Selasa, 21 Februari 2012

Otonomi Daerah Dalam Prespektif Pendidikan Karakter Bangsa

Oleh : Taufik Nurohman

Pendahuluan
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Konsekuensi logis dari sebuah negara kesatuan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan daerahnya sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku sesuai dengan asas desentralisasi dan tugas pembantuan.
Di era pasca reformasi ini dasar hukum yang mengatur hal tersebut adalah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Banyak harapan yang dapat dimungkinkan dari implementasi peraturan perundangan itu khususnya dalam penerapan otonomi daerah. Melalui otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan sendiri kegiatannya dan pemerintah mampu memainkan peranannya dalam membuka peluang memajukan daerah dengan melakukan identifikasi potensi sumber-sumber pendapatan serta mampu menetapkan anggaran belanja daerah secara efektif dan efisien termasuk dalam hal kemampuan perangkat daerah dalam meningkatkan kinerja serta mempertanggungjawabkan kepada pemerintah yang tingkatannya lebih atas maupun kepada masyarakat.
Selain itu, otonomi daerah memunculkan kesempatan identitas lokal yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Namun seiiring dengan itu pula dalam menghadapi hal tersebut kita dihadapi berbagai masalah, tantangan dan kendala yang tidak mudah dapat diselesaikan.

Dasar Hukum Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Kedua tahun 2000. UUD 1945 pasca amandemen itu mencantumkan permasalahan daerah dalam BAB VI yaitu pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B. sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”. Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis “pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintah pusat”. Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut:
Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan-perundangan.

Undang-Undang Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut:
Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam sistem otonomi daerah dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atau kepada instansi vertikal di wilaya tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Sebagai konsekuensi logis pemberlakuan sistem otonomi daerah, dibentuk pula perangkat peraturan perundangan yang mengatur mengenai perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004.
Selain itu pula, amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “gubernur, bupati dan wallikota masing-masing sebagai kepala daerah pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” direalisasikan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemillihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Masalah dan Kendala yang Dihadapi
Implementasi otonomi daerah beserta akibatnya memang sangat perlu untuk dicermati. Tidak hanya memindahkan potensi korupsi dari pusat ke daerah, otonomi daerah dengan sistem pemilihan kepala daerah langsung juga memunculkan raja-raja kecil di daereah yang mempersubur korupsi, kolusi dan nepotisme. Disamping itu, dengan adanya otonomi daerah, arogansi DPRD semakin tidak terkendali karena mereka merupakan representasi elit lokal yang berpengaruh. Karena perannannya tersebut, ditengah suasana demokrasi yang masih rapuh di tingkat lokal, DPRD menjadi kekuatan politik baru yang sangat rentan terhadap korupsi.
Selain itu, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, publik seharusnya dilibatkan dalam pembuatan kebijakan. Namun, di beberapa daerah walaupun sudah mengadopsi sistem otonomi daerah, kenyataannya yang terjadi masih jauh dari harapan. Pengambilan keputusan belum melibatkan publik dan masih berada di lingkaran elit lokal. Belum terlibatnya publik dalam pembuatan kebijakan itu tercermin dari pembuatan peraturan daerah.



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan