Senin, 15 Agustus 2011

Dominasi Negara dan Kerusakan Lingkungan


ign: center;">
Oleh: Adji Samekto
Ada hubungan erat antara teori modernisasi atau pembangunan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, dan kerusakan lingkungan. Tulisan ini mencoba mengurai fenomena modernisasi model dunia ketiga, yang ternyata menjadi penyebab kerusakan lingkungan.
Penggunaan istilah modernisasi sering ditukarbalikkan dengan istilah pembangunan sehingga modernisasi dianggap memiliki kesamaan arti dengan pembangunan (Mansour Fakih, 2001). Sesuai dengan itu maka dikatakan teori modernisasi sebenarnya sama dengan teori pembangunan, yang pada dasarnya merupakan teori perubahan sosial .
Sebagaimana diketahui, setelah Perang Dunia II, negara-negara Eropa Barat mengalami banyak kesulitan ekonomi. Untuk memulihkan, negara-negara Eropa Barat dan AS melakukan konsolidasi. Hasilnya adalah perubahan dalam hubungan antarnegara di bidang sosial, ekonomi dan politik.
Negara-negara Eropa Barat dan AS tidak mungkin lagi melakukan penjajahan fisik. Dominasi kapitalisme kemudian diwujudkan dalam penjajahan non-fisik. Hal yang menambah kekhawatiran negara-negara Barat, pada masa itu perang dingin mulai melanda dunia.
Amerika dan negara-negara Eropa Barat menyadari situasi ini sehingga mereka mendorong para ilmuwan sosial mengembangkan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negara-negara dunia ketiga namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri.
Oleh karena itulah di bidang sosial, mulai dilakukan rekayasa dengan penyusunan teori-teori sosial. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang adalah teori modernisasi atau teori pembangunan.
Dalam perspektif ilmuwan Barat, pengertian modernisasi menunjuk kepada satu tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri di Inggris 1760-1830 dan revolusi politik di Prancis 1789-1794 (Bendix, 1980).
Modernisasi dalam konteks itu merujuk pada perubahan sosial sejak abad ke-18, yang terdiri atas kemajuan dalam masyarakat Inggris dan Prancis serta perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Jadi modernisasi merupakan satu tipe perubahan sosial yang merujuk pada revolusi industri dan politik dalam masyarakat Barat .
Dalam konteks modernisasi, penggunaan cara-cara budaya Barat maupun pemasukan barang-barang materi Barat merupakan bagian dari modernisasi. Oleh karena itu, proses modernisasi disebut sebagai westernisasi, dengan komponen-komponennya yang terdiri atas industrialisasi, demokrasi, dan ekonomi pasar (Fred W.Riggs 1980).
Maka dikatakan oleh Vedi R.Hadiz (1999), bahwa modernisasi diukur berdasarkan sejauh mana pola-pola dan nilai-nilai demokrasi Barat tertanam dan berkembang dalam masyarakat. Modernisasi negara-negara dunia ketiga lalu dilihat dari kemampuan negara yang bersangkutan dalam mengembangkan pola-pola kehidupan politik sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasionalitas dan objektivitas dalam ukuran negara-negara Barat, pencetus kapitalisme.
Dalam konstruksi teori modernisasi dari Barat, sebenarnya peran negara telah dikurangi seminimal mungkin. Ini sesuai paham kapitalisme yang meminimalkan peran negara dalam urusan-urusan ekonomi masyarakat.
Negara berperan sekadar sebagai fasilitator untuk menjamin kelancaran berjalannya mekanisme pasar bebas. Mereka yang melakukan kegiatan dalam rangka modernisasi adalah pengusaha, industri yang didukung petani dan buruh.
Masing-masing saling melakukan interaksi dalam mekanisme pasar bebas yang sehat dan kompetitif. Kelas pekerja yang terampil dan kelas menengah yang energik, mandiri dan menentukan, mendorong timbulnya kekuatan-kekuatan politik sehingga negara tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Di sinilah muncul apa yang diistilahkan sebagai era of right dan negara demokratik modern .
Model Dunia Ketiga
Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara dunia ketiga, ternyata menunjukkan hal yang sangat jauh dari idealisme di atas. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara dunia ketiga justru menimbulkan dominasi peran negara .
Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan negara.
Sedangkan modernisasi di negara-negara dunia ketiga membutuhkan modal besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia.
Gerschenkron sebagaimana dikutip Agus Subagyo (2002) menyatakan makin terlambat suatu negara melakukan proses industrialisasi , makin diperlukan campur tangan negara. Oleh karenanya negara harus terlibat dalam pembangunan ekonomi.
Keterlibatan negara inilah yang mendorong negara untuk terjun dalam proses-proses ekonomi, seperti melakukan akumulasi modal, mendorong terciptanya dunia usaha serta campur tangan dalam regulasi di bidang industri dan perdagangan (Agus Subagyo, 2002).
Dengan demikian jelas adanya kenyataan yang berlawanan antara negara-negara Eropa Barat dan negara-negara dunia ketiga. Jika modernisasi di Eropa Barat dan AS yang banyak berperan aktor-aktor non-negara, sebaliknya di dunia ketiga yang berperan negara.
Dominasi negara ternyata menciptakan kolaborasi-kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dan penguasa (negara).
Kekuatan kapitalisme global berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang harus terus-menerus diperbesar demi akumulasi keuntungan.
Penguasa berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi sesaat yang bisa diperoleh karena kewenangannya. Karena itu tidak mengherankan apabila di Indonesia, banyak kasus lingkungan hidup yang tidak direspons dengan sungguh oleh pemerintah atau kandas di pengadilan.
Pembuatan peraturan di bidang lingkungan pun banyak yang tidak melibatkan rakyat. Demikianlah maka untuk kepentingan-kepentingan kelanggengan koalisi rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Keadaan diperparah dengan tidak efektifnya penegakan hukum untuk melindungi lingkungan.
Maka terjadinya kerusakan lingkungan di Indonesia dengan berbagai modusnya seperti pembabatan hutan, penebangan liar, pembangunan areal pemukiman secara sembarangan yang menyebabkan banjir.
Pembiaran pengambilan keragaman hayati oleh perusahaan-perusahaan asing, ataupun diberikannya izin pembuangan limbah dari negara asing ke negara kita, bisa dipahami dalam konteks dominasi negara yang memunculkan koalisi kepentingan.
Untuk mengikis koalisi kepentingan yang merusak lingkungan, demokratisasi di bidang pengelolaan lingkungan menjadi tidak terelakkan. Persoalan lingkungan hidup terlalu penting untuk diserahkan begitu saja kepada politisi dan birokrat negara.
Suara masyarakat harus didengar dan dihargai dalam merumuskan pilihan-pilihan yang akan diambil. Sebab masyarakat itu sendirilah yang nanti akan menanggung akibat kerusakan lingkungan.
Pengingkaran terhadap keharusan-keharusan itu niscaya akan menyebabkan peraturan-peraturan perlindungan lingkungan tidak efektif selamanya.(33)

sumber : http://www.suaramerdeka.com/harian/0206/05/kha1.htm

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan