kekuasaan ataupun wewenang).

Gabriel A. Almond mendefinisikan sistem politik sebagai sistem interaksi yang terdapat dalam seluruh masyarakat merdeka yang menjalankan fungsi-fungsi integrasi dan adaptasi (baik secara internal maupun dalam berhadapan dengan masyarakat lain dengan alat-alat atau ancaman paksaan fisik yang kurang lebih absah.(SP. Varma, 1990:298)
Ada tiga hal yang secara jelas muncul dari definisi Almond tentang sistem politik (SP. Varma, 1990:199) adalah :
1. Bahwa suatu sistem politik adalah sustu keseluruhan yang konkret yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan-lingkungan, hadirnya kekuatan yang absah secara bersamaan menjaga sistem itu.
2. Interaksi-interaksi yang terjadi bukan diantara individu-individu tetapi diantara peranan-peranan yang mereka mainkan.
3. Sistem politik merupakan sistem yang terbuka yang terikat dalam suatu komunikasi yang terus-menerus dengan entitas-entitas dan sistem disebrang perbatasannya.
Berdasarkan pada pengertian-pengertian atau batasan-batasan yang dikemukakan oleh para sarjana terkemuka seperti tersebut diatas dapatlah ditarik suatu pengertian bahwa sistem politik adalah merupakan sistem interaksi atau hubungan yang terjadi di dalam masyarakat, melalui dialokasikannya nilai-nilai kepada masyarakat dan pengalokasian nilai-nilai tersebut dengan mempergunakan paksaan fisik yang sedikit banyak bersifat sah.
Talcot Parson dengan fungsionalisme strukturalnya percaya adanya empat fungsi dasar dalam sistem politik yaitu, penyesuaian pencapaian tujuan, integrasi dan pemeliharaan pola. Masing-masing fungsi dasar ini dihasilkan oleh empat subsistem analisis yaitu, sosial, kultural, personalitas dan organisme perilaku. Secara bersama-sama fungsi-fungsi ini dipandang Parsons sebagai syarat penting untuk pemeliharaan tiap masyarakat. Menurut Parsons, masyarakat terdiri dari empat struktur dasar atau sub-sub sistem yaitu ekonomi, politik, hukum dan kontrol sosial serta budaya dan komitmen-komitmen pendorong yang masing-masing berguna untuk menjalankan salah satu fungsi bagi masyarakat. (SP. Varma, 1990: 282)
Dalam sistem politik terdapat mekanisme yang biasa dilalui, berikut adalah sistem politik model David Easton (1984:165)
Dalam mekanisme sistem politik, input terdiri dari atas tuntutan (demand) dan dukungan (support). Tuntutan terhadap sistem politik dapat bervariasi bentuknya, misalnya tuntutan untuk mendapatkan pelayanan yang layak, penghasilan yang layak, keamanan, prinsip-prinsip moral dan sebagainya. Tuntutan merupakan mesin bekerjanya sistem politik dan dalam beroperasi melakukan konversi atas tuntutan itu dalam bentuk kebijakan-kebijakan otoritatif sebagai outputnya.
Jadi terpeliharanya sistem menuntut adanya tuntutan yang diproses dalam tingkat yang dapat diarahkan. Untuk memenuhi tujuan ini sistem politik menetapkan filter yang berfungsi melakukan seleksi maupun membatasi tuntutan-tuntutan itu. Filter-filter utama sebagai pengolahnya adalah institusi, budaya, dan struktur politik. Disamping tuntutan, sistem juga memerlukan dukungan. Dukungan tersebut bersifat terbuka dalam bentuk tindakan-tindakan yang secara jelas dan nyata mendukung dan tertutup yaitu tindakan-tindakan serta sentimen-sentimen yang mendukung. Dengan mengikuti proses konversi dalam sistem politik “keluaran” dalam bentuk keputusan. Keputusan otoritatif dapat diproduksi, dalam proses konversi bisa disebut Black box. Hal ini dikarenakan dalam proses tersebut tidak jelas lembaga mana yang paling dominan dalam proses tersebut. Namun dapat diketahui bahwa mereka adalah kelompok yang disebut sebagai elite, yaitu lapisan yang paling menentukan kebijakan-kebijakan suatu negara. Output/keluaran kemudian berproses lagi menjadi input setelah melalui proses umpan balik (feedback). Dalam sistem tersebut juga dipengaruhi oleh lingkungan baik internal maupun eksternal, lingkungan tersebut mencakup lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang memberi masukan-masukan, variabel sistem, keluaran dan hasil akhir yang berupa kebijakan.

Demokrasi...Sistem Politik di Indonesia?


OLeh : Taufik Nurohman

Sistem politik yang mengarah pada sistem politik yang demokratis dapat terlihat ketika kita mengkorelasikan sistem politik yang sedang berjalan dengan indikator-indikator demokrasi secara empirik yang merupakan prasyarat suatu sistem politik yang demokratis. Menurut Afan Gaffar (2002:7-10) prasyarat dari sistem politik yang demokratis adalah sebagai berikut :
1.Akuntabilitas
Dalam demokrasi, setiap pemegang jabatan yang dipilih oleh rakyat harus dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya.
2.Rotasi kekuasaan
Dalam demokrasi peluang akan terjadinya rotasi kekuasaan harus ada dan dilakukan secara teratur dan damai. Dalam suatu negara yang tingkat demokrasinya masih rendah, rotasi kekuasaannya biasanya rendah pula, bahkan peluang untuk itu sangat terbatas.
3.Rekruitmen politik yang terbuka
Untuk memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan, diperlukan suatu sistem rekruitmen yang terbuka. Artinya, setiap orang yang memenuhi syarat untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat mempunyai peluang yang sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Dalam negara yang tidak demokratis, rekruitmen politik biasanya dilakukan secara tertutup. Artinya, peluang untuk mengisi jabatan politik hanya dimiliki oleh segelintir orang saja.
4.Pemilihan Umum
Dalam suatu negara demokrasi pemilu dilaksanakan secara teratur. Setiap warga negara yang telah dewasa mempunyai hak untuk memilih dan dipilih dan bebas menggunakan haknya tersebut sesuai dengan kehendak hati nuraninya.
5.Menikmati hak-hak dasar (Hak Asasi Manusia)
Dalam suatu negara yang yang demokratis, setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak dasar mereka secara bebas, termasuk didalamnya adalah hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat dan hak untuk menikmati pers yang bebas.
Ketika melihat prasyarat di atas, ada hal yang nampak sekali perubahannya pada era transisi politik setelah runtuhnya kekuasaan Soeharto. Perubahan itu adalah perubahan yang erat kaitannya dengan hak asasi manusia yang didalamya terdapat hak menyatakan pendapat serta hak untuk berkumpul dan berserikat. Kebebasan untuk menyatakan pendapat, berkumpul dan berserikat ini tebuka lebar saat itu. Hal ini salah satunya ditandai oleh bermunculannya partai-partai politik dan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Selain dari prasyarat tingkat demokrasi di suatu negara dapat dilihat dari bagaimana pemegang kekuasaan mengeluarkan kebijakan baik pada tahap formulasi maupun pada tahap pelaksanaannya. Apakah dalam menyusun suatu kebijakan melibatkan masyarakat atau tidak dan apakah kebijakan itu merepresentasikan kepentingan masyarakat luas.
Sistem politik di Indonesia mengalami perubahan pada tahun 1998 yang diawali dengan runtuhnya rezim Soeharto yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan. Perubahan tersebut adalah perubahan dari sistem yang otoriter yang dijalankan oleh rezim Soeharto ke arah yang lebih demokratis.
Di era Soeharto yang sangat otoriter kekuasaan terpusat di tangannya, tidak ada satu kekuatan pun yang mampu menyentuh kekuasannya itu. Ketika ada suatu kekuatan yang sekiranya dapat menggangu kekuasaannya Soeharto kala itu langsung mengatasinya dengan cara-cara represif. Misalnya saja ketika itu ada beberapa media massa yang mencoba mengkritisi kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, Soeharto langsung membrendel media tersebut. Yang lebih parah lagi, ketika ada suatu kekuatan yang mencoba menekan kekuasaan Soeharto maka mereka akan dicap sebagai komunis atau PKI. Pemerintahan yang dijalankan oleh Soeharto sangat jauh dari Demokratis.
Sejak terjadinya perubahan di awal era reformasi itu kran demokrasi terbuka lebar. Kekuatan-kekuatan politik baru yang ikut mempengaruhi proses formulasi kebijakan bermunculan, kritik terhadap pemerintah menjadi bukan hal yang tabu. Kekuatan dalam struktur kenegaraan pun menjadi berimbang.
Pasca perkembangan proses politik di Indonesia dan diiringi dengan runtuhnya kekuatan Soeharto maka dominasi negara dalam berbagai sektor kehidupan juga runtuh. Fenomena civil society mulai menguat dan dominasi negara mulai kendur, hal ini juga ditandai dengan lahirnya berbagai bentuk kemandirian organisasi sosial maupun politik yang bertujuan untuk mengartikulasikan kepentingan. LSM-LSM yang kian hari kian bertambah jumlahnya dalam rangka berperan sebagai kelompok penekan penguasa, bahkan revitalisasi berbagai bentuk organisasi dan institusi lokal sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat lapisan bawah. Seiring dengan berjalannya waktu arus demokratisasi seperti itupun mulai merambah ke tingkat lokal dimana organisasi-organisasi sosial maupun politik yang berperan sebagai kelompok penekan atau kelompok penyeimbang terhadap kekuasaan penguasa di tingkat lokal.

Sumber Gambar : Kompasiana.com

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan