?
Jumat, 25 Februari 2011
Senin, 14 Februari 2011
REALITAS KEKUASAAN VIRTUAL
11.54
Taufik Nurohman
No comments
Dalam era informasi, menegakkan kebebasan mengakses informasi menjadi komponen penting.
Oleh : Joseph S. Nye*
Pernyataan di atas adalah dasar bagi buku baru saya yang berjudul Masa Depan Kekuasaan (The Future of Power). Ada dua model pergeseran kekuasaan yang muncul pada abad ini: transisi kekuasaan dan penyebaran kekuasaan.
Transisi kekuasaan dari satu wilayah yang lebih dominan ke wilayah lain merupakan pola umum yang biasa terjadi. Namun, penyebaran kekuasaan merupakan proses yang lebih mutakhir. Masalah yang menghinggapi banyak negara hari-hari ini adalah penyebaran kekuasaan terjadi di luar kendali, bahkan oleh yang paling kuat di antara mereka.
Sementara itu, dunia tengah mencurahkan perhatian kepada kemungkinan kejatuhanAmerika. Ramalan ini menggunakan Inggris serta Roma sebagai analogi. Namun, Roma tetap mendominasi dunia tiga abad setelah kekuasaannya mencapai puncak. Kekaisaran itu bahkan tidak terpengaruh dengan munculnya negara baru. Hanya saja, bangsa itu jatuh pelan-pelan karena keberadaan berbagai suku barbar.
Bahkan, menyangkut ramalan terhangat yang menyebutkan bahwa Cina, India atau Brazil akan melampaui Amerika Serikat pada beberapa dekade mendatang, ancaman terbesar justru datang dari kelompok barbar modern dan pelaku-pelaku non-negara. Dalam sebuah dunia yang berdasar atas informasi dan ketidakamanan maya (cyber-insecurity), penyebaran kekuasaan mungkin akan lebih berbahaya ketimbang transisi kekuasaan.
Lantas, apa makna penggunaan kekuasaan di era informasi global abad ke 21 ini? Dari mana kekuasaan berasal?
Tiap zaman memiliki jawabannya masing-masing. Pada abad ke 16, kendali atas daerah jajahan dan emas lantakan memberikan keuntungan bagi Spanyol. Sedangkan Belanda diuntungkan oleh perdagangan dan keuangan pada abad ke 17. Perancis bersyukur memiliki populasi dan tentara berlimpah pada abad ke 18. Sementara Inggris unggul di bidang industri dan kelautan pada abad ke 19.
Menurut keyakinan umum, negara yang memiliki angkatan militer terkuat akan menang. Pada abad informasi, negara (atau bukan negara) yang menjalin narasi terbaik akan berjaya. Kini, sulit untuk mengukur perimbangan kekuatan, terlebih bagaimana mengembangkan strategi bertahan yang berhasil.
Sebagian besar prediksi tentang pergeseran perimbangan kekuatan global berdasar atas satu faktor: proyeksi atas pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Ramalan-ramalan itu menihilkan dimensi lain dari kekuasaan seperti kekuatan militer dan kekuatan narasi. Selain itu, patut pula disebutkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam merangkai kesemuanya menjadi strategi jitu.
Negara akan tetap menjadi pelaku utama di panggung dunia. Namun, negara akan mendapatkan panggung yang lebih sesak dan sulit dikendalikan. Banyak penduduk di suatu negara telah memiliki akses lebih luas ke kekuasaan lewat informasi.
Pemerintah di seluruh dunia selalu mengkhawatirkan arus dan kendali informasi. Ini satu-satunya zaman yang begitu kuat dipengaruhi oleh perubahan dramatis yang terjadi di ranah teknologi informasi. Hal yang baru adalah, seperti kita saksikan di Timur Tengah belakangan, kecepatan komunikasi dan pemberdayaan teknologi yang berdaya jangkau lebih luas oleh para pelakunya.
Zaman informasi ini, seringkali disebut sebagai "Revolusi Industri Ketiga" berdasar atas pesatnya kemajuan teknologi pada komputer, komunikasi dan perangkat-lunak yang pada gilirannya menurunkan biaya produksi, pengerjaan, penyebaran dan pencarian bermacam informasi. Artinya, politik dunia tak lagi menjadi wilayah yang menyangkut pemerintah belaka.
Selagi biaya komputasi dan komunikasi menjadi lebih murah, maka seolah-olah tembok penghalang kini runtuh. Para individu dan organisasi swasta seperti perusahaan, LSM serta teroris lalu didorong memiliki peran di percaturan politik dunia.
Penyebaran informasi juga berarti bahwa kekuasaan akan lebih luas didistribusikan dan jejaring informal akan melemahkan monopoli pada birokrasi tradisional.
Kecepatan akses Internet memiliki arti bahwa semua pemerintahan akan memiliki kendali lebih kecil atas agenda mereka. Para pemimpin politik akan menikmati derajat kebebasan yang lebih kecil sebelum mereka harus merespon suatu peristiwa. Mereka juga harus bersaing dengan para pelaku lain yang jumlahnya meningkat demi bisa didengar.
Kita menyaksikan ini semua ketika para pembuat kebijakan di Amerika Serikat harus menghadapi prahara yang sedang mendera Timur Tengah. Jatuhnya rezim di Tunisia menghasilkan efek mendalam. Namun, semuanya jatuh pada waktu yang mengejutkan dunia, termasuk pemerintah AS. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa percepatan revolusi itu dipengaruhi oleh keberadaan Twitter dan WikiLeaks.
Pada hari ketika pemerintahan Obama menyusun kebijakan atas Mesir dan Yaman, mereka juga mengalami dilema. Di Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh telah memberi banyak sumbangan dalam menghadapi ancaman yang ditebarkan teroris Al-Qaeda. Di Mesir, pemerintahan Hosni Mubarak turut andil dalam meredakan konflik antara Israel dan Palestina serta menjadi penyeimbang bagi Iran di wilayah itu.
Dukungan simplistis atas demokrasi oleh pemerintahan George W Bush di Irak dan Jalur Gaza berakibat fatal, karena pemilihan umum di sana memicu naiknya Hamas ke pemerintahan.
Pada abad informasi, kebijakan yang cerdas adalah yang bisa mengkombinasikan 'hard power' dan 'soft power'. Pemerintahan Obama sendiri tak dapat memungkiri kekuatan 'soft power': demokrasi, kebebasan dan keterbukaan.
Karena itu, Obama dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton telah membuat pendekatan bagi publik dan swasta di Mesir dan dunia Arab pada umumnya tentang reformasi dan perubahan. Mereka pun menyarankan adanya pembatasan kekerasan atas semua pihak. Mereka juga mendukung kebebasan atas informasi sebagai upaya melawan kebijakan rezim Mesir menutup akses Internet.
Bagaimana kelanjutan masalah di Timur Tengah, takkan ada seorang pun yang tahu. Tapi, dalam era informasi ini, menegakkan kebebasan dalam mengakses informasi akan menjadi komponen penting bagi kekuasaan yang cerdas.
* Joseph S. Nye, mantan Wakil Menteri Pertahanan AS, profesor di Harvard sekaligus penulis The Future of Power
Sumber : vivanews.com Senin, 14 Februari 2011
Sementara itu, dunia tengah mencurahkan perhatian kepada kemungkinan kejatuhanAmerika. Ramalan ini menggunakan Inggris serta Roma sebagai analogi. Namun, Roma tetap mendominasi dunia tiga abad setelah kekuasaannya mencapai puncak. Kekaisaran itu bahkan tidak terpengaruh dengan munculnya negara baru. Hanya saja, bangsa itu jatuh pelan-pelan karena keberadaan berbagai suku barbar.
Bahkan, menyangkut ramalan terhangat yang menyebutkan bahwa Cina, India atau Brazil akan melampaui Amerika Serikat pada beberapa dekade mendatang, ancaman terbesar justru datang dari kelompok barbar modern dan pelaku-pelaku non-negara. Dalam sebuah dunia yang berdasar atas informasi dan ketidakamanan maya (cyber-insecurity), penyebaran kekuasaan mungkin akan lebih berbahaya ketimbang transisi kekuasaan.
Lantas, apa makna penggunaan kekuasaan di era informasi global abad ke 21 ini? Dari mana kekuasaan berasal?
Tiap zaman memiliki jawabannya masing-masing. Pada abad ke 16, kendali atas daerah jajahan dan emas lantakan memberikan keuntungan bagi Spanyol. Sedangkan Belanda diuntungkan oleh perdagangan dan keuangan pada abad ke 17. Perancis bersyukur memiliki populasi dan tentara berlimpah pada abad ke 18. Sementara Inggris unggul di bidang industri dan kelautan pada abad ke 19.
Menurut keyakinan umum, negara yang memiliki angkatan militer terkuat akan menang. Pada abad informasi, negara (atau bukan negara) yang menjalin narasi terbaik akan berjaya. Kini, sulit untuk mengukur perimbangan kekuatan, terlebih bagaimana mengembangkan strategi bertahan yang berhasil.
Sebagian besar prediksi tentang pergeseran perimbangan kekuatan global berdasar atas satu faktor: proyeksi atas pertumbuhan Produk Domestik Bruto. Ramalan-ramalan itu menihilkan dimensi lain dari kekuasaan seperti kekuatan militer dan kekuatan narasi. Selain itu, patut pula disebutkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam merangkai kesemuanya menjadi strategi jitu.
Negara akan tetap menjadi pelaku utama di panggung dunia. Namun, negara akan mendapatkan panggung yang lebih sesak dan sulit dikendalikan. Banyak penduduk di suatu negara telah memiliki akses lebih luas ke kekuasaan lewat informasi.
Pemerintah di seluruh dunia selalu mengkhawatirkan arus dan kendali informasi. Ini satu-satunya zaman yang begitu kuat dipengaruhi oleh perubahan dramatis yang terjadi di ranah teknologi informasi. Hal yang baru adalah, seperti kita saksikan di Timur Tengah belakangan, kecepatan komunikasi dan pemberdayaan teknologi yang berdaya jangkau lebih luas oleh para pelakunya.
Zaman informasi ini, seringkali disebut sebagai "Revolusi Industri Ketiga" berdasar atas pesatnya kemajuan teknologi pada komputer, komunikasi dan perangkat-lunak yang pada gilirannya menurunkan biaya produksi, pengerjaan, penyebaran dan pencarian bermacam informasi. Artinya, politik dunia tak lagi menjadi wilayah yang menyangkut pemerintah belaka.
Selagi biaya komputasi dan komunikasi menjadi lebih murah, maka seolah-olah tembok penghalang kini runtuh. Para individu dan organisasi swasta seperti perusahaan, LSM serta teroris lalu didorong memiliki peran di percaturan politik dunia.
Penyebaran informasi juga berarti bahwa kekuasaan akan lebih luas didistribusikan dan jejaring informal akan melemahkan monopoli pada birokrasi tradisional.
Kecepatan akses Internet memiliki arti bahwa semua pemerintahan akan memiliki kendali lebih kecil atas agenda mereka. Para pemimpin politik akan menikmati derajat kebebasan yang lebih kecil sebelum mereka harus merespon suatu peristiwa. Mereka juga harus bersaing dengan para pelaku lain yang jumlahnya meningkat demi bisa didengar.
Kita menyaksikan ini semua ketika para pembuat kebijakan di Amerika Serikat harus menghadapi prahara yang sedang mendera Timur Tengah. Jatuhnya rezim di Tunisia menghasilkan efek mendalam. Namun, semuanya jatuh pada waktu yang mengejutkan dunia, termasuk pemerintah AS. Beberapa pengamat menyebutkan bahwa percepatan revolusi itu dipengaruhi oleh keberadaan Twitter dan WikiLeaks.
Pada hari ketika pemerintahan Obama menyusun kebijakan atas Mesir dan Yaman, mereka juga mengalami dilema. Di Yaman, rezim Ali Abdullah Saleh telah memberi banyak sumbangan dalam menghadapi ancaman yang ditebarkan teroris Al-Qaeda. Di Mesir, pemerintahan Hosni Mubarak turut andil dalam meredakan konflik antara Israel dan Palestina serta menjadi penyeimbang bagi Iran di wilayah itu.
Dukungan simplistis atas demokrasi oleh pemerintahan George W Bush di Irak dan Jalur Gaza berakibat fatal, karena pemilihan umum di sana memicu naiknya Hamas ke pemerintahan.
Pada abad informasi, kebijakan yang cerdas adalah yang bisa mengkombinasikan 'hard power' dan 'soft power'. Pemerintahan Obama sendiri tak dapat memungkiri kekuatan 'soft power': demokrasi, kebebasan dan keterbukaan.
Karena itu, Obama dan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton telah membuat pendekatan bagi publik dan swasta di Mesir dan dunia Arab pada umumnya tentang reformasi dan perubahan. Mereka pun menyarankan adanya pembatasan kekerasan atas semua pihak. Mereka juga mendukung kebebasan atas informasi sebagai upaya melawan kebijakan rezim Mesir menutup akses Internet.
Bagaimana kelanjutan masalah di Timur Tengah, takkan ada seorang pun yang tahu. Tapi, dalam era informasi ini, menegakkan kebebasan dalam mengakses informasi akan menjadi komponen penting bagi kekuasaan yang cerdas.
* Joseph S. Nye, mantan Wakil Menteri Pertahanan AS, profesor di Harvard sekaligus penulis The Future of Power
Sumber : vivanews.com Senin, 14 Februari 2011
Sabtu, 12 Februari 2011
SAMA RASA DAN SAMA RATA*
21.43
Taufik Nurohman
No comments
Oleh: Mas Marco Kartodikromo
Sair inillah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,
Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,
Sair inillah dari pendjara,
Waktoe kami baroe dihoekoemnja,
Di-Weltevreden tempat tinggalnja,
Doea belas boelan poenja lama,
Ini boekan sair Indie Weerbaar,
Sair mana jang bisa mengantar,
Dalam boei jang tidak sebentar,
Membikin hatinja orang gentar,
Kami bersair boekan krontjongan,
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,
Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.
Ini sair nama; "Sama rasa"
"Dan Sama rata" itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.
Didalam pendjara tidak enak,
Tertjere dengan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.
Tapi dia djoega bangsa orang,
Seperti manoesia jang memegang,
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Ada perampoek aloer dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Dia itoelah sama perampoeknja,
Minta orang dengan lakoe paksa,
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.
Hal ini baik kami koentjikan,
Lain hal jang kami bitjarakan,
Perkara jang mesti difahamkan,
Dan akhirnja kita melakoekan.
Banjak orang jang mengetahoei,
Doea kali kami kena doeri,
Artikel wetboek jang menakoeti,
Djoega panasnja seperti api.
Kakik kami soeda sama loekak,
Kena doeri jang koeintjak-intjak,
Djoega palang-palang jang koedoepak,
Soedah ada sedikit terboekak.
Haraplah soedarakoe di tendang,
Semoea barang jang malang-malang,
Soepaja kita berdjalan senang,
Ketempat kita jang amat terang.
Boeat sebentar kami berhenti,
Didjalan perempat tempat kami,
Merasakan ketjapaian diri,
Sambil melihati djalan ini.
Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Seperti anak jang beloem oesia,
Dan beloem bangoen dari tidoernja.
Kami sampe didjalan perempat,
Kami berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat,
Ketinggal misih djaoeh amat.
Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen penharapan ta’ poetoes,
Kaloe perloe boleh sampe mampoes.
Djalan jang koetoedjoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas,
Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: "Sama rasa, sama rata."
* dalam Sinar Djawa Rebo 10 April 1918 no. 81.
Seperti si orang pelantjongan,
Mondar mandir kebingoengan,
Jaitoe pemoeda Semarangan,
Doeloe kita soeka krontjongan,
Tetapi sekarang soeka terbangan,
Dalam S.I. Semarang jang aman,
Bergerak keras ebeng-ebengan.
Ini sair nama; "Sama rasa"
"Dan Sama rata" itoelah njata,
Tapi boekan sair bangsanja,
Jang menghela kami dipendjara.
Didalam pendjara tidak enak,
Tertjere dengan istri dan anak,
Koempoel maling dan perampok banjak,
Seperti bangsanja si pengampak.
Tapi dia djoega bangsa orang,
Seperti manoesia jang memegang,
Koeasa dan harta benda orang,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Ada perampoek aloer dan kasar,
Djoega perampok ketjil dan besar,
Bertopeng beschaving dan terpeladjar,
Dengan berlakoe jang tidak terang.
Dia itoelah sama perampoeknja,
Minta orang dengan lakoe paksa,
Tidak mengingat kebangsaannja,
Bangsa manoesia didoenia.
Hal ini baik kami koentjikan,
Lain hal jang kami bitjarakan,
Perkara jang mesti difahamkan,
Dan akhirnja kita melakoekan.
Banjak orang jang mengetahoei,
Doea kali kami kena doeri,
Artikel wetboek jang menakoeti,
Djoega panasnja seperti api.
Kakik kami soeda sama loekak,
Kena doeri jang koeintjak-intjak,
Djoega palang-palang jang koedoepak,
Soedah ada sedikit terboekak.
Haraplah soedarakoe di tendang,
Semoea barang jang malang-malang,
Soepaja kita berdjalan senang,
Ketempat kita jang amat terang.
Boeat sebentar kami berhenti,
Didjalan perempat tempat kami,
Merasakan ketjapaian diri,
Sambil melihati djalan ini.
Djangan takoet kami poetoes hasa,
Merasakan kotoran doenia,
Seperti anak jang beloem oesia,
Dan beloem bangoen dari tidoernja.
Kami sampe didjalan perempat,
Kami berdjalan terlaloe tjepat,
Temen kita jang berdjalan lambat,
Ketinggal misih djaoeh amat.
Kami berniat berdjalan teroes,
Tetapi kami berasa aoes,
Adapoen penharapan ta’ poetoes,
Kaloe perloe boleh sampe mampoes.
Djalan jang koetoedjoe amat panas,
Banjak doeri poen anginnja keras,
Tali-tali mesti kami tatas,
Palang-palang djoega kami papas,
Soepaja djalannja SAMA RATA,
Jang berdjalan poen SAMA me RASA,
Enak dan senang bersama-sama,
Ja’toe: "Sama rasa, sama rata."
* dalam Sinar Djawa Rebo 10 April 1918 no. 81.
Ahmadiyah, Darah dan Ibadah
21.35
Taufik Nurohman
No comments
Datang sejak awal abad ke-20, Ahmadiyah ditentang di nusantara. Tak punya kitab sendiri.
Kalimat selanjutnya, ditulis setengah putus asa. “Di pinggiran yang dianggap angker banyak setan sekali pun,” tulis si pengikut itu. Jeritan itu dikutip oleh Djohan Effendi, seorang pemikir Muslim yang prihatin nasib pengikut Ahmadiyah. "Menjadi pengungsi di negeri sendiri," tulis Djohan
.
Mereka adalah kaum terusir. Di Lombok, pada 2004, misalnya, para pengikut ajaran Mirza Ghulam Ahmad itu membeli tanah di Dusun Ketapang, Desa Gegerung, Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Saat itu, ada 36 Kepala Keluarga, atau 138 jiwa sempat menetap di Lingsar.
Baru setahun menetap, kelompok ini diserang warga setempat pada Oktober 2005. Ahmadiyah, kata warga, membawa ajaran sesat. Mereka mencoba bertahan. Tapi lima bulan kemudian serangan kembali datang. Pada 4 Februari 2006, mereka tersingkir lagi.
Karena tak punya tempat, pemerintah NTB lalu mengungsikan mereka ke Asrama Transito, di Majeluk Kota Mataram. “Di sini kami memang lebih aman,” ujar Basirun Ajiz, penasehat Jemaat Ahmadiyah Lombok.
Hidup di penampungan juga sulit. Kebutuhan mereka sempat ditopang sembako bantuan Pemda sampai 2007. Setelah itu, agar tetap hidup, mereka kerja serabutan. Dari menjadi kuli kasar, mengasong, sampai tukang ojek.
Beberapa bulan silam, ujar Basirun, mereka kembali ke Lingsar. Tapi hanya sempat menginjakkan kaki sebentar. Pada 26 November 2010, warga datang dengan beringas. Sekitar 21 rumah pengikut Ahmadiyah dirusak massa. Akhirnya mereka kembali ke Asrama Transito Kota Mataram.
Itu sebabnya, surat terbuka seprti dikutip Djohan Effendi itu, terdengar lirih. “Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini, ... di pekuburan-pekuburan, yang penting kami dapat keluar dari penampungan. Hidup normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan”.
Berdarah
Tak hanya di Lombok, Jemaat Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011.
Akibatnya, pada 29 Januari, puluhan anggota Jemaat Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar. Tapi, setelah evakuasi, sekretariat mereka dirusak dan diobrak-abrik. Pintunya dijebol, dan dokumen disita. Papan nama hijau di depan bangunan dirobohkan.
Atas nama Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, massa FPI dipimpin Habib Reza menuntut Ahmadiyah bubar. Ajaran itu, dianggap melenceng dari Islam. FPI juga menuding Ahmadiyah melanggar SKB itu.
Yang dimaksud FPI adalah surat keputusan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Intinya, memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam. Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur.
FPI, misalnya, semua kegiatan Ahmadiyah tergolong dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” teriak Habib Reza, di tengah massa FPI Sulawesi Selatan yang beraksi hari itu.
Di barat nusantara, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Misalkan, ada masjid Ahmadiyah yang dibakar di Ciampea, Bogor. Lalu ada teror pembakaran panti asuhan di Tasik Malaya, bentrokan di Kuningan, hingga penyerbuan masjid di Jakarta.
Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah diganyang sebanyak 33, dan 50 kali.
Puncak tragedi berdarah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubaligh Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menuturkan kronologi penyerbuan brutal itu.
Pada Sabtu 5 Februari, pukul 09.00, Kepolisian Resort Pandeglang menangkap Suparman, istri Suparman, dan Tatep (ketua Pemuda Ahmadiyah). Polisi membawa mereka ke kantor Polres Padeglang. Alasannya, ingin memeriksa status imigrasi istri Suparman yang warga negara Filipina.
Mendengar informasi penahanan ini, pemuda Ahmadiyah dari Jakarta dan Serang datang ke Cikeusik mengamankan anggota Jemaat Ahmadiyah yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Semua Jemaat, sekitar 25 orang itu telah berkumpul di rumah Suparman.
Rombongan dari Jakarta dan Serang tiba pukul 8.00, Ahad 6 Februari. Jumlahnya 18 orang, ditambah tiga warga Cikeusik. Mereka lalu berjaga-jaga di rumah Suparman, takut ada serangan massa.
Mendengar akan ada serangan, satu regu polisi dari Reserse Kriminal datang ke lokasi. Mereka sarapan, dan berdialog bersama Jemaat. Polisi minta mereka segera meninggalkan lokasi.
Tapi, permintaan itu ditolak. Polisi lalu meninggalkan lokasi. Sejak saat itu tidak ada dialog lagi antara Jemaat Ahmadiyah dan kepolisian. Warga Ahmadiyah tetap berkumpul di rumah Suparman.
Pukul 10.00, ratusan orang menyerbu rumah Suparman. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok. Terjadilah bentrokan itu. Total penyerang mencapai 1.500 orang. Akibat serbuan itu, tiga warga Ahmadiyah tewas mengenaskan. Mereka adalah Roni, 30, warga Jakarta Utara; Mulyadi, 30, warga Cikeusik; dan Tarno, 25, warga Cikeusik.
Ibadah
Peristiwa di Cikeusik berdampak ke seluruh Jemaat Ahmadiyah. Kata juru bicara Jemaat Ahmadiyah Sulsel, Mukhtiar, kecemasan menghantui pengikut mereka. Padahal, “Dalam Islam, perbedaan adalah rahmah, meski itu beda penafsiran,” ujarnya.
Di Yogyakarta, tak jauh beda. Sering kali, saat mereka beribadah diintai orang tak dikenal. "Mungkin intel atau siapa, kami tak tahu," kata juru bicara Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta Munawar Ahmad.
Dia beserta puluhan anggota jamaah itu pernah tegang setelah sekompok massa mendatangi masjid mereka. Untungnya, tak sampai terjadi keributan. "Melihat atributnya, mereka FPI," katanya. "Mereka minta dialog, kami turuti, sehingga tak sampai timbul kekerasan."
Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta cukup aktif. Mereka menggelar pengajian besar dua kali setiap bulan. Dakwah juga dilakukan melalui pendidikan nonformal. Tapi dakwah itu terbatas pada anggota mereka saja.
Bagi Jemaat Ahmadiyah Bogor, yang tempatnya di Desa Cisalada, Kecamatan Ciampea itu pernah diserbu massa, kecamasan terasa pekat. Tapi, karena soal keyakinan, mereka tetap beribadah. Kata Khairul Khalam, Jemaat Ahmadiyah Bogor, "Keyakinan kami terhadap Imam Mahdi tak akan pudar."
Tafsir
Penafsiran memicu perbedaan. Ahmadiyah menafsirkan setelah Nabi Muhammad wafat akan muncul pembaru, dialah Mirza Ghulam Ahmad. Nabi yang tak membawa syariat baru.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Kerukunan Antarumat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan, penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam. Mulai Islam radikal sampai moderat, kata Slamet, semua tak sependapat dengan aqidah Ahmadiyah itu. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia kepada VIVAnews.com.
Juru bicara Front Pembela Islam Munarman mengatakan, keyakinan itu sama saja menodai Islam. Dia mengatakan, tak hanya kepercayaan atas nabi terakhir, beberapa keyakinan Ahmadiyah juga dinilai sesat. Misalnya, kata Muhammad di dalam Alquran tak ditafsirkan sebagai Muhammad, melainkan Mirza Ghulam Ahmad. "Dia juga memiliki kitab tambahan, Tazkirah," ujar Munarman.
Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yogyakarta, Ahmad Saifudin Muttaqi mengatakan mereka tak pernah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. "Syahadat kami tetap,” ujarnya menirukan syahadat di rukun Islam.
Adapun soal kitab Tazkirah, kata Saifudin, bukanlah kitab suci. Kitab itu hanya semacam kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Sebagai pegangan, dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.
Soal kontroversi Ahmadiyah ini, intelektual Muslim Azyumardi Azra, menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan warga Ahmadiyah. "Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi kepada VIVAnews. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."
Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama.
Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah ini percaya, Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," katanya.
Sang Mahdi
Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad bergelar sebagai Mujaddid, al-Masih, dan al-Mahdi.
Seperti dikutip dari laman Ahmadiyah.org, setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, Ahmadiyah dipimpin Shadr Anjuman Ahmadiyah. Setelah Anjuman meninggal, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad naik tahta. Bashiruddin tak lain adalah anak Mirza Ghulam Ahmad. Pada masa kepemimpinan inilah Ahmadiyah pecah.
Bashiruddin berpendapat bahwa al-Masih al-Mau’ud itu betul-betul nabi. Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepadanya, hukumnya kafir, dan keluar dari Islam. Menurut Bashiruddin, Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir.
Jemaat yang menentang Bashiruddin, lalu keluar, dan membentuk Ahmadiyah Anjuman Isya’ati atau dikenal dengan Ahmadiyah Lahore, karena berpusat di Lahore, Pakistan. Ahmadiyah Lahore tetap bersikukuh Mirza hanyalah pembaru Islam di abad itu.
Para pengikut Bashiruddin, dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah atau Ahmadiyah Qadian. Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian disebut juga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pusatnya di Parung, Bogor. [Baca juga Dari India Menyebar ke 190 Negara]
Sementara Ahmadiyah Lahore, bermarkas di Yogyakarta, dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Munarman, juru bicara FPI, target perlawanan organisasinya adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. "Bukan Gerakan Ahmadiyah," ujarnya.
Dalam buku 75 Tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jemaat Ahmadiyah masuk ke Indonesia dibawa tiga pemuda asal Sumatera Barat. Mereka adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan.
Awalnya mereka ingin belajar ke Mesir. Tapi guru mereka menyarankan ke India. Di India mereka bertemu komunitas Ahmadiyah Lahore. Lalu mereka juga melawat ke pusat Ahmadiyah di Qadian. Di Qadian lah mereka bertemu Bashiruddin, dan ketiganya pun dibaiat.
Pada Agustus 1925, para pelajar ini pulang, dan mendirikan Ahmadiyah di Sumatera Barat. Pada 1926, Jemaat Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi. Mereka diakui sebagai organisasi berbadan hukum oleh Menteri Kehakiman RI di tahun 1953.(np)
Sumber : vivanews.com. Jum'at, 11 Februari 2011, 21:31 WIB
Laporan Rahmat Zeena (Makassar), Erick Tanjung (Yogyakarta), Ayatullah Humaeni (Bogor), dan Edy Gustan (Lombok).
Hidup di penampungan juga sulit. Kebutuhan mereka sempat ditopang sembako bantuan Pemda sampai 2007. Setelah itu, agar tetap hidup, mereka kerja serabutan. Dari menjadi kuli kasar, mengasong, sampai tukang ojek.
Beberapa bulan silam, ujar Basirun, mereka kembali ke Lingsar. Tapi hanya sempat menginjakkan kaki sebentar. Pada 26 November 2010, warga datang dengan beringas. Sekitar 21 rumah pengikut Ahmadiyah dirusak massa. Akhirnya mereka kembali ke Asrama Transito Kota Mataram.
Itu sebabnya, surat terbuka seprti dikutip Djohan Effendi itu, terdengar lirih. “Berilah kami tempat, Bapak Wali Kota, di mana saja di wilayah kota Mataram ini, ... di pekuburan-pekuburan, yang penting kami dapat keluar dari penampungan. Hidup normal, menghirup udara kebebasan dan kemerdekaan”.
Berdarah
Tak hanya di Lombok, Jemaat Ahmadiyah juga ditolak di Sulawesi Selatan. Sekretariat mereka di Jalan Anuang, Kecamatan Mamajang, Makassar, didatangi seratusan anggota Front Pembela Islam (FPI) Sulawesi Selatan, pada 28 dan 29 Januari 2011.
Akibatnya, pada 29 Januari, puluhan anggota Jemaat Ahmadiyah terpaksa diungsikan ke kantor Polrestabes Makassar. Tapi, setelah evakuasi, sekretariat mereka dirusak dan diobrak-abrik. Pintunya dijebol, dan dokumen disita. Papan nama hijau di depan bangunan dirobohkan.
Atas nama Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, massa FPI dipimpin Habib Reza menuntut Ahmadiyah bubar. Ajaran itu, dianggap melenceng dari Islam. FPI juga menuding Ahmadiyah melanggar SKB itu.
Yang dimaksud FPI adalah surat keputusan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008. Intinya, memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam. Tapi, keputusan itu memancing tafsir yang lentur.
FPI, misalnya, semua kegiatan Ahmadiyah tergolong dakwah. “Harusnya mereka berhenti. Jika tidak, mereka telah menyebarkan ajaran kafir,” teriak Habib Reza, di tengah massa FPI Sulawesi Selatan yang beraksi hari itu.
Di barat nusantara, nasib Ahmadiyah lebih buruk. Misalkan, ada masjid Ahmadiyah yang dibakar di Ciampea, Bogor. Lalu ada teror pembakaran panti asuhan di Tasik Malaya, bentrokan di Kuningan, hingga penyerbuan masjid di Jakarta.
Setara Institute mencatat, pada kurun 2008-2010, ada 276 kali aksi kekerasan atas Ahmadiyah. Terbanyak pada 2008, 193 kasus, atau 73 persen total kekerasan atas kaum minoritas di tahun itu. Pada 2009 dan 2010, Ahmadiyah diganyang sebanyak 33, dan 50 kali.
Puncak tragedi berdarah terjadi pada Ahad, 6 Februari 2011. Tiga orang tewas dalam penyerbuan rumah mubaligh Ahmadiyah, Suparman, di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten.
Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menuturkan kronologi penyerbuan brutal itu.
Pada Sabtu 5 Februari, pukul 09.00, Kepolisian Resort Pandeglang menangkap Suparman, istri Suparman, dan Tatep (ketua Pemuda Ahmadiyah). Polisi membawa mereka ke kantor Polres Padeglang. Alasannya, ingin memeriksa status imigrasi istri Suparman yang warga negara Filipina.
Mendengar informasi penahanan ini, pemuda Ahmadiyah dari Jakarta dan Serang datang ke Cikeusik mengamankan anggota Jemaat Ahmadiyah yang kebanyakan ibu-ibu dan anak-anak. Semua Jemaat, sekitar 25 orang itu telah berkumpul di rumah Suparman.
Rombongan dari Jakarta dan Serang tiba pukul 8.00, Ahad 6 Februari. Jumlahnya 18 orang, ditambah tiga warga Cikeusik. Mereka lalu berjaga-jaga di rumah Suparman, takut ada serangan massa.
Mendengar akan ada serangan, satu regu polisi dari Reserse Kriminal datang ke lokasi. Mereka sarapan, dan berdialog bersama Jemaat. Polisi minta mereka segera meninggalkan lokasi.
Tapi, permintaan itu ditolak. Polisi lalu meninggalkan lokasi. Sejak saat itu tidak ada dialog lagi antara Jemaat Ahmadiyah dan kepolisian. Warga Ahmadiyah tetap berkumpul di rumah Suparman.
Pukul 10.00, ratusan orang menyerbu rumah Suparman. Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan golok. Terjadilah bentrokan itu. Total penyerang mencapai 1.500 orang. Akibat serbuan itu, tiga warga Ahmadiyah tewas mengenaskan. Mereka adalah Roni, 30, warga Jakarta Utara; Mulyadi, 30, warga Cikeusik; dan Tarno, 25, warga Cikeusik.
Ibadah
Peristiwa di Cikeusik berdampak ke seluruh Jemaat Ahmadiyah. Kata juru bicara Jemaat Ahmadiyah Sulsel, Mukhtiar, kecemasan menghantui pengikut mereka. Padahal, “Dalam Islam, perbedaan adalah rahmah, meski itu beda penafsiran,” ujarnya.
Di Yogyakarta, tak jauh beda. Sering kali, saat mereka beribadah diintai orang tak dikenal. "Mungkin intel atau siapa, kami tak tahu," kata juru bicara Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta Munawar Ahmad.
Dia beserta puluhan anggota jamaah itu pernah tegang setelah sekompok massa mendatangi masjid mereka. Untungnya, tak sampai terjadi keributan. "Melihat atributnya, mereka FPI," katanya. "Mereka minta dialog, kami turuti, sehingga tak sampai timbul kekerasan."
Jemaat Ahmadiyah Yogyakarta cukup aktif. Mereka menggelar pengajian besar dua kali setiap bulan. Dakwah juga dilakukan melalui pendidikan nonformal. Tapi dakwah itu terbatas pada anggota mereka saja.
Bagi Jemaat Ahmadiyah Bogor, yang tempatnya di Desa Cisalada, Kecamatan Ciampea itu pernah diserbu massa, kecamasan terasa pekat. Tapi, karena soal keyakinan, mereka tetap beribadah. Kata Khairul Khalam, Jemaat Ahmadiyah Bogor, "Keyakinan kami terhadap Imam Mahdi tak akan pudar."
Tafsir
Penafsiran memicu perbedaan. Ahmadiyah menafsirkan setelah Nabi Muhammad wafat akan muncul pembaru, dialah Mirza Ghulam Ahmad. Nabi yang tak membawa syariat baru.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Bidang Kerukunan Antarumat Beragama Slamet Effendi Yusuf mengatakan, penafsiran Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi tak bisa diterima sebagian besar umat Islam. Mulai Islam radikal sampai moderat, kata Slamet, semua tak sependapat dengan aqidah Ahmadiyah itu. "Hampir semua menganggap Ahmadiyah sesat," kata dia kepada VIVAnews.com.
Juru bicara Front Pembela Islam Munarman mengatakan, keyakinan itu sama saja menodai Islam. Dia mengatakan, tak hanya kepercayaan atas nabi terakhir, beberapa keyakinan Ahmadiyah juga dinilai sesat. Misalnya, kata Muhammad di dalam Alquran tak ditafsirkan sebagai Muhammad, melainkan Mirza Ghulam Ahmad. "Dia juga memiliki kitab tambahan, Tazkirah," ujar Munarman.
Tapi, tudingan itu ditolak Ahmadiyah. Ketua Jemaat Ahmadiyah Indonesia Yogyakarta, Ahmad Saifudin Muttaqi mengatakan mereka tak pernah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. "Syahadat kami tetap,” ujarnya menirukan syahadat di rukun Islam.
Adapun soal kitab Tazkirah, kata Saifudin, bukanlah kitab suci. Kitab itu hanya semacam kumpulan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad. Sebagai pegangan, dan pedoman hidup Ahmadiyah tetaplah Alquran.
Soal kontroversi Ahmadiyah ini, intelektual Muslim Azyumardi Azra, menekankan pentingnya ulama dan tokoh masyarakat mendidik masyarakat. Azyumardi meminta masyarakat tak alergi atas keberadaan warga Ahmadiyah. "Jangan cepat marah. Perkuat saja keimanan kita sendiri," ujar Azyumardi kepada VIVAnews. "Kementerian Agama perlu memberikan pendidikan yang lebih intensif kepada umat Islam supaya keimanannya tidak goyah."
Dia juga menyarankan pemerintah memperkuat toleransi kerukunan umat beragama.
Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah ini percaya, Ahmadiyah tak merusak agama Islam. Keberadaan Ahmadiyah tak bakal mengurangi keimanan seseorang. "Keimanan saya tetap saja meskipun ada orang-orang Ahmadiyah," katanya.
Sang Mahdi
Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada 1889 di satu desa kecil yang bernama Qadian, Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad bergelar sebagai Mujaddid, al-Masih, dan al-Mahdi.
Seperti dikutip dari laman Ahmadiyah.org, setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal, Ahmadiyah dipimpin Shadr Anjuman Ahmadiyah. Setelah Anjuman meninggal, Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad naik tahta. Bashiruddin tak lain adalah anak Mirza Ghulam Ahmad. Pada masa kepemimpinan inilah Ahmadiyah pecah.
Bashiruddin berpendapat bahwa al-Masih al-Mau’ud itu betul-betul nabi. Semua orang Islam yang tidak berbaiat kepadanya, hukumnya kafir, dan keluar dari Islam. Menurut Bashiruddin, Nabi Muhammad bukanlah nabi terakhir.
Jemaat yang menentang Bashiruddin, lalu keluar, dan membentuk Ahmadiyah Anjuman Isya’ati atau dikenal dengan Ahmadiyah Lahore, karena berpusat di Lahore, Pakistan. Ahmadiyah Lahore tetap bersikukuh Mirza hanyalah pembaru Islam di abad itu.
Para pengikut Bashiruddin, dikenal sebagai Jemaat Ahmadiyah atau Ahmadiyah Qadian. Di Indonesia, Ahmadiyah Qadian disebut juga Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pusatnya di Parung, Bogor. [Baca juga Dari India Menyebar ke 190 Negara]
Sementara Ahmadiyah Lahore, bermarkas di Yogyakarta, dengan nama Gerakan Ahmadiyah Indonesia. Munarman, juru bicara FPI, target perlawanan organisasinya adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia. "Bukan Gerakan Ahmadiyah," ujarnya.
Dalam buku 75 Tahun Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jemaat Ahmadiyah masuk ke Indonesia dibawa tiga pemuda asal Sumatera Barat. Mereka adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin, dan Zaini Dahlan.
Awalnya mereka ingin belajar ke Mesir. Tapi guru mereka menyarankan ke India. Di India mereka bertemu komunitas Ahmadiyah Lahore. Lalu mereka juga melawat ke pusat Ahmadiyah di Qadian. Di Qadian lah mereka bertemu Bashiruddin, dan ketiganya pun dibaiat.
Pada Agustus 1925, para pelajar ini pulang, dan mendirikan Ahmadiyah di Sumatera Barat. Pada 1926, Jemaat Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi. Mereka diakui sebagai organisasi berbadan hukum oleh Menteri Kehakiman RI di tahun 1953.(np)
Sumber : vivanews.com. Jum'at, 11 Februari 2011, 21:31 WIB
Laporan Rahmat Zeena (Makassar), Erick Tanjung (Yogyakarta), Ayatullah Humaeni (Bogor), dan Edy Gustan (Lombok).
KONSEP DASAR KEBIJAKAN PUBLIK
13.09
Taufik Nurohman
No comments
Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara sering terjadi berbagai permasalahan. Negara yang memengang penuh tanggung jawab pada kehidupan rakyatnya harus mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan publik yang dibuat dan dikeluarkan oleh negara diharapkan dapat menjadi solusi akan permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan Publik adalah suatu keputusan yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002).
Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai solusi permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik.
Thomas R. Dye (1981) → Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Selain itu, kajiannya yang hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian.
Easton (1969) → Mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Anderson (1975) → kebijakan publik adalah kebijakan kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Dye (1978) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Whatever governments choose to do or not to do.”, yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan publik sebagai suatu upaya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya secara berbeda-beda. Dia juga mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut harus memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya merupakan keinginan atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.
David Easton → mendefinisikan public policy sebagai : “The authoritative allocation of value for the whole society, but it turns out that only theg overnment can authoritatively act on the ‘whole’ society, and everything the government choosed do or not to do result in the allocation of values.” Maksudnya, public policy tidak hanya berupa apa yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah karena keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan.
Chief J.O. Udoji (1981) → mendefinisikan kebijaksanaan publik sebagai “ An sanctioned course of action addressed to a particular problem or group of related problems that affect society at large.” Maksudnya ialah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
Jonnes (1977) → memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit.
Edward →kebijakan publik didefinisikan sebagai “What governments say and do, or do not do. It is the goals or purposes of governments programs.” Maksudnya, apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah termasuk kebijakan publik. Merujuk pada definisi di atas, kebijakan publik tampil sebagai sasaran atau tujuan program-program. Edward lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan publik itu dapat diterapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Chandler dan Plano (1988) → Kebijakan publik ialah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Woll (1966) → kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah tersebut yaitu: 1) adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat; 2) adanya output kebijakan, di mana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; 3) adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyrakat.
Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002).
Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan.
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut:
1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.
Thomas R. Dye (1981) → Kebijakan publik adalah apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Selain itu, kajiannya yang hanya terfokus pada negara sebagai pokok kajian.
Easton (1969) → Mendefinisikan kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam pengertian ini hanya pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Anderson (1975) → kebijakan publik adalah kebijakan kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.
Dye (1978) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Whatever governments choose to do or not to do.”, yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan publik sebagai suatu upaya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan mereka melakukannya secara berbeda-beda. Dia juga mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut harus memiliki tujuan. Kebijakan publik tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan hanya merupakan keinginan atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.
David Easton → mendefinisikan public policy sebagai : “The authoritative allocation of value for the whole society, but it turns out that only theg overnment can authoritatively act on the ‘whole’ society, and everything the government choosed do or not to do result in the allocation of values.” Maksudnya, public policy tidak hanya berupa apa yang dilakukan oleh pemerintah, akan tetapi juga apa yang tidak dikerjakan oleh pemerintah karena keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan.
Chief J.O. Udoji (1981) → mendefinisikan kebijaksanaan publik sebagai “ An sanctioned course of action addressed to a particular problem or group of related problems that affect society at large.” Maksudnya ialah suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang diarahkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan yang mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.
Jonnes (1977) → memandang kebijakan publik sebagai suatu kelanjutan kegiatan pemerintah di masa lalu dengan hanya mengubahnya sedikit demi sedikit.
Edward →kebijakan publik didefinisikan sebagai “What governments say and do, or do not do. It is the goals or purposes of governments programs.” Maksudnya, apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah termasuk kebijakan publik. Merujuk pada definisi di atas, kebijakan publik tampil sebagai sasaran atau tujuan program-program. Edward lebih lanjut menjelaskan bahwa kebijakan publik itu dapat diterapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah.
Chandler dan Plano (1988) → Kebijakan publik ialah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus-menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.
Woll (1966) → kebijakan publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Dalam pelaksanaan kebijakan publik terdapat tiga tingkat pengaruh sebagai implikasi dari tindakan pemerintah tersebut yaitu: 1) adanya pilihan kebijakan atau keputusan yang dibuat oleh politisi, pegawai pemerintah atau yang lainnya yang bertujuan menggunakan kekuatan publik untuk mempengaruhi kehidupan masyarakat; 2) adanya output kebijakan, di mana kebijakan yang diterapkan pada level ini menuntut pemerintah untuk melakukan pengaturan, penganggaran, pembentukan personil dan membuat regulasi dalam bentuk program yang akan mempengaruhi kehidupan masyarakat; 3) adanya dampak kebijakan yang merupakan efek pilihan kebijakan yang mempengaruhi kehidupan masyrakat.
Pada sudut pandang lain, Hakim (2003) mengemukakan bahwa Studi Kebijakan Publik mempelajari keputusan-keputusan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah yang menjadi perhatian publik. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh Pemerintah sebagian disebabkan oleh kegagalan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan menyelesaikan persoalan publik. Kegagalan tersebut adalah information failures, complex side effects, motivation failures, rentseeking, second best theory, implementation failures (Hakim, 2002).
Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan kebijakan teknis operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c) evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda, (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) penilaian kebijakan.
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan sebagai berikut:
1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.
3. Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
4. Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
6. Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.
7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.
PENELITIAN KAMPUNG KUTA
10.11
Taufik Nurohman
No comments
PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT ADAT DALAM FORMULASI KEBIJAKAN
(Deskripsi tentang Partisipasi Politik Masyarakat Kampung Kuta dalam Formulasi Kebijakan di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis)
Akhmad Satori
Taufik Nurohman
Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Abstrak
Partisipas Politik secara aktif dalam pembuatan kebijakan menjadi syarat mutlak, karena partisipasi itu akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi partisipasi politik masyarakat adat Kampung Kuta dalam formulasi kebijakan publik di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis.
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Kualitatif Deskriftif. Dalam penelitian ini tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (Indeepth Interview), observasi langsung dan dokumentasi, tekhnik purposive sampling adalah tehnik yang digunakan untuk pengambilan sampel. Analisis data menggunakan metode analisis interaktif dan validitas data yang dipakai adalah tekhnik triangulasi data.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ,Partisipasi politik yang berkembang dalam masyarakat adat Kampung Kuta dalam formulasi kebijakan bisa di lihat dalam dua proses. Pertama, partisipasi politik dalam proses kebijakan di internal komunitas adat, dan Kedua, partisipasi politik dalam proses formulasi kebijakan di tingkat desa.
Partisipasi politik dalam komunitas adat, lebih bersifat tertutup dengan model elitis, Kuncen sangat berperan dalam menentukan kebijakan, sedangkan dalam akses perencanaan, control kebijakan adat masyarakat tidak terlibat sama sekali, hal ini di karenakan kekuatan tradisi yang memposisikan kuncen sebagai aktor utama yang mengeluarkan kebijakan adat. Sedangkan partisipasi politik dalam tahapan atau proses formulasi kebijakan tingkat di Desa Karangpaninggal sudah berjalan dengan dengan mengikuti nilai-nilai yang demokratis. Artinya dalam proses ini ruang partisipasi politik masyarakat terbuka luas.. Namun demikian ruang untuk perpartisipasi tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sumber daya manusia dan tingkat pemahaman mengenai partisitisipasi politik yang rendah.
Kata Kunci : Partisipas Politik, Masyarakat Adat, Formulasi Kebijakan.
Abstract
Political participation is the participation of society or certain parties in political activities. And when politics is defined as a policy and when we associate with public participation then we will arrive at how public participation in making a policy. Politics Partisipas actively in policy-making becomes an absolute requirement, since participation would give birth control community over the course of government. This study aimed to describe the political participation of indigenous village of Kuta in public policy formulation in the Village District Karangpaningal Tambaksari Ciamis district.
Research method used is descriptive qualitative method. In this study the techniques of data collection was done by in-depth interviews (Indeepth Interview), direct observation and documentation, purposive sampling technique is a technique used for sampling. Data analysis using the method of interactive analysis and validity of data used is the technique of data triangulation.
The results of this study show that, this result shows that the growing political participation of indigenous peoples in the village of Kuta in policy formulation can be viewed in two processes. First, political participation in the process of internal policies in indigenous communities, and second, political participation in policy formulation processes at the village level.
Political participation in indigenous communities, are more closed to the elitist model, Kuncen was instrumental in setting policy, while in access planning, policy control indigenous communities are not involved at all, it is in because of the strength of tradition Kuncen positioned as the main actor who issued the customary policy . While political participation in policy formulation process stages or levels in the Village Karangpaninggal already running with the following democratic values. This means that in this process of political participation open space area .. However, space for perpartisipasi is not utilized optimally. This is because the human resources and the level of understanding of the political partisitisipasi low.
Key Word : Political participation, Indigenous People, Publick Policy Formulation
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menggerakkan partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat berperan lebih besar dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen pembangunan untuk membimbing, menggerakkan, dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Upaya itu dilakukan melalui kebijakan, peraturan, serta kegiatan pembangunan pemerintah yang diarahkan untuk menunjang, merangsang, dan membuka jalan bagi kegiatan pembangunan masyarakat.
Partisipasi masyarakat yang dimaksud disini tidak hanya dalam arti partiasipasi yang berbentuk partisipasi dalam pembangunan secara fisik, tetapi juga partisipasi dalam pembangunan politik. Partisipasi dalam arti ini dapat kita artikan sebagai partisipasi politik. Dimana partisipasi politik adalah keikutsertaan masyarakat atau pihak-pihak tertentu dalam kegiatan-kegiatan politik. Ketika politik diartikan sebagai policy dan ketika kita kaitkan dengan partisipasi masyarakat maka kita akan sampai pada bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembuatan suatu kebijakan?
Dalam rangka pembangunan politik kearah yang lebih demokratis, partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik akan menjadi suatu keharusan. Dalam memahami partisipasi politik terdapat dua konsep yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok secara struktural fungsional. Pertama, warganegara dengan fungsi pemerintahan dan wewenang untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan public (public policy) yang bersifat autoritatif. Kedua, warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan tuntutan atau dukungan terhadap aktor politik tipe pertama. Termasuk dalam pengertian tuntutan dan dukungan tersebut adalah mengajukan aspirasi dan kepentingan berupa materi, hukum (G. Almond, 1965) mengajukan alternative kebijakan. Dari pengkotakan seperti ini dapat didefinisikan dan dibatasi bahwa partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warganegara preman (private citizen) bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan politik (Huntington dan Nelson, 1990: 6).
Dari konsep tersebut penelitian ini kemudian diarahkan untuk menganalisis partisipasi politik masyarakat Kampung Kuta yang menjadi bagian dari golongan masyarakat kedua yakni golongan warga negara tanpa fungsi pemerintahan tetapi mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan khususnya kebijakan di tingkat desa.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sudut pandang politik dan hukum, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini, desa bisa kita pilah, dalam beberapa unsur penting : (1) adanya orang-orang atau kelompok orang; (2) adanya pihak-pihak yang menjadi penguasa atau pemimpin (pengambil keputusan); (3) adanya organisasi (badan) penyelenggara kekuasaan; (4) adanya tempat, atau wilayah yang menjadi teritori penyelenggaraan kekuasaan; (5) adanya mekanisme, atat aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan (Team Work Lapera, 2001: 5).
Di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari terdapat suatu komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat setempat. Masyarakat sekitar menyebut komunitas masyarakat ini dengan sebutan masyarakat Kampung Kuta. Perilaku masyarakat kampung Kuta tidak ubahnya seperti perilaku yang ditunjukan oleh masyarakat badui yang ada di Banten dan Kampung Naga yang ada di Garut. Mereka sama-sama memegang teguh adat istiadat. Disini pengaruh-pengaruh dari luar mengalami hambatan untuk masuk ke dalam kehidupan mereka.
Karena Kampung Kuta ini termasuk di wilayah hukum dan wilayah administratif Desa Karangpaningal, maka bagaimana pun kondisi sosial politik dari masyarakat Kampung Kuta tetap harus tunduk pada kebijakan-kebijakan yang ada di Desa Karangpaningal, bahkan ketika pemerintah desa akan mengeluarkan kebijakan, masyarakat Kampung Kuta pun seyogyanya dilibatkan.
Dalam pembuatan suatu kebijakan baik itu dalam tataran nasional maupun lokal atau bahkan sampai tingkat desa, setiap elemen masyarakat harus dilibatkan. Hal ini penting untuk perkembangan demokrasi di negara ini. Ketika kondisi dalam pembuatan kebijakan ini menunjukan gambaran yang sebaliknya, maka dapat dipastikan produk kebijakan publik yang dihasilkan adalah kebijakan yang elitis yang pada umumnya hanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan elit peguasa atau bahkan harus sampai mengorbankan kepentingan-kepentingan rakyat.
Dari latar belakang permasalahan diatas maka permasalahan yang akan dibahas, yaitu : Bagaimana partisipasi politik masyarakat Kampung Kuta dalam proses Formulasi kebijakan desa?
1. Partisipasi Politik
Sebenarnya konsep partisipasi politik hampir tidak dapat dipisahkan secara tegas namun untuk menghindari salah pemahaman dan untuk keperluan analisis hal tersebut harus dilakukan. Perbedaan antara kedua konsep ini berangkat dari anggapan bahwa dalam kehidupan bernegara masyarakat terbagi menjadi dua kelaompok secara struktural fungsional. Pertama, warganegara dengan fungsi pemerintahan dan wewenang untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan public (public policy) yang bersifat autoritatif. Kedua, warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan tuntutan atau dukungan terhadap aktor politik tipe pertama. Termasuk dalam pengertian tuntutan dan dukungan tersebut adalah mengajukan aspirasi dan kepentingan berupa materi, hukum (G. Almond, 1965) mengajukan alternative kebijakan. Dari pengkotakan seperti ini dapat didefinisikan dan dibatasi bahwa partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warganegara preman (private citizen) bertujuan mempengaruhi pegambilan keputusan politik (Huntington dan Nelson, 1990: 6). Istilah warganegara preman digunakan untuk menggantikan warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan.
2. Formulasi Kebijakan
Seperti wajarnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik ini pun realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan. Oleh karenanya, apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan dating. Lalu apa yang dimaksud dengan formulasi kebijakan itu?
Lindblom (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:16) mendefinisikan formulasi kebijakan publik (public policy making) sebagai berikut:
“An extremely complex, analytical and political process to which there is no beginning or end the boundaries of which are most uncertain. Somehow a complex set fo forces that we call policy-making all taken together, produces effect called policies”. (merupakan proses politik yang amat kompleks dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya dan batas dari proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti, serangkaian kekuatan yang agak kompleks itu kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan)
Dalam prosesnya banyak ahli yang merumuskan secara berbeda salah satunya adalah Udoji, seorang pakar kebijakan publik (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:17) merumuskan formulasi kebijakan ini sebagai berikut:
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solution into political demands, chanelling those demands into political system, seeking sanction or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”. (keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengaturan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Winarno (2002:80-84) membagi tahapan Formulasi kebijakan publik menjadi empat tahap, yaitu: perumusan masalah, (defining problem), agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah dan tahap penetapan kebijakan.
Perumusan Masalah
Agenda Kebijakan
Pemilihan Alternatif Kebijakan
Partisipasi Politik Masyarakat dalam Kebijakan Publik
Partisipasi Masyarakat dalam kebijakan publik memiliki 4 konsep pengertian, yakni:
Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal
Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal
Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publikbarang – barang publik
Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
C. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Kualitatif Deskriftif. Dalam penelitian ini tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (Indeepth Interview), observasi langsung dan dokumentasi, tekhnik purposive sampling adalah tehnik yang digunakan untuk pengambilan sampel. Analisis data menggunakan metode analisis interaktif dan validitas data yang dipakai adalah tekhnik triangulasi data.
Tabel 1. Nama-Nama Informan Kunci
No Nama Informan Peran dalam Kemasyarakatan Adat Kuta Peran dalam Pemerintahan
1. Karman Ketua Adat -
2. Warsim Setiawan Tokoh Masyarakat Perangkat Desa
3. Sanmarno Sesepuh Adat/Wk. Ket -
4. Raswan Tokoh Masyarakat Ketua RW
5. Cartim Heryana - Sekdes Karangpaningal
6. Deni, S.IP - KaBid Kebudayaan Disbudpar Kab. Ciamis
7. Eman Hermansyah, A.Md - Kasi Sejarah dan Purbakala Ciamis
8. Mukti Harta, SE - Ka Bag. Pemetaan tanah, Dis Hut. Kab Ciamis
Partisipasi politik warga masyarakat adalah salah satu prinsip dasar dan sekaligus kunci yang wajib dipegang dalam masyarakat demokrasi. Partisipasi politik masyarakat merupakan suatu bentuk kegiatan yang bersifat empirik, bukan semata sikap atau kecenderungan warga negara biasa yang bermain dalam wilayah pemerintahan yang bertujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan (decision making). Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses politik menjadi syarat mutlak, karena partisipasi itu akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan.
Untuk melihat sejauhmana keterlibatan masyarakat adat dalam kebijakan publik, tentu saja harus melihat pola-pola partisipasi seperti apa yang digunakan masyarakat dalam kebijakan publik. Sutoro Eko (2006) membagi paling tidak ada empat pola partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat, yakni: Pertama, Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal; kedua, Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal. Ketiga, Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publik barang – barang publik, Keempat, Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
Dari hasil temuan dilapangan, setidaknya ada sepuluh aspek mengenai partisipasi politik masyarakat kampung kuta bahwa pemahaman pemerintah desa dan masyarakat adat mengenai partisipasi tidak jauh berbeda, pemerintah desa memiliki sudut pandang yang hampir sama dengan masyarakat adat. Aparat pemerintah desa memahami partisipasi sebagai keterlibatan warga masyarakat dalam setiap pembangunan baik dari desa dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Adapun makna keterlibatan disini lebih diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam menjalankan program-program pembangunan dari pemerintah secara fisik. Begitu pula dengan pemahaman masyarakat adat, mereka hanya menganggap bahwa partisipasi adalah keikuti sertaan dalam gotong royong dalam ataupun dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak.
Kedua pihak ini, membedakan pengertian dari partisipasi dan partisipasi politik, anggapan bahwa partisipasi politik hanya dimaknai sebagai keterlibatan warga masyarakat dalam kegiatan pemilihan umum, baik dalam kampanye maupun dalam memberikan hak suaranya sudah sangat umum dipahami oleh masyarakat Kampung Kuta, begitu juga dengan aparat pemerintah desa, meskipun memahami bahwa partisipasi politik membutuhkan keterlibatan aktif dalam bidang politik, namun tetap menyebutkan kegiatan pemilihan umum sebagai bentuk dari partisipasi politik.
Meskipun tidak bisa secara jelas dikatakan sebagai partisipasi tidak aktif, dari pemahaman mengenai partisipasi politik masyarakat Kuta bisa di kategorikan dengan apa yang disebut oleh Lester W. Milbrath (1960) sebagai partisipasi spectator, yakni partisipasi yang setidak-tidaknya hanya dilakukan dengan memberikan suara dalam pemilihan umum atau yang lebih dikenal sebagai partisipasi pasif. Partisipasi pasif ini bisa dilihat dari tindakan masyarakat yang merasa tidak tahu ataupun tidak mampu melakukan mengenai kegiatan politik tersebut.
Partisipasi pasif berbeda dengan partisipasi yang aktif. Partisipasi politik aktif dapat tercipta dalam suatu tatanan masyarakat manakala kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah setempat cukup tinggi. Kebijakan-kebijakan yang tidak lagi memihak kepada rakyat dapat membuat masyarakat bersikap skeptis terhadap perubahan yang lebih baik lagi di dalam negara dan berdampak pada sikap apatis yang ditunjukkan masyarakat.
Sikap masyarakat terhadap output kebijakan juga sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara masyarakat menyuarakan aspirasinya (voice) dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dalam masyarakat Kuta tinggi dan rendahnya aspirasi akan ditentukan pada bagaimana mereka memandang sebuah kebijakan apakah menguntungkan atau tidak bagi kelangsungan adat dan tradisi mereka, pandangan ini juga dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut, berupa aturan-aturan adat dan pantangan-pantangan (tabu) yang berlaku turun-temurun.
Mengenai apakah pola-pola partisipasi yang telah dilaksanakan di kampung kuta, berbeda dengan pandangan diatas menurut informan dari pemerintah desa, aspirasi masyarakat hanya muncul ketika berurusan dengan bantuan-bantuan dari pemerintah itu pun yang bantuan fisik saja, walaupun hanya bantuan yang bersifat stimulus, respon masyarakat akan tinggi. Masyarakat Kuta pada umumnya hanya menerima program-program pemerintah yang diterima begitu saja (taken for granted), akibatnya ketersediaan akses bagi masyarakat Kuta tidak bisa dioptimalkan. Berbeda dengan penjelasan diatas, masyarakat Kuta sendiri menganggap bahwa representasi wakil mereka di pemerintahan desa sebagai alasan mengapa akses terhadap aspirasi warga Kuta tersendat.
Jika dilihat, partisipasi politik masyarakat kuta dalam pemerintahan termasuk paling rendah dibandingkan dengan dusun lain di wilayah desa karangpaningal, namun demikian setidaknya masih ada beberapa wakil dari kuta yang duduk dalam pemerintahan, beberapa warga kuta yang terlibat dalam pemerintahan desa, diantaranya :
Table. 3 Reresentasi warga Kampung Kuta dalam Pemerintahan
No. Nama Peran dalam Pemerintahan
1 Warsim Setiawan Kaur Ek Bang
2 Warman Kepala Dusun
3 Maman Sarno, Saryo Anggota LMD
4 Warso Anggota BPD
5 Rasman Ketua RW
(Sumber : data primer diolah)
Alasan tersebut di respon pemerintah, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di kampung Kuta yang rendah menyebabkan kurang terakomodirnya aspirasi masyarakat, hanya saja pemerintah mengakui bahwa strategi pembangunan dari pemerintah ternyata tidak menjamin terakomodirnya aspirasi dari masyarakat, sehingga dengan banyaknya bantuan yang bersifat fisik, masyarakat Kuta menjadi semakin dimanjakan dengan program-program bantuan tersebut. Akibatnya partisipasi yang berkembang di masyarakat Kuta lebih kepada fisik implementatif. Sementara pada tahap perencanaan, kontrol dan evaluasi terhadap kebijakan dan program pemerintah masyarakat cenderung tidak terlibat sama sekali.
Kondisi ini menjadi demikian ironis karena masyarakat adat pada hakikatnya merupakan elemen penting yang menjadi bagian dalam masyarakat Indonesia, baik secara jumlah populasi maupun nilai budayanya. Sayangnya dari sebagian besar keputusan-keputusan politik, eksistensi komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses dan agenda politik dari pusat maupun daerah. Bahkan jarang sekali ada klausul atau regulasi yang memberikan ketegasan (jaminan) bagi partisipasi masyarakat adat.
Persoalan sumber daya manusia juga merupakan aspek yang menjadi sorotan dalam melihat partisipasi politik di Kampung Kuta. Pemerintah desa menganggap bahwa faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat kuta dalam setiap kebijakan yang ditingkat desa maupun daerah adalah faktor SDM, tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi yang rendah mengakibatkan aspirasi dan kontrol masyarakat adat terhadap perumusan kebijakan rendah pula, disamping itu tidak adanya peraturan dari pemerintah daerah yang menjamin itu.
Keberadaan peraturan pemerintah bagi masyarakat adat merupakan harapan agar eksistensi dan keberadaan mereka sebagai masyarakat adat di akui dan diberikan keleluasaan untuk menjalankan tradisi dan budaya mereka dengan tenang. Hanya saja pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat tidak lebih sebatas mengumpulkan simbol-simbol masyarakat adat dari berbagai penjuru Indonesia, tanpa mendalami makna dan hubungan timbal-balik simbol-simbol tersebut dengan alam sekitar mereka. Atau cenderung memusemkan masyarakat adat sebagai sekelompok manusia unik, atau memandang mereka sebagai orang terbelakang dan 'memaksa' mereka untuk hidup dengan cara-cara modern, yang sangat berbias pikiran kelompok dominan. Simbol-simbol adat (seperti tari-tarian ritual adat dan bentuk rumah) tetap dilestarikan sementara organisasi masyarakat adat dibiarkan merana.
Maka dari itu perlu strategi pengembangan partisipasi masyarakat adat, agar senantiasa mendapatkan jaminan dan akses terhadap keputusan-keputusan politik yang menyangkut masa depan kehidupan mereka. Hal ini juga yang disadari oleh pemerintah Desa Karangpaningal, menurutnya perlu peningkatan pendidikan dan pelatihan keterampilan, tentu saja pendidikan politik masyarakat lewat pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan kebijakan publik akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat adat dengan kekuatan tradisi dan lembaga adat yang dimilikinya.
Masyarakat adat merupakan unsur terbesar pembentuk Negara bangsa (nation state) Indonesia, komunitas-komunitas adat ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan warisan leluhur sebagai modal dasar bagi kehidupan masyarakat adat dalam mempertahankan hidupnya secara berkesinambungan dengan dibingkai oleh aturan adat yang disebut dengan hukum adat. Hukum adat tersebut jika dilihat dari kajian kebijakan publik maka dapat digolongkan kepada suatu produk dari suatu proses pembuatan kebijakan. Namun, kebijakan ini biasanya merupakan kabijakan yang berlaku dalam tataran lokal atau hanya dikenakan untuk masyarakat adat dimana hukum adat itu dibuat. Setiap masyarakat masyarakat adat bisanya memiliki hukum adatnya sendiri, namun banyak sekali hukum atau aturan-aturan adat itu yang tidak tertulis. Artinya hukum adat itu hanya ada dalam tataran pemahaman pikiran yang dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan baik dalam wilayah privat maupun dalam kehidupan di lingkungan masyarakat adatnya.
Berkaitan dengan hal ini menurut David Easton (dalam Islamy, 1984:19), public policy is the outhoritative allocation of values for the whole society atau pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat). Artinya dari pengertian ini maka dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat adat merupakan salah satu bentuk kebijakan publik karena seluruh masyarakat yang ada didalamnya tunduk dan melaksanakan aturan-aturan tersebut.
Namun apa yang terjadi di Kampung Kuta khususnya dalam hal kebijakan yang berbentuk aturan adat itu sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan publik yang lainya. Terlebih ketika dilihat dalam proses formulasinya dimana formulasi kebijakan menurut Lindblom (dalam Solihin Abdul Wahab, 1997:16) merupakan proses politik yang amat komplek dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya dan batas dari proses itu sesungguhnya tidak pasti, serangkaian kekuatan yang agak kompleks itu kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan. Pembuatan kebijakan yang berbentuk aturan-aturan ada di Kampung Kuta tidak melewati proses pembuatan kebijakan pada umumnya, namun aturan-aturan adat itu dibuat dan dikeluarkan oleh seorang Kuncen.
Sebagaimana dijelaskan pada bab dan sub-bab sebelumnya bahwa Kuncen adalah seorang keturunan langsung dari pendiri Kampung Kuta. Seorang Kuncen mempunyai kedudukan dan tempat tersendiri dalam proses penentuan aturan-aturan adat. Selain karena sebagai keturunan pendiri Kampung Kuta, kedudukannya itu diperkuat oleh adanya mitos-mitos tertentu. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya masyarakat Kampung Kuta merupakan suatu masyarakat yang menjalani kehidupannya dengan penuh ketaatan pada suatu pantangan-pantangan yang oleh masyarakat sekitas disebut dengan “pamali” yang diikuti oleh mitos-mitos yang memperkuatnya. Dengan kata lain, posisi dan kedudukan seorang Kuncen diperkuat melalui adanya larangan-larangan atau pantangan-pantangan tersebut khususnya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan Kampung Kuta. Selain itu, Kuncen berkedudukan sebagai satu-satunya perantara dalam menghubungkan antara dunia nyata dengan dunia supra-natural. Dengan begitu seorang Kuncen dalam masyarakat Kampung Kuta menjadi sangat penting dan berpengaruh.
Pengaruh yang sangat kuat dalam hal yang berkaitan aturan-aturan adat yang ada dan berlaku di Kampung Kuta menjadikan seorang Kuncen sebagai satu-satunya aktor dalam pembuatan dan penetapan aturan-aturan tersebut. Dengan dianggapnya Kuncen tersebut ditempatkan sebagai satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan menghubungkan dunia nyata dengan dunia supra-natural (arwah leluhur) maka apa yang dikatakan oleh Kuncen akan dijadikan aturan adat yang harus ditaati ketika Kuncen itu menyatakan bahwa apa yang dikatakannya itu merupakan wangsit atau petuah atau impen dari arwah leluhur. Jika kedudukan seorang Kuncen dalam pembuatan kebijakan yang berbentuk aturan-aturan ada itu dikaji dari teori kebijakan khususnya dari segi model kebijakan maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang berbentuk aturan-aturan adat tersebut dapat digolongkan ke dalam model kebijakan model elit. Menurut Silalahi (1989:39), kebijakan model elit adalah kebijakan sebagai preferensi elit. Dalam teori ini rakyat atau masyarakat umum dimana kebijakan itu diberlakukan dalam hubungannya dengan kebijakan tersebut dibuat apatis dan miskin informasi sehingga elitlah yang membentuk pendapat umum serta kebijakan mengalir dari elit kepada massa atau masyarakat melalui administrator-administrator. Elit pada proses kebijakan yang berbentuk aturan adat di Kampung Kuta adalah Kuncen, sedangkan administrator dalam hal ini adalah Ketua Adat dan para perangkat adat.
Kuncen menjadi satu-satunya elit yang paling berkuasa dalam pembuatan aturan-aturan adat. Untuk menguatkan kekuasaan itu, Kuncen menyampaikan kepada masyarakat tentang akibat yang akan menimpa masyarakat jika ada anggota dari masyarakat Kampung Kuta melanggar aturan-aturan itu. Sebagai contohnya ketika ada yang membuat rumah dari bahan tembok dan atap genting beberapa hari kemudian yang bersangkutan tiba-tiba sakit keras sampai akhirnya meninggal dunia. Dalam fenomena ini Kuncen menyatakan bahwa itu merupakan akibat dari yang bersangkutan tersebut melanggar salah satu aturan adat dimana aturan adat melarang pembuatan rumah dari bahan tembok dan atap genting.
Dalam pandangan kebijakan model elit masyarakat dibagi atas dua bagian yaitu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan. Kedua kelompok itu mempunyai kekuatan yang berbeda. Kelompok yang mempunyai kekuasaan itu dalam pembuatan aturan adat itu adalah Kuncen karena dalam hal ini Kuncen memiliki kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur dan memiliki kekuasaan untuk membuat aturan-aturan adat tersebut. Kelompok yang disebutkan memiliki kekuasaan diatas pada umumnya mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Hal ini terbukti dengan apa yang terjadi di Kampung kuta dimana sebagai perantara dalam menghubungkan dunia nyata dengan dunia supranatural yang diperankan oleh seorang Kuncen yang kedudukannya sangat khusus dengan beberapa aturan yang berkenaan dengan tatacara berkehidupan sesuai dengan aturan adat. Oleh karena itu, kedudukan seorang kuncen dalam masyarakat Kampung Kuta menjadi sangat tinggi dan berpengaruh. Penguatan atas status sosial tersebut dalam masyarakat Kampung Kuta adalah dengan dilakukannya ritual-ritual yang pelaksanaannya dipimpin oleh Kuncen. Dalam ritual-ritual adat yang dilaksanakan di Kampung Kuta pada hakikatnya adalah suatu proses legitimasi yang bersifat sakral. Dalam proses ritual-ritual tersebut juga menyangkut masalah stuktur sosial dalam sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Untuk menguatkan kekuasaan dan kedudukan sosial Kuncen dipakai penggambaran mitos-mitos yang dikaitkan dengan arwah leluhur atau karuhun yang hanya bisa dipanggil atau hanya bisa berhubungan dengan Kuncen tersebut.
Dalam pandangan model elit kebijakan tidak memantulkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat umum tetapi banyak mengutamakan kepentingan elit. Oleh karena itu perubahan terhadap kebijakan lebih banyak dilakukan secara lamban dan bertahap daripada bersifat revolusioner. Pandangan ini telihat pada masyarakat Kampung Kuta dimana aturan-aturan adat yang ada itu bukan merupakan keinginan sebagian besar masyarakat Kampung Kuta bahkan banyak diantara masyarakat Kampung Kuta mulai tidak sepaham dengan aturan-aturan adat itu. Hal ini juga mengakibatkan pola kehidupan masyarakat Kampung Kuta berlangsung dengan pola yang tetap. Artinya, tidak banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Kampung Kuta yang memang segala sapek kehidupannya terikat oleh aturan-aturan adat.
Dalam pandangan lain mengenai kebijakan model elit, elit secara aktif selalu berusaha agar dapat mempengaruhi massa yang sifatnya pasif. Massa yang pasif disini jika melihat masyarakat Kampung Kuta artinya masyarakat Kampung Kuta yang hanya melaksanakan aturan-aturan adat dan tidak pernah mempertanyakan secara kritis latar belakang, maksud dan tujuan, dan kenapa aturan-aturan adat tersebut dibuat. Elit dalam hal ini adalah Kuncen selalu mempengaruhi masyarakat Kampung Kuta untuk menaati aturan-aturan yang ada dengan memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat bahwasanya jikalau ada anggota masyarakat Kampung Kuta yang melanggar salah satu aturan adat maka ada akibat yang diterimanya baik yang menimpa individu yang bersangkutan maupun masyarakat Kampung Kuta secara umum. Oleh sebab itu, apapun yang dikatakan oleh Kuncen khususnya yang berkaitan tentang tata berkehidupan yang kemudian dijadikan aturan adat pasti akan dilaksanakan oleh semua anggota masyarakat Kampung Kuta dan jarang sekali ada anggota masyarakat yang berani melanggarnya.
Setiap dibuat atau dikeluarkan suatu kebijakan didalamnya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mempengaruhinya. Artinya, nilai-nilai tersebut dipakai oleh pembuat kebijakan untuk memberikan warna dalam kebijakan yang dibuatnya atau dengan kata lain nilai-nilai tersebut digunakan digunakan oleh pembuat kebijakan untuk menentukan arah ke mana kebijakan tersebut ditujukan. Menurut Anderson (dalam Winarno, 2002:93) nilai-nilai yang dipakai oleh pembuat kebijakan atau keputusan adalah nilia-nilai politik, nilai-nilai organisasi, nilai-nilai pribadi, nilai-nilai kebijaksanaan dan nilai-nilai organisasi. Dari nilai-nilai yang mempengaruhi kebijakan yang dikemukakan oleh Anderson tersebut jika dipakai untuk melihat nilai-nilai mana yang paling dominan dalam pembuatan aturan-aturan adat tersebut maka terlihat bahwa nilai-nilai yang paling dominan dalam pembuatan aturan-aturan adat tersebut adalah nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai pribadi dalam pembuatan kebijakan atau keputusan artinya adalah kriteria keputusan yang didasarkan pada usaha untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonomi, reputasi atau kedudukan. Berkaitan dengan hal ini,berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kampung Kuta terlihat bahwa nilai-nilai pribadi yang mempengaruhi pembuatan aturan-aturan adat di Kampung Kuta digunakan oleh Kuncen ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan reputasi dan kedudukannya dalam masyarakat Kampung Kuta.
Keputusan atau kebijakan yang demokratis adalah kebijakan yang dalam proses pembuatannya membuka selebar-lebarnya pintu partisipasi masyarakat. Khususnya masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebijakan yang dibuat tersebut. Dimana partisipasi disini dapat diartikan sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan kegiatan pembuatan kebijakan atau keputusan yang berbentuk aturan-aturan adat.
Keputusan atau kebijakan publik merupakan proses politik. Maka dengan demikian partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dapat dikatakan sebagai partisipasi politik. Menurut Lester W Milbrath dan M. Goel tipologi partisipasi politik berdasarkan tingkatannya terbagi kedalam tiga kelompok yaitu pertama, gladiator yang menempati tingkatan tertinggi dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Gladiator ini merupakan pemain atau orang yang sangat aktif dalam dunia politik atau dalam proses pembuatan keputusan. Kedua, spectator yang menempati tingkatan kedua dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Spectator ini merupakan penonton atau orang yang hanya menggunakan hak pillihnya dalam pemilu, selebihnya spectator ini hanya melakukan partisipasi dalam wilayah output seperti mentaati hukum atau aturan-aturan, membayar pajak atau retribusi ataupun memelihara ketertiban dan keamanan. Ketiga, Aphathethics yang menempati tingkatan terendah dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Aphathetics ini dengan kata lain adalah apatis atau orang yang tidak aktif sama sekali termasuk tidak mempergunakan hak pilihnya termasuk didalamnya tindakan untuk tidak melakukan apa-apa, seperti tidak memilih, tidak membayar pajak, tidak mentaati peraturan secara sengaja.
Berdasarkan temuan pada saat penelitian berkaitan tentang partisipasi politik dalam pembuatan keputusan adat yang berupa aturan-aturan adat. Maka dapat digambarkan bahwa masyarakat Kampung Kuta termasuk pada kelompok Spectator. Hal ini terlihat jelas ketika keputusan Kuncen yang kemudian dijadikan salah satu aturan adat dibuat tidak ada sebagian kecil pun dari anggota masyarakat Kampung Kuta yang berpartisipasi dalam hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh salah satunya adalah kedudukan Kuncen yang merupakan satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur. Dan apa yang menjadi keputusan kuncen dianggap oleh masyarakat Kampung Kuta sebagai keputusan arwah para leluhur yang harus dijadikan aturan adat yang harus ditaati, sehingga tidak ada seorang pun dari anggota masyarakat Kampung Kuta yang intervensi dalam pembuatan keputusan Kuncen.
b. Partisipasi Politik Masyarakat Kampung Kuta dalam Pembuatan Kebijakan di Tingkat Desa
Pada saat Indonesia memasuki babak baru sistem politik dengan diikuti terbukanya keran demokratisasi, segala bentuk kebijakan pun mengalami pergeseran nilai. Pada saat Indonesia dikuasai oleh rezim otoriter yang dipimpin oleh Soeharto. Kebijakan-kebijakan yang ada juga mencerminkan seperti apa sistem politik yang ada pada saat itu. Setiap kebijakan yang dibuat pada saat itu merupakan kebijakan yang ditujukan hanya untuk kepentingan para elit rezim. Kebijakan-kebijakan itu biasanya dibuat untuk memperkuat kedudukan para elit dan sistem politik yang telah dibentuknya. Jarang sekali kebijakan yang dibentuk untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam proses pembuatannya pun pada saat itu para elit menutup ruang partisipasi masyarakat. Masyarakat hanya dijadikan objek tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat merupakan sebagai preferensi elit saja.
Pergeseran nilai yang disebutkan diatas adalah nilai-nilai yang otoriter dan menutup ruang partisipasi politik masyarakat dalam pembuatan kebijakan menjadi terbukanya ruang partisipasi politik masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan yang dibuat lebih demokratis. Dengan perubahan-perubahan seperti ini juga membawa arus demokratisasi di tingkat pusat mengalir ke tingkat yang lebih rendah, ke tingkat lokal sampai pada tingkat desa. Hal ini kemudian menyebabkan pembuatan kebijakan di tingkat desa pun dibuat dengan demokratis. Kebijakan atau keputusan yang demokratis adalah keputusan atau kebijakan yang membuka ruang partisipasi politik bagi masyarakat umum.
Jika partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan warga masyarakat secara sukarela. Dan jika politik di tujukan sebagai segala aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan yang otoritatif untuk kesejahteraan umum maka partisipasi politik berarti keikutsertaan warga masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan atau keputusan. Dengan mengalirnya arus demokratisasi sampai tingkat desa maka pembuatan kebijakan di tingkat desa pun menjadi demokratis artinya membuka lebih luas akses masyarakat untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan atau keputusan yang dibuat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis khususnya dari hasil wawancara dengan para informan terlihat bahwa setiap kebijakan yang dibuat di Desa Karangpaninggal dibuat dengan melibatkan semua elemen masyarakat tanpa ada membeda-bedakan masyarakat baik berdasarkan status sosial maupun status ekonomi. Artinya siapapun dan apapun status sosial maupun seperti apapun kondisi ekonominya dari masyarakat Desa Tambaksari berhak berpartisipasi dalam membuatan kebijakan di Desa Karangpaninggal tersebut.
Setiap orang yang termasuk sebagai anggota masyarakat Desa Karangpaninggal berhak untuk berpartisipasi dalam setiap proses formulasi kebijakan di desanya. Dimana, formulasi kebijakan menurut Udoji (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:17) adalah keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengaturan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Terbukanya ruang partisipasi politik dalam setiap kebijakan di Desa Karangpaninggal berarti terbuka pula ruang partisipasi dalam setiap prosesnya. Artinya, tidak ada di setiap tahapan yang dilalui dalam setiap proses formulasi kebijakan di Desa Karangpaningal yang menutup ruang partisipasi politik bagi masyarakat. Menurut Budi Winarno (2002:80-84) tahapan dalam formulasi kebijakan dibagi menjadi empat tahap yaitu perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternative kebijakan untuk memecahkan masalah dan tahan penetapan kebijakan.
Berdasarkan fokus penelitian dan temuan data di lapangan bahwa masyarakat Kampung Kuta berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan tingkat desa dengan melalui anggota Badan Permusyawaratan Desa yang mewakili Dusun Kuta dan melalui Ketua Adat yang memang mempunyai status sosial khusus yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya di Desa Karangpaninggal. Dalam berpartisipasi masyarakat Kampung Kuta tidak dapat dipandang sebelah mata. Artinya masyarakat Kampung Kuta memiliki posisi tawar yang tinggi dalam pembuatan kebijakan di tingkat desa terlebih ketika kebijakan yang dibuat di tingkat desa itu berkaitan langsung dengan masyarakat Kampung Kuta. Sebagai salah satu contoh kasusnya adalah ketika dalam penyusunan Peraturan Desa Nomor 1 tahun 2010 tentang Rencana Anggaran Pendapatan Desa. Dalam peraturan desa tersebut diatur tentang pendapatan desa yang didalamnya terdapat pemasukan dari pengelolaan Tanah Kas Desa. Yang termasuk tanah kas desa tersebut adalah “tanah pangangonan” yang disewakan kepada masyarakat. Berdasarkan informasi yang didapat dari perangkat desa dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis, selain tanah pangangonan, tanah Kas desa yang lainya adalah tanah hutan yang oleh masyarakat Kampung Kuta dijadikan Hutan Keramat. Walaupun Hutan keramat tersebut termasuk kedalam tanah kas desa tetapi pengelolaannya tidak masuk kedalam penerimaan kas desa. Selain hal tersebut posisi tawar masyarakat kampung Kuta juga terlihat ketika Desa Tambaksari mengeluarkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Ketika program ini diimplementasikan, program ini tidak dapat diimplementasikan di wilayah Dusun Kuta. Hal ini dikarenakan masyarakat Kampung Kuta menolak Program tersebut karena bertentangan dengan aturan-aturan adat.
Secara kultural, masyarakat dusun Kuta berbeda dengan masyarakat dusun lain di Desa Karangpaningal, karena dalam kehidupan masyarakat Kuta nilai-nilai tradisi leluhur masiih dipegang dan dilestarikan secara turun temurun yang sesuai dengan karakteristik masyarakat adat.
Partisipasi politik yang berkembang dalam masyarakat adat Kampung Kuta dalam formulasi kebijakan bisa di lihat dalam dua proses. Pertama, partisipasi politik dalam proses kebijakan di internal komunitas adat, dan Kedua, partisipasi politik dalam proses formulasi kebijakan di tingkat desa.
Partisipasi politik dalam komunitas adat, lebih bersifat tertutup dengan model elitis, Kincen sangat berperan dalam menentukan kebijakan, sedangkan dalam akses perencanaan, control kebijakan adat masyarakat tidak terlibat sama sekali, hal ini di karenakan kekuatan tradisi yang memposisikan kuncen sebagai aktor utama yang mengeluarkan kebijakan adat.
Sedangkan partisipasi politik dalam tahapan atau proses formulasi kebijakan tingkat di Desa Karangpaninggal sudah berjalan dengan dengan mengikuti nilai-nilai yang demokratis. Artinya dalam proses ini ruang partisipasi politik masyarakat terbuka luas. Ruang partisipasi yang terbuka dalam proses formulasi kebijakan di Desa Karangpaninggal tersebut digunakan oleh masyarakat Kampung Kuta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan dengan jalan setiap aspirasi maupun tuntutan dari masyarakat Kampung Kuta disampaikan melalui wakilnya yang ada di Badan Permusyawaratan Desa dimana dari Badan Permusyawaratan Desa tersebut kemudian akan disampaikan kepada pemerintah Desa.
Namun demikian ruang untuk perpartisipasi tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sumber daya manusia dan tingkat pemahaman mengenai partisitisipasi politik yang rendah.
Daftar Pustaka
Apter, E. David. 1988. Pengantar Analisa Politik, alih bahasa Yasogama. CV Rajawali. Jakarta
Aziz, Munir. 1991. Partisipasi Politik Masyarakat dalam Sistem Pemerintahan Desa, P3IL Universitas Syah Kuala, Banda Aceh.
Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Duverger, Maurice.1981. Partai Politik Dan Kelompok Penekan. Alih Bahasa Laila Hasyim. Jakarta
Easton, David. 1984. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Haryanto. 1982. Sistem Politik; Suatu Pengantar. Liberty. Jakarta.
Hermansyah, Eman, 2009, Kampung Kuta Sebagai Kawasan Warisan Budaya Kabupaten Ciamis, Disbudpar Kabupaten Ciamis. Ciamis.
Islamy, Irfan. 1984. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta
Jones, O. Charles. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Nashir Budiman (ed), CV Rajawali Press. Jakarta
Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Sinar Baru. Jakarta
Lindlom, E. Charles. 1986. Proses Penetapan Kebijakan, Alih Bahasa Syamsudin Ardian. Erlangga. Jakarta
Mac Andrew, C. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Gajah Mada University. Yogyakarta
Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi dunia: Gerakan Sosial Dan Perubahan Politik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar dan Nasikun. 1987. Sosiologi Politik. PAU-Studi Sosial UGM. Yogyakarta
Miles, Mathew dan A. Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Nawawi, Handari M. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajahmada University Press. Yogyakarta
Nazir, Muhamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Putra, Fadillah. 2001. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik: Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Ripley, B. Randall. 1985. Policy Analisys in Political Science. Nelson-Hall Publishers. Chicago
Rush, Michael & Althoff, P. !988. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta.
Setiawan, Bonnie. 2000. Perjuangan Demokrasi dan Masyarakat Sipil: Reposisi dan Peran Ornop/LSM di Indonesia. INFID. Jakarta
Silalahi, Oberlin. 1989. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Negara. Liberty Yogyakarta
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Subakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana. Jakarta
Sukarna. 1981. Sistem Politik. Offset Alumni. Bandung
Susser, Bernard. 1992. Approaches to The Study of Politics. Macmillan Publishing Company. New York
Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif: dasar-dasar teoritis dan praktis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Varma, S.P. 1990. Teori Politik Modern. Rajawali Pers. Jakarta
Wahab, A. Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta. Jakarta
Wahab, A Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanan Negara. Bumi Aksara. Jakarta
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressido. Yogyakarta
Latar Belakang
Menggerakkan partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat berperan lebih besar dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen pembangunan untuk membimbing, menggerakkan, dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Upaya itu dilakukan melalui kebijakan, peraturan, serta kegiatan pembangunan pemerintah yang diarahkan untuk menunjang, merangsang, dan membuka jalan bagi kegiatan pembangunan masyarakat.
Partisipasi masyarakat yang dimaksud disini tidak hanya dalam arti partiasipasi yang berbentuk partisipasi dalam pembangunan secara fisik, tetapi juga partisipasi dalam pembangunan politik. Partisipasi dalam arti ini dapat kita artikan sebagai partisipasi politik. Dimana partisipasi politik adalah keikutsertaan masyarakat atau pihak-pihak tertentu dalam kegiatan-kegiatan politik. Ketika politik diartikan sebagai policy dan ketika kita kaitkan dengan partisipasi masyarakat maka kita akan sampai pada bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembuatan suatu kebijakan?
Dalam rangka pembangunan politik kearah yang lebih demokratis, partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik akan menjadi suatu keharusan. Dalam memahami partisipasi politik terdapat dua konsep yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok secara struktural fungsional. Pertama, warganegara dengan fungsi pemerintahan dan wewenang untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan public (public policy) yang bersifat autoritatif. Kedua, warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan tuntutan atau dukungan terhadap aktor politik tipe pertama. Termasuk dalam pengertian tuntutan dan dukungan tersebut adalah mengajukan aspirasi dan kepentingan berupa materi, hukum (G. Almond, 1965) mengajukan alternative kebijakan. Dari pengkotakan seperti ini dapat didefinisikan dan dibatasi bahwa partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warganegara preman (private citizen) bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan politik (Huntington dan Nelson, 1990: 6).
Dari konsep tersebut penelitian ini kemudian diarahkan untuk menganalisis partisipasi politik masyarakat Kampung Kuta yang menjadi bagian dari golongan masyarakat kedua yakni golongan warga negara tanpa fungsi pemerintahan tetapi mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan khususnya kebijakan di tingkat desa.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sudut pandang politik dan hukum, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini, desa bisa kita pilah, dalam beberapa unsur penting : (1) adanya orang-orang atau kelompok orang; (2) adanya pihak-pihak yang menjadi penguasa atau pemimpin (pengambil keputusan); (3) adanya organisasi (badan) penyelenggara kekuasaan; (4) adanya tempat, atau wilayah yang menjadi teritori penyelenggaraan kekuasaan; (5) adanya mekanisme, atat aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan (Team Work Lapera, 2001: 5).
Di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari terdapat suatu komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat setempat. Masyarakat sekitar menyebut komunitas masyarakat ini dengan sebutan masyarakat Kampung Kuta. Perilaku masyarakat kampung Kuta tidak ubahnya seperti perilaku yang ditunjukan oleh masyarakat badui yang ada di Banten dan Kampung Naga yang ada di Garut. Mereka sama-sama memegang teguh adat istiadat. Disini pengaruh-pengaruh dari luar mengalami hambatan untuk masuk ke dalam kehidupan mereka.
Karena Kampung Kuta ini termasuk di wilayah hukum dan wilayah administratif Desa Karangpaningal, maka bagaimana pun kondisi sosial politik dari masyarakat Kampung Kuta tetap harus tunduk pada kebijakan-kebijakan yang ada di Desa Karangpaningal, bahkan ketika pemerintah desa akan mengeluarkan kebijakan, masyarakat Kampung Kuta pun seyogyanya dilibatkan.
Dalam pembuatan suatu kebijakan baik itu dalam tataran nasional maupun lokal atau bahkan sampai tingkat desa, setiap elemen masyarakat harus dilibatkan. Hal ini penting untuk perkembangan demokrasi di negara ini. Ketika kondisi dalam pembuatan kebijakan ini menunjukan gambaran yang sebaliknya, maka dapat dipastikan produk kebijakan publik yang dihasilkan adalah kebijakan yang elitis yang pada umumnya hanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan elit peguasa atau bahkan harus sampai mengorbankan kepentingan-kepentingan rakyat.
Dari latar belakang permasalahan diatas maka permasalahan yang akan dibahas, yaitu : Bagaimana partisipasi politik masyarakat Kampung Kuta dalam proses Formulasi kebijakan desa?
1. Partisipasi Politik
Sebenarnya konsep partisipasi politik hampir tidak dapat dipisahkan secara tegas namun untuk menghindari salah pemahaman dan untuk keperluan analisis hal tersebut harus dilakukan. Perbedaan antara kedua konsep ini berangkat dari anggapan bahwa dalam kehidupan bernegara masyarakat terbagi menjadi dua kelaompok secara struktural fungsional. Pertama, warganegara dengan fungsi pemerintahan dan wewenang untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan public (public policy) yang bersifat autoritatif. Kedua, warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan tuntutan atau dukungan terhadap aktor politik tipe pertama. Termasuk dalam pengertian tuntutan dan dukungan tersebut adalah mengajukan aspirasi dan kepentingan berupa materi, hukum (G. Almond, 1965) mengajukan alternative kebijakan. Dari pengkotakan seperti ini dapat didefinisikan dan dibatasi bahwa partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warganegara preman (private citizen) bertujuan mempengaruhi pegambilan keputusan politik (Huntington dan Nelson, 1990: 6). Istilah warganegara preman digunakan untuk menggantikan warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan.
2. Formulasi Kebijakan
Seperti wajarnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik ini pun realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan. Oleh karenanya, apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan dating. Lalu apa yang dimaksud dengan formulasi kebijakan itu?
Lindblom (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:16) mendefinisikan formulasi kebijakan publik (public policy making) sebagai berikut:
“An extremely complex, analytical and political process to which there is no beginning or end the boundaries of which are most uncertain. Somehow a complex set fo forces that we call policy-making all taken together, produces effect called policies”. (merupakan proses politik yang amat kompleks dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya dan batas dari proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti, serangkaian kekuatan yang agak kompleks itu kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan)
Dalam prosesnya banyak ahli yang merumuskan secara berbeda salah satunya adalah Udoji, seorang pakar kebijakan publik (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:17) merumuskan formulasi kebijakan ini sebagai berikut:
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solution into political demands, chanelling those demands into political system, seeking sanction or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”. (keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengaturan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Winarno (2002:80-84) membagi tahapan Formulasi kebijakan publik menjadi empat tahap, yaitu: perumusan masalah, (defining problem), agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah dan tahap penetapan kebijakan.
Perumusan Masalah
Agenda Kebijakan
Pemilihan Alternatif Kebijakan
Partisipasi Politik Masyarakat dalam Kebijakan Publik
Partisipasi Masyarakat dalam kebijakan publik memiliki 4 konsep pengertian, yakni:
Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal
Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal
Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publikbarang – barang publik
Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
C. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Kualitatif Deskriftif. Dalam penelitian ini tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (Indeepth Interview), observasi langsung dan dokumentasi, tekhnik purposive sampling adalah tehnik yang digunakan untuk pengambilan sampel. Analisis data menggunakan metode analisis interaktif dan validitas data yang dipakai adalah tekhnik triangulasi data.
Tabel 1. Nama-Nama Informan Kunci
No Nama Informan Peran dalam Kemasyarakatan Adat Kuta Peran dalam Pemerintahan
1. Karman Ketua Adat -
2. Warsim Setiawan Tokoh Masyarakat Perangkat Desa
3. Sanmarno Sesepuh Adat/Wk. Ket -
4. Raswan Tokoh Masyarakat Ketua RW
5. Cartim Heryana - Sekdes Karangpaningal
6. Deni, S.IP - KaBid Kebudayaan Disbudpar Kab. Ciamis
7. Eman Hermansyah, A.Md - Kasi Sejarah dan Purbakala Ciamis
8. Mukti Harta, SE - Ka Bag. Pemetaan tanah, Dis Hut. Kab Ciamis
Partisipasi politik warga masyarakat adalah salah satu prinsip dasar dan sekaligus kunci yang wajib dipegang dalam masyarakat demokrasi. Partisipasi politik masyarakat merupakan suatu bentuk kegiatan yang bersifat empirik, bukan semata sikap atau kecenderungan warga negara biasa yang bermain dalam wilayah pemerintahan yang bertujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan (decision making). Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses politik menjadi syarat mutlak, karena partisipasi itu akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan.
Untuk melihat sejauhmana keterlibatan masyarakat adat dalam kebijakan publik, tentu saja harus melihat pola-pola partisipasi seperti apa yang digunakan masyarakat dalam kebijakan publik. Sutoro Eko (2006) membagi paling tidak ada empat pola partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat, yakni: Pertama, Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal; kedua, Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal. Ketiga, Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publik barang – barang publik, Keempat, Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
Dari hasil temuan dilapangan, setidaknya ada sepuluh aspek mengenai partisipasi politik masyarakat kampung kuta bahwa pemahaman pemerintah desa dan masyarakat adat mengenai partisipasi tidak jauh berbeda, pemerintah desa memiliki sudut pandang yang hampir sama dengan masyarakat adat. Aparat pemerintah desa memahami partisipasi sebagai keterlibatan warga masyarakat dalam setiap pembangunan baik dari desa dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Adapun makna keterlibatan disini lebih diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam menjalankan program-program pembangunan dari pemerintah secara fisik. Begitu pula dengan pemahaman masyarakat adat, mereka hanya menganggap bahwa partisipasi adalah keikuti sertaan dalam gotong royong dalam ataupun dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak.
Kedua pihak ini, membedakan pengertian dari partisipasi dan partisipasi politik, anggapan bahwa partisipasi politik hanya dimaknai sebagai keterlibatan warga masyarakat dalam kegiatan pemilihan umum, baik dalam kampanye maupun dalam memberikan hak suaranya sudah sangat umum dipahami oleh masyarakat Kampung Kuta, begitu juga dengan aparat pemerintah desa, meskipun memahami bahwa partisipasi politik membutuhkan keterlibatan aktif dalam bidang politik, namun tetap menyebutkan kegiatan pemilihan umum sebagai bentuk dari partisipasi politik.
Meskipun tidak bisa secara jelas dikatakan sebagai partisipasi tidak aktif, dari pemahaman mengenai partisipasi politik masyarakat Kuta bisa di kategorikan dengan apa yang disebut oleh Lester W. Milbrath (1960) sebagai partisipasi spectator, yakni partisipasi yang setidak-tidaknya hanya dilakukan dengan memberikan suara dalam pemilihan umum atau yang lebih dikenal sebagai partisipasi pasif. Partisipasi pasif ini bisa dilihat dari tindakan masyarakat yang merasa tidak tahu ataupun tidak mampu melakukan mengenai kegiatan politik tersebut.
Partisipasi pasif berbeda dengan partisipasi yang aktif. Partisipasi politik aktif dapat tercipta dalam suatu tatanan masyarakat manakala kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah setempat cukup tinggi. Kebijakan-kebijakan yang tidak lagi memihak kepada rakyat dapat membuat masyarakat bersikap skeptis terhadap perubahan yang lebih baik lagi di dalam negara dan berdampak pada sikap apatis yang ditunjukkan masyarakat.
Sikap masyarakat terhadap output kebijakan juga sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara masyarakat menyuarakan aspirasinya (voice) dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dalam masyarakat Kuta tinggi dan rendahnya aspirasi akan ditentukan pada bagaimana mereka memandang sebuah kebijakan apakah menguntungkan atau tidak bagi kelangsungan adat dan tradisi mereka, pandangan ini juga dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut, berupa aturan-aturan adat dan pantangan-pantangan (tabu) yang berlaku turun-temurun.
Mengenai apakah pola-pola partisipasi yang telah dilaksanakan di kampung kuta, berbeda dengan pandangan diatas menurut informan dari pemerintah desa, aspirasi masyarakat hanya muncul ketika berurusan dengan bantuan-bantuan dari pemerintah itu pun yang bantuan fisik saja, walaupun hanya bantuan yang bersifat stimulus, respon masyarakat akan tinggi. Masyarakat Kuta pada umumnya hanya menerima program-program pemerintah yang diterima begitu saja (taken for granted), akibatnya ketersediaan akses bagi masyarakat Kuta tidak bisa dioptimalkan. Berbeda dengan penjelasan diatas, masyarakat Kuta sendiri menganggap bahwa representasi wakil mereka di pemerintahan desa sebagai alasan mengapa akses terhadap aspirasi warga Kuta tersendat.
Jika dilihat, partisipasi politik masyarakat kuta dalam pemerintahan termasuk paling rendah dibandingkan dengan dusun lain di wilayah desa karangpaningal, namun demikian setidaknya masih ada beberapa wakil dari kuta yang duduk dalam pemerintahan, beberapa warga kuta yang terlibat dalam pemerintahan desa, diantaranya :
Table. 3 Reresentasi warga Kampung Kuta dalam Pemerintahan
No. Nama Peran dalam Pemerintahan
1 Warsim Setiawan Kaur Ek Bang
2 Warman Kepala Dusun
3 Maman Sarno, Saryo Anggota LMD
4 Warso Anggota BPD
5 Rasman Ketua RW
(Sumber : data primer diolah)
Alasan tersebut di respon pemerintah, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di kampung Kuta yang rendah menyebabkan kurang terakomodirnya aspirasi masyarakat, hanya saja pemerintah mengakui bahwa strategi pembangunan dari pemerintah ternyata tidak menjamin terakomodirnya aspirasi dari masyarakat, sehingga dengan banyaknya bantuan yang bersifat fisik, masyarakat Kuta menjadi semakin dimanjakan dengan program-program bantuan tersebut. Akibatnya partisipasi yang berkembang di masyarakat Kuta lebih kepada fisik implementatif. Sementara pada tahap perencanaan, kontrol dan evaluasi terhadap kebijakan dan program pemerintah masyarakat cenderung tidak terlibat sama sekali.
Kondisi ini menjadi demikian ironis karena masyarakat adat pada hakikatnya merupakan elemen penting yang menjadi bagian dalam masyarakat Indonesia, baik secara jumlah populasi maupun nilai budayanya. Sayangnya dari sebagian besar keputusan-keputusan politik, eksistensi komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses dan agenda politik dari pusat maupun daerah. Bahkan jarang sekali ada klausul atau regulasi yang memberikan ketegasan (jaminan) bagi partisipasi masyarakat adat.
Persoalan sumber daya manusia juga merupakan aspek yang menjadi sorotan dalam melihat partisipasi politik di Kampung Kuta. Pemerintah desa menganggap bahwa faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat kuta dalam setiap kebijakan yang ditingkat desa maupun daerah adalah faktor SDM, tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi yang rendah mengakibatkan aspirasi dan kontrol masyarakat adat terhadap perumusan kebijakan rendah pula, disamping itu tidak adanya peraturan dari pemerintah daerah yang menjamin itu.
Keberadaan peraturan pemerintah bagi masyarakat adat merupakan harapan agar eksistensi dan keberadaan mereka sebagai masyarakat adat di akui dan diberikan keleluasaan untuk menjalankan tradisi dan budaya mereka dengan tenang. Hanya saja pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat tidak lebih sebatas mengumpulkan simbol-simbol masyarakat adat dari berbagai penjuru Indonesia, tanpa mendalami makna dan hubungan timbal-balik simbol-simbol tersebut dengan alam sekitar mereka. Atau cenderung memusemkan masyarakat adat sebagai sekelompok manusia unik, atau memandang mereka sebagai orang terbelakang dan 'memaksa' mereka untuk hidup dengan cara-cara modern, yang sangat berbias pikiran kelompok dominan. Simbol-simbol adat (seperti tari-tarian ritual adat dan bentuk rumah) tetap dilestarikan sementara organisasi masyarakat adat dibiarkan merana.
Maka dari itu perlu strategi pengembangan partisipasi masyarakat adat, agar senantiasa mendapatkan jaminan dan akses terhadap keputusan-keputusan politik yang menyangkut masa depan kehidupan mereka. Hal ini juga yang disadari oleh pemerintah Desa Karangpaningal, menurutnya perlu peningkatan pendidikan dan pelatihan keterampilan, tentu saja pendidikan politik masyarakat lewat pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan kebijakan publik akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat adat dengan kekuatan tradisi dan lembaga adat yang dimilikinya.
Masyarakat adat merupakan unsur terbesar pembentuk Negara bangsa (nation state) Indonesia, komunitas-komunitas adat ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan warisan leluhur sebagai modal dasar bagi kehidupan masyarakat adat dalam mempertahankan hidupnya secara berkesinambungan dengan dibingkai oleh aturan adat yang disebut dengan hukum adat. Hukum adat tersebut jika dilihat dari kajian kebijakan publik maka dapat digolongkan kepada suatu produk dari suatu proses pembuatan kebijakan. Namun, kebijakan ini biasanya merupakan kabijakan yang berlaku dalam tataran lokal atau hanya dikenakan untuk masyarakat adat dimana hukum adat itu dibuat. Setiap masyarakat masyarakat adat bisanya memiliki hukum adatnya sendiri, namun banyak sekali hukum atau aturan-aturan adat itu yang tidak tertulis. Artinya hukum adat itu hanya ada dalam tataran pemahaman pikiran yang dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan baik dalam wilayah privat maupun dalam kehidupan di lingkungan masyarakat adatnya.
Berkaitan dengan hal ini menurut David Easton (dalam Islamy, 1984:19), public policy is the outhoritative allocation of values for the whole society atau pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat). Artinya dari pengertian ini maka dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat adat merupakan salah satu bentuk kebijakan publik karena seluruh masyarakat yang ada didalamnya tunduk dan melaksanakan aturan-aturan tersebut.
Namun apa yang terjadi di Kampung Kuta khususnya dalam hal kebijakan yang berbentuk aturan adat itu sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan publik yang lainya. Terlebih ketika dilihat dalam proses formulasinya dimana formulasi kebijakan menurut Lindblom (dalam Solihin Abdul Wahab, 1997:16) merupakan proses politik yang amat komplek dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya dan batas dari proses itu sesungguhnya tidak pasti, serangkaian kekuatan yang agak kompleks itu kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan. Pembuatan kebijakan yang berbentuk aturan-aturan ada di Kampung Kuta tidak melewati proses pembuatan kebijakan pada umumnya, namun aturan-aturan adat itu dibuat dan dikeluarkan oleh seorang Kuncen.
Sebagaimana dijelaskan pada bab dan sub-bab sebelumnya bahwa Kuncen adalah seorang keturunan langsung dari pendiri Kampung Kuta. Seorang Kuncen mempunyai kedudukan dan tempat tersendiri dalam proses penentuan aturan-aturan adat. Selain karena sebagai keturunan pendiri Kampung Kuta, kedudukannya itu diperkuat oleh adanya mitos-mitos tertentu. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya masyarakat Kampung Kuta merupakan suatu masyarakat yang menjalani kehidupannya dengan penuh ketaatan pada suatu pantangan-pantangan yang oleh masyarakat sekitas disebut dengan “pamali” yang diikuti oleh mitos-mitos yang memperkuatnya. Dengan kata lain, posisi dan kedudukan seorang Kuncen diperkuat melalui adanya larangan-larangan atau pantangan-pantangan tersebut khususnya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan Kampung Kuta. Selain itu, Kuncen berkedudukan sebagai satu-satunya perantara dalam menghubungkan antara dunia nyata dengan dunia supra-natural. Dengan begitu seorang Kuncen dalam masyarakat Kampung Kuta menjadi sangat penting dan berpengaruh.
Pengaruh yang sangat kuat dalam hal yang berkaitan aturan-aturan adat yang ada dan berlaku di Kampung Kuta menjadikan seorang Kuncen sebagai satu-satunya aktor dalam pembuatan dan penetapan aturan-aturan tersebut. Dengan dianggapnya Kuncen tersebut ditempatkan sebagai satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan menghubungkan dunia nyata dengan dunia supra-natural (arwah leluhur) maka apa yang dikatakan oleh Kuncen akan dijadikan aturan adat yang harus ditaati ketika Kuncen itu menyatakan bahwa apa yang dikatakannya itu merupakan wangsit atau petuah atau impen dari arwah leluhur. Jika kedudukan seorang Kuncen dalam pembuatan kebijakan yang berbentuk aturan-aturan ada itu dikaji dari teori kebijakan khususnya dari segi model kebijakan maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang berbentuk aturan-aturan adat tersebut dapat digolongkan ke dalam model kebijakan model elit. Menurut Silalahi (1989:39), kebijakan model elit adalah kebijakan sebagai preferensi elit. Dalam teori ini rakyat atau masyarakat umum dimana kebijakan itu diberlakukan dalam hubungannya dengan kebijakan tersebut dibuat apatis dan miskin informasi sehingga elitlah yang membentuk pendapat umum serta kebijakan mengalir dari elit kepada massa atau masyarakat melalui administrator-administrator. Elit pada proses kebijakan yang berbentuk aturan adat di Kampung Kuta adalah Kuncen, sedangkan administrator dalam hal ini adalah Ketua Adat dan para perangkat adat.
Kuncen menjadi satu-satunya elit yang paling berkuasa dalam pembuatan aturan-aturan adat. Untuk menguatkan kekuasaan itu, Kuncen menyampaikan kepada masyarakat tentang akibat yang akan menimpa masyarakat jika ada anggota dari masyarakat Kampung Kuta melanggar aturan-aturan itu. Sebagai contohnya ketika ada yang membuat rumah dari bahan tembok dan atap genting beberapa hari kemudian yang bersangkutan tiba-tiba sakit keras sampai akhirnya meninggal dunia. Dalam fenomena ini Kuncen menyatakan bahwa itu merupakan akibat dari yang bersangkutan tersebut melanggar salah satu aturan adat dimana aturan adat melarang pembuatan rumah dari bahan tembok dan atap genting.
Dalam pandangan kebijakan model elit masyarakat dibagi atas dua bagian yaitu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan. Kedua kelompok itu mempunyai kekuatan yang berbeda. Kelompok yang mempunyai kekuasaan itu dalam pembuatan aturan adat itu adalah Kuncen karena dalam hal ini Kuncen memiliki kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur dan memiliki kekuasaan untuk membuat aturan-aturan adat tersebut. Kelompok yang disebutkan memiliki kekuasaan diatas pada umumnya mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Hal ini terbukti dengan apa yang terjadi di Kampung kuta dimana sebagai perantara dalam menghubungkan dunia nyata dengan dunia supranatural yang diperankan oleh seorang Kuncen yang kedudukannya sangat khusus dengan beberapa aturan yang berkenaan dengan tatacara berkehidupan sesuai dengan aturan adat. Oleh karena itu, kedudukan seorang kuncen dalam masyarakat Kampung Kuta menjadi sangat tinggi dan berpengaruh. Penguatan atas status sosial tersebut dalam masyarakat Kampung Kuta adalah dengan dilakukannya ritual-ritual yang pelaksanaannya dipimpin oleh Kuncen. Dalam ritual-ritual adat yang dilaksanakan di Kampung Kuta pada hakikatnya adalah suatu proses legitimasi yang bersifat sakral. Dalam proses ritual-ritual tersebut juga menyangkut masalah stuktur sosial dalam sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Untuk menguatkan kekuasaan dan kedudukan sosial Kuncen dipakai penggambaran mitos-mitos yang dikaitkan dengan arwah leluhur atau karuhun yang hanya bisa dipanggil atau hanya bisa berhubungan dengan Kuncen tersebut.
Dalam pandangan model elit kebijakan tidak memantulkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat umum tetapi banyak mengutamakan kepentingan elit. Oleh karena itu perubahan terhadap kebijakan lebih banyak dilakukan secara lamban dan bertahap daripada bersifat revolusioner. Pandangan ini telihat pada masyarakat Kampung Kuta dimana aturan-aturan adat yang ada itu bukan merupakan keinginan sebagian besar masyarakat Kampung Kuta bahkan banyak diantara masyarakat Kampung Kuta mulai tidak sepaham dengan aturan-aturan adat itu. Hal ini juga mengakibatkan pola kehidupan masyarakat Kampung Kuta berlangsung dengan pola yang tetap. Artinya, tidak banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Kampung Kuta yang memang segala sapek kehidupannya terikat oleh aturan-aturan adat.
Dalam pandangan lain mengenai kebijakan model elit, elit secara aktif selalu berusaha agar dapat mempengaruhi massa yang sifatnya pasif. Massa yang pasif disini jika melihat masyarakat Kampung Kuta artinya masyarakat Kampung Kuta yang hanya melaksanakan aturan-aturan adat dan tidak pernah mempertanyakan secara kritis latar belakang, maksud dan tujuan, dan kenapa aturan-aturan adat tersebut dibuat. Elit dalam hal ini adalah Kuncen selalu mempengaruhi masyarakat Kampung Kuta untuk menaati aturan-aturan yang ada dengan memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat bahwasanya jikalau ada anggota masyarakat Kampung Kuta yang melanggar salah satu aturan adat maka ada akibat yang diterimanya baik yang menimpa individu yang bersangkutan maupun masyarakat Kampung Kuta secara umum. Oleh sebab itu, apapun yang dikatakan oleh Kuncen khususnya yang berkaitan tentang tata berkehidupan yang kemudian dijadikan aturan adat pasti akan dilaksanakan oleh semua anggota masyarakat Kampung Kuta dan jarang sekali ada anggota masyarakat yang berani melanggarnya.
Setiap dibuat atau dikeluarkan suatu kebijakan didalamnya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mempengaruhinya. Artinya, nilai-nilai tersebut dipakai oleh pembuat kebijakan untuk memberikan warna dalam kebijakan yang dibuatnya atau dengan kata lain nilai-nilai tersebut digunakan digunakan oleh pembuat kebijakan untuk menentukan arah ke mana kebijakan tersebut ditujukan. Menurut Anderson (dalam Winarno, 2002:93) nilai-nilai yang dipakai oleh pembuat kebijakan atau keputusan adalah nilia-nilai politik, nilai-nilai organisasi, nilai-nilai pribadi, nilai-nilai kebijaksanaan dan nilai-nilai organisasi. Dari nilai-nilai yang mempengaruhi kebijakan yang dikemukakan oleh Anderson tersebut jika dipakai untuk melihat nilai-nilai mana yang paling dominan dalam pembuatan aturan-aturan adat tersebut maka terlihat bahwa nilai-nilai yang paling dominan dalam pembuatan aturan-aturan adat tersebut adalah nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai pribadi dalam pembuatan kebijakan atau keputusan artinya adalah kriteria keputusan yang didasarkan pada usaha untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonomi, reputasi atau kedudukan. Berkaitan dengan hal ini,berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kampung Kuta terlihat bahwa nilai-nilai pribadi yang mempengaruhi pembuatan aturan-aturan adat di Kampung Kuta digunakan oleh Kuncen ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan reputasi dan kedudukannya dalam masyarakat Kampung Kuta.
Keputusan atau kebijakan yang demokratis adalah kebijakan yang dalam proses pembuatannya membuka selebar-lebarnya pintu partisipasi masyarakat. Khususnya masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebijakan yang dibuat tersebut. Dimana partisipasi disini dapat diartikan sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan kegiatan pembuatan kebijakan atau keputusan yang berbentuk aturan-aturan adat.
Keputusan atau kebijakan publik merupakan proses politik. Maka dengan demikian partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dapat dikatakan sebagai partisipasi politik. Menurut Lester W Milbrath dan M. Goel tipologi partisipasi politik berdasarkan tingkatannya terbagi kedalam tiga kelompok yaitu pertama, gladiator yang menempati tingkatan tertinggi dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Gladiator ini merupakan pemain atau orang yang sangat aktif dalam dunia politik atau dalam proses pembuatan keputusan. Kedua, spectator yang menempati tingkatan kedua dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Spectator ini merupakan penonton atau orang yang hanya menggunakan hak pillihnya dalam pemilu, selebihnya spectator ini hanya melakukan partisipasi dalam wilayah output seperti mentaati hukum atau aturan-aturan, membayar pajak atau retribusi ataupun memelihara ketertiban dan keamanan. Ketiga, Aphathethics yang menempati tingkatan terendah dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Aphathetics ini dengan kata lain adalah apatis atau orang yang tidak aktif sama sekali termasuk tidak mempergunakan hak pilihnya termasuk didalamnya tindakan untuk tidak melakukan apa-apa, seperti tidak memilih, tidak membayar pajak, tidak mentaati peraturan secara sengaja.
Berdasarkan temuan pada saat penelitian berkaitan tentang partisipasi politik dalam pembuatan keputusan adat yang berupa aturan-aturan adat. Maka dapat digambarkan bahwa masyarakat Kampung Kuta termasuk pada kelompok Spectator. Hal ini terlihat jelas ketika keputusan Kuncen yang kemudian dijadikan salah satu aturan adat dibuat tidak ada sebagian kecil pun dari anggota masyarakat Kampung Kuta yang berpartisipasi dalam hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh salah satunya adalah kedudukan Kuncen yang merupakan satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur. Dan apa yang menjadi keputusan kuncen dianggap oleh masyarakat Kampung Kuta sebagai keputusan arwah para leluhur yang harus dijadikan aturan adat yang harus ditaati, sehingga tidak ada seorang pun dari anggota masyarakat Kampung Kuta yang intervensi dalam pembuatan keputusan Kuncen.
b. Partisipasi Politik Masyarakat Kampung Kuta dalam Pembuatan Kebijakan di Tingkat Desa
Pada saat Indonesia memasuki babak baru sistem politik dengan diikuti terbukanya keran demokratisasi, segala bentuk kebijakan pun mengalami pergeseran nilai. Pada saat Indonesia dikuasai oleh rezim otoriter yang dipimpin oleh Soeharto. Kebijakan-kebijakan yang ada juga mencerminkan seperti apa sistem politik yang ada pada saat itu. Setiap kebijakan yang dibuat pada saat itu merupakan kebijakan yang ditujukan hanya untuk kepentingan para elit rezim. Kebijakan-kebijakan itu biasanya dibuat untuk memperkuat kedudukan para elit dan sistem politik yang telah dibentuknya. Jarang sekali kebijakan yang dibentuk untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam proses pembuatannya pun pada saat itu para elit menutup ruang partisipasi masyarakat. Masyarakat hanya dijadikan objek tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat merupakan sebagai preferensi elit saja.
Pergeseran nilai yang disebutkan diatas adalah nilai-nilai yang otoriter dan menutup ruang partisipasi politik masyarakat dalam pembuatan kebijakan menjadi terbukanya ruang partisipasi politik masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan yang dibuat lebih demokratis. Dengan perubahan-perubahan seperti ini juga membawa arus demokratisasi di tingkat pusat mengalir ke tingkat yang lebih rendah, ke tingkat lokal sampai pada tingkat desa. Hal ini kemudian menyebabkan pembuatan kebijakan di tingkat desa pun dibuat dengan demokratis. Kebijakan atau keputusan yang demokratis adalah keputusan atau kebijakan yang membuka ruang partisipasi politik bagi masyarakat umum.
Jika partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan warga masyarakat secara sukarela. Dan jika politik di tujukan sebagai segala aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan yang otoritatif untuk kesejahteraan umum maka partisipasi politik berarti keikutsertaan warga masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan atau keputusan. Dengan mengalirnya arus demokratisasi sampai tingkat desa maka pembuatan kebijakan di tingkat desa pun menjadi demokratis artinya membuka lebih luas akses masyarakat untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan atau keputusan yang dibuat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis khususnya dari hasil wawancara dengan para informan terlihat bahwa setiap kebijakan yang dibuat di Desa Karangpaninggal dibuat dengan melibatkan semua elemen masyarakat tanpa ada membeda-bedakan masyarakat baik berdasarkan status sosial maupun status ekonomi. Artinya siapapun dan apapun status sosial maupun seperti apapun kondisi ekonominya dari masyarakat Desa Tambaksari berhak berpartisipasi dalam membuatan kebijakan di Desa Karangpaninggal tersebut.
Setiap orang yang termasuk sebagai anggota masyarakat Desa Karangpaninggal berhak untuk berpartisipasi dalam setiap proses formulasi kebijakan di desanya. Dimana, formulasi kebijakan menurut Udoji (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:17) adalah keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengaturan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Terbukanya ruang partisipasi politik dalam setiap kebijakan di Desa Karangpaninggal berarti terbuka pula ruang partisipasi dalam setiap prosesnya. Artinya, tidak ada di setiap tahapan yang dilalui dalam setiap proses formulasi kebijakan di Desa Karangpaningal yang menutup ruang partisipasi politik bagi masyarakat. Menurut Budi Winarno (2002:80-84) tahapan dalam formulasi kebijakan dibagi menjadi empat tahap yaitu perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternative kebijakan untuk memecahkan masalah dan tahan penetapan kebijakan.
Berdasarkan fokus penelitian dan temuan data di lapangan bahwa masyarakat Kampung Kuta berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan tingkat desa dengan melalui anggota Badan Permusyawaratan Desa yang mewakili Dusun Kuta dan melalui Ketua Adat yang memang mempunyai status sosial khusus yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya di Desa Karangpaninggal. Dalam berpartisipasi masyarakat Kampung Kuta tidak dapat dipandang sebelah mata. Artinya masyarakat Kampung Kuta memiliki posisi tawar yang tinggi dalam pembuatan kebijakan di tingkat desa terlebih ketika kebijakan yang dibuat di tingkat desa itu berkaitan langsung dengan masyarakat Kampung Kuta. Sebagai salah satu contoh kasusnya adalah ketika dalam penyusunan Peraturan Desa Nomor 1 tahun 2010 tentang Rencana Anggaran Pendapatan Desa. Dalam peraturan desa tersebut diatur tentang pendapatan desa yang didalamnya terdapat pemasukan dari pengelolaan Tanah Kas Desa. Yang termasuk tanah kas desa tersebut adalah “tanah pangangonan” yang disewakan kepada masyarakat. Berdasarkan informasi yang didapat dari perangkat desa dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis, selain tanah pangangonan, tanah Kas desa yang lainya adalah tanah hutan yang oleh masyarakat Kampung Kuta dijadikan Hutan Keramat. Walaupun Hutan keramat tersebut termasuk kedalam tanah kas desa tetapi pengelolaannya tidak masuk kedalam penerimaan kas desa. Selain hal tersebut posisi tawar masyarakat kampung Kuta juga terlihat ketika Desa Tambaksari mengeluarkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Ketika program ini diimplementasikan, program ini tidak dapat diimplementasikan di wilayah Dusun Kuta. Hal ini dikarenakan masyarakat Kampung Kuta menolak Program tersebut karena bertentangan dengan aturan-aturan adat.
Secara kultural, masyarakat dusun Kuta berbeda dengan masyarakat dusun lain di Desa Karangpaningal, karena dalam kehidupan masyarakat Kuta nilai-nilai tradisi leluhur masiih dipegang dan dilestarikan secara turun temurun yang sesuai dengan karakteristik masyarakat adat.
Partisipasi politik yang berkembang dalam masyarakat adat Kampung Kuta dalam formulasi kebijakan bisa di lihat dalam dua proses. Pertama, partisipasi politik dalam proses kebijakan di internal komunitas adat, dan Kedua, partisipasi politik dalam proses formulasi kebijakan di tingkat desa.
Partisipasi politik dalam komunitas adat, lebih bersifat tertutup dengan model elitis, Kincen sangat berperan dalam menentukan kebijakan, sedangkan dalam akses perencanaan, control kebijakan adat masyarakat tidak terlibat sama sekali, hal ini di karenakan kekuatan tradisi yang memposisikan kuncen sebagai aktor utama yang mengeluarkan kebijakan adat.
Sedangkan partisipasi politik dalam tahapan atau proses formulasi kebijakan tingkat di Desa Karangpaninggal sudah berjalan dengan dengan mengikuti nilai-nilai yang demokratis. Artinya dalam proses ini ruang partisipasi politik masyarakat terbuka luas. Ruang partisipasi yang terbuka dalam proses formulasi kebijakan di Desa Karangpaninggal tersebut digunakan oleh masyarakat Kampung Kuta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan dengan jalan setiap aspirasi maupun tuntutan dari masyarakat Kampung Kuta disampaikan melalui wakilnya yang ada di Badan Permusyawaratan Desa dimana dari Badan Permusyawaratan Desa tersebut kemudian akan disampaikan kepada pemerintah Desa.
Namun demikian ruang untuk perpartisipasi tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sumber daya manusia dan tingkat pemahaman mengenai partisitisipasi politik yang rendah.
Daftar Pustaka
Apter, E. David. 1988. Pengantar Analisa Politik, alih bahasa Yasogama. CV Rajawali. Jakarta
Aziz, Munir. 1991. Partisipasi Politik Masyarakat dalam Sistem Pemerintahan Desa, P3IL Universitas Syah Kuala, Banda Aceh.
Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Duverger, Maurice.1981. Partai Politik Dan Kelompok Penekan. Alih Bahasa Laila Hasyim. Jakarta
Easton, David. 1984. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Haryanto. 1982. Sistem Politik; Suatu Pengantar. Liberty. Jakarta.
Hermansyah, Eman, 2009, Kampung Kuta Sebagai Kawasan Warisan Budaya Kabupaten Ciamis, Disbudpar Kabupaten Ciamis. Ciamis.
Islamy, Irfan. 1984. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta
Jones, O. Charles. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Nashir Budiman (ed), CV Rajawali Press. Jakarta
Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Sinar Baru. Jakarta
Lindlom, E. Charles. 1986. Proses Penetapan Kebijakan, Alih Bahasa Syamsudin Ardian. Erlangga. Jakarta
Mac Andrew, C. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Gajah Mada University. Yogyakarta
Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi dunia: Gerakan Sosial Dan Perubahan Politik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar dan Nasikun. 1987. Sosiologi Politik. PAU-Studi Sosial UGM. Yogyakarta
Miles, Mathew dan A. Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Nawawi, Handari M. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajahmada University Press. Yogyakarta
Nazir, Muhamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Putra, Fadillah. 2001. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik: Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Ripley, B. Randall. 1985. Policy Analisys in Political Science. Nelson-Hall Publishers. Chicago
Rush, Michael & Althoff, P. !988. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta.
Setiawan, Bonnie. 2000. Perjuangan Demokrasi dan Masyarakat Sipil: Reposisi dan Peran Ornop/LSM di Indonesia. INFID. Jakarta
Silalahi, Oberlin. 1989. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Negara. Liberty Yogyakarta
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Subakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana. Jakarta
Sukarna. 1981. Sistem Politik. Offset Alumni. Bandung
Susser, Bernard. 1992. Approaches to The Study of Politics. Macmillan Publishing Company. New York
Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif: dasar-dasar teoritis dan praktis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Varma, S.P. 1990. Teori Politik Modern. Rajawali Pers. Jakarta
Wahab, A. Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta. Jakarta
Wahab, A Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanan Negara. Bumi Aksara. Jakarta
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressido. Yogyakarta
PEMBUATAN PORASI
09.29
Taufik Nurohman
No comments
Porasi (pupuk organik dengan cara fermentasi) dibuat dengan memfermentasi bahan-bahan organik oleh mikroorganisme yang terdapat dalam pupuk hayati M-BIO, sehingga dapat mempercepat proses dekomposisi atau pelapukan bahan-bahan organik. Jika dibandingkan dengan cara pembuatan kompos, pembuatan porasi lebih cepat, yaitu hanya memerlukan waktu ± 10 hari.
Pembuatan porasi, baik porasi padat maupun porasi cair dapat disesuaikan dengan bahan-bahan organik yang tersedia di masing-masing daerah atau lokasi.
Pembuatan porasi, baik porasi padat maupun porasi cair dapat disesuaikan dengan bahan-bahan organik yang tersedia di masing-masing daerah atau lokasi.
PEMBUATAN PORASI PADAT/KERING
a. Bahan dan Alat
• Pupuk Hayati M-BIO
• Bahan organik; pupuk kandang (sapi, kerbau, kambing/ domba, babi, kuda, ayam, dan lain-lain), sisa atau limbah tanaman (jerami, sekam padi, batang pisang, rumput-rumputan/daun-daunan, sampah organik, humus hutan, limbah jamur tiram).
• ekatul/dedak
• Gula putih atau gula merah
• Air
• Ember dan embrat
• Sekop atau cangkul
• Karung goni atau penutup lainnya
• Thermometer jika ada
b. Cara Pembuatan
• Pupuk hayati M-BIO + gula putih atau gula merah dilarutkan ke dalam air pada ember atau drum dengan perbandingan 50 liter air, 1 liter M-BIO, dan 1kg gula putih atau merah
• Lebih kurang 1000 kg bahan-bahan organik, 50 Kg dedak, diaduk secara merata, dengan menggunakan skop atau cangkul.
• Siramkan larutan M-BIO+ gula secara merata dengan menggunakan embrat pada campuran bahan organik, sampai kandungan air pada campuran bahan organik tersebut (adonan) mencapai ± 50% (adonan bila diremas dengan tangan tidak ke luar air, dan apabila remasan dilepas adonan mekar)
• Adonan ditumpukan secara merata dengan ketinggian 20-40 cm, kemudian ditutup dengan karung goni atau penutup lainnya,. Setelah 6-8 jam suhu dalam adonan dicek. Selanjutnya dilakukan pembalikan adonan sampai adonan tersebut dingin kemudian ditutup kembali. Pembalikan adonan selanjutnya dilakukan setiap hari untuk mempertahankan suhu adonan di bawah 40 0 C.
• Setelah 7 - 10 hari fermentasi, maka dihasilkan porasi yang kering, dingin, dan memiliki aroma khas serta siap untuk digunakan/diaplikasikan.
c. Cara Penggunaan/aplikasi
• Pupuk porasi digunakan atau diaplikasi sama halnya dengan penggunaan pupuk organik lainnya, yaitu dengan cara ditebarkan di atas lahan pada saat atau setelah pengolahan tanah, kemudian dicampur dengan tanah secara merata. Untuk tanaman buah-buhan atau tanaman tahunan, porasi digunakan dengan cara dibenamkan di sekeliling tanaman. Sedangkan untuk tanaman dalam pot atau polybag dicampurkan dengan media tanam lainnya.
• Takaran pupuk porasi berkisar antara 5-10 ton/ha, tergantung pada komoditas tanaman dan tingkat kesuburan tanah.
• Untuk mendapatkan hasil yang baik, dapat dikombinasi- kan dengan pemberian porasi cair atau penyemprotkan M-Bio secara langsung (5 ml M-Bio/L air) pada tanah.
PEMBUATAN PORASI CAIR
a. Bahan dan Peralatan :
• Pupuk hayati M-Bio
• Bahan organik; pupuk kandang (sapi, kerbau, kambing/ domba, babi, kuda, ayam, dan lain-lain), sisa atau limbah tanaman (jerami, sekam padi, batang pisang, rumput-rumputan/daun-daunan, sampah organik).
• Gula putih atau gula merah
• Air sumur atau sungai
• Drum atau wadah lain yang tertutup
b. Cara Pembuatan :
• Isi drum atau wadah yang bertutup dengan air sumur/sungai sebanyak 150 liter atau 2/3 bagian kapasitas drum atau wadah.
• Masukan gula putih atau gula merah sebanyak 1 Kg, bahan organik sebanyak 1/3 bagian dari kapasitas drum atau wadah kapasitas drum atau wadah, kemudian masukan M-Bio sebanyak ± 2 liter ke dalam drum atau wadah bertutup.
• Aduk larutan tersebut sampai rata, lalu drum atau wadah tersebut ditutup. Lakukan pengadukan larutan tersebut sehari sekali selama 4 hari, setelah itu larutan siap diaplikasikan.
c. Cara Penggunaan/aplikasi
• Setiap satu liter pupuk porasi cair dicampur dengan 5- 10 liter air.
• Sebelum disemprotkan, saring dahulu larutan pupuk porasi cair agar sisa-sisa bahan organik yang tidak larut tidak terbawa ke dalam tangki sprayer.
• Semprotkan pupuk porasi cair pada tanaman dan atau di atas tanah. Untuk tanaman dalam pot dapat dengan cara disiramkan.
a. Bahan dan Alat
• Pupuk Hayati M-BIO
• Bahan organik; pupuk kandang (sapi, kerbau, kambing/ domba, babi, kuda, ayam, dan lain-lain), sisa atau limbah tanaman (jerami, sekam padi, batang pisang, rumput-rumputan/daun-daunan, sampah organik, humus hutan, limbah jamur tiram).
• ekatul/dedak
• Gula putih atau gula merah
• Air
• Ember dan embrat
• Sekop atau cangkul
• Karung goni atau penutup lainnya
• Thermometer jika ada
b. Cara Pembuatan
• Pupuk hayati M-BIO + gula putih atau gula merah dilarutkan ke dalam air pada ember atau drum dengan perbandingan 50 liter air, 1 liter M-BIO, dan 1kg gula putih atau merah
• Lebih kurang 1000 kg bahan-bahan organik, 50 Kg dedak, diaduk secara merata, dengan menggunakan skop atau cangkul.
• Siramkan larutan M-BIO+ gula secara merata dengan menggunakan embrat pada campuran bahan organik, sampai kandungan air pada campuran bahan organik tersebut (adonan) mencapai ± 50% (adonan bila diremas dengan tangan tidak ke luar air, dan apabila remasan dilepas adonan mekar)
• Adonan ditumpukan secara merata dengan ketinggian 20-40 cm, kemudian ditutup dengan karung goni atau penutup lainnya,. Setelah 6-8 jam suhu dalam adonan dicek. Selanjutnya dilakukan pembalikan adonan sampai adonan tersebut dingin kemudian ditutup kembali. Pembalikan adonan selanjutnya dilakukan setiap hari untuk mempertahankan suhu adonan di bawah 40 0 C.
• Setelah 7 - 10 hari fermentasi, maka dihasilkan porasi yang kering, dingin, dan memiliki aroma khas serta siap untuk digunakan/diaplikasikan.
c. Cara Penggunaan/aplikasi
• Pupuk porasi digunakan atau diaplikasi sama halnya dengan penggunaan pupuk organik lainnya, yaitu dengan cara ditebarkan di atas lahan pada saat atau setelah pengolahan tanah, kemudian dicampur dengan tanah secara merata. Untuk tanaman buah-buhan atau tanaman tahunan, porasi digunakan dengan cara dibenamkan di sekeliling tanaman. Sedangkan untuk tanaman dalam pot atau polybag dicampurkan dengan media tanam lainnya.
• Takaran pupuk porasi berkisar antara 5-10 ton/ha, tergantung pada komoditas tanaman dan tingkat kesuburan tanah.
• Untuk mendapatkan hasil yang baik, dapat dikombinasi- kan dengan pemberian porasi cair atau penyemprotkan M-Bio secara langsung (5 ml M-Bio/L air) pada tanah.
PEMBUATAN PORASI CAIR
a. Bahan dan Peralatan :
• Pupuk hayati M-Bio
• Bahan organik; pupuk kandang (sapi, kerbau, kambing/ domba, babi, kuda, ayam, dan lain-lain), sisa atau limbah tanaman (jerami, sekam padi, batang pisang, rumput-rumputan/daun-daunan, sampah organik).
• Gula putih atau gula merah
• Air sumur atau sungai
• Drum atau wadah lain yang tertutup
b. Cara Pembuatan :
• Isi drum atau wadah yang bertutup dengan air sumur/sungai sebanyak 150 liter atau 2/3 bagian kapasitas drum atau wadah.
• Masukan gula putih atau gula merah sebanyak 1 Kg, bahan organik sebanyak 1/3 bagian dari kapasitas drum atau wadah kapasitas drum atau wadah, kemudian masukan M-Bio sebanyak ± 2 liter ke dalam drum atau wadah bertutup.
• Aduk larutan tersebut sampai rata, lalu drum atau wadah tersebut ditutup. Lakukan pengadukan larutan tersebut sehari sekali selama 4 hari, setelah itu larutan siap diaplikasikan.
c. Cara Penggunaan/aplikasi
• Setiap satu liter pupuk porasi cair dicampur dengan 5- 10 liter air.
• Sebelum disemprotkan, saring dahulu larutan pupuk porasi cair agar sisa-sisa bahan organik yang tidak larut tidak terbawa ke dalam tangki sprayer.
• Semprotkan pupuk porasi cair pada tanaman dan atau di atas tanah. Untuk tanaman dalam pot dapat dengan cara disiramkan.
Jumat, 11 Februari 2011
“MERIT SYSTEM” DALAM BIROKRASI INDONESIA
09.38
Taufik Nurohman
1 comment
Oleh : Taufik Nurohman
Pendahuluan
Semenjak reformasi bergulir, gaung reformasi birokrasi telah menjadi agenda bersama dalam mengatasi krisis saat itu, namun justru reformasi birokrasi masih tertinggal jauh dibandingkan dengan reformasi politik dan reformasi perundang-undangan. Jika melihat kebelakang maka perjalanan bangsa ini dalam membenahi dirinya dalam hal reformasi birokrasi sebenarnya cukup panjang dan melelahkan.
Pada saat orde lama dan orde baru, keberadaan birokrasi disalahartikan oleh penguasa, yang pada akhirnya birokrasi dijadikan tunggangan untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Pada saat orde lama dan orde baru, keberadaan birokrasi disalahartikan oleh penguasa, yang pada akhirnya birokrasi dijadikan tunggangan untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Sejak Indonesia merdeka dan seiring dengan perkembangannya, sistem, sifat maupun bentuk birokrasi juga mengalami perkembangan. Perubahan demi perubahan silih berganti bergantung pada siapa yang berkuasa dan bagaimana dan bagaimana penguasa itu melaksanakan kekuasaannya. Berikut adalah beberapa catatan tentang birokrasi sejak Indonesia merdeka. Pertama, periode awal kemerdekaan ini, tahun 1945-1950, dapat dikatakan birokrasi pemerintahan kita masih netral. Mungkin, karena masih dijiwai semangat kemerdekaan dan semangat persatuan. Kedua, tahun 1950-1959, ditandai dengan politisasi birokrasi. Partai-partai politik berlomba-lomba untuk menguasai kementerian. Rekrutmen PNS dan penentuan jabatan tidak obyektif. Kelompok-kelompok birokrasi berafiliasi kepada partai-partai politik. Ketiga, tahun 1960-1965, partai-partai politik dari aliran-aliran politik Nasakom bersaing untuk menguasai birokrasi pemerintahan. Keempat, masa Orde Baru hingga tahun 1998, birokrasi pemerintah menjadi kendaraan politik Golkar. Kemenangan Golkar dalam enam kali pemilu terutama berkat peranan birokrasi. Pada masa Orde Lama, ketiga aliran politik masing-masing mempunyai kapling pada birokrasi. Sedangkan masa Orde Baru, birokrasi dikuasai Golkar. Kelima, era reformasi, politisasi birokrasi pemerintahan di Indonesia saat ini cenderung menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada ditangan sejumlah kecil orang pada puncak partai-partai politik yang berkuasa.
Presiden Megawati pun mengatakan, sulit memegang leher pejabat eselon I dan eselon II. Namun, ada indikasi bahwa partai-partai politik yang berkuasa cukup aktif untuk merebut dan meraup sumber-sumber dana dari birokrasi kita. Money politics telah membuat semakin melemahnya birokrasi ala Weber.
|Politisasi birokrasi yang terbentuk dalam kerangka oligarki ini jelas berbeda bentuk dan caranya dibanding periode Orde Baru yang cenderung berdasarkan pelembagaan (Pancasila sebagai asas tunggal, Golkar/Korpri, atau monoloyalitas). Mungkin, saat ini kita tengah menghadapi apa yang dirumuskan oleh Robert Michels sebagai iron law of oligarchy (hukum baja oligarki). Menurut hukum ini, demokrasi dan organisasi skala besar tidaklah serasi (incompatible). Michels menyebut, organisasi skala besar ini dihadapkan dengan masalah koordinasi yang hanya dapat dipecahkan dengan menciptakan birokrasi yang efisien Pemilu tahun 2004 yang mengantarkan SBY – JK sebagai Presiden saat ini, boleh dibilang kebaradaan PNS dalam menyalurkan aspirasi politiknya cukup netral, meskipun ada upaya yang dilakukan oleh panguasa saat itu untuk memanfaatkan PNS sebagai basis dalam meraih dukungan untuk duduk sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kenetralan PNS ini didukung dengan UU N0. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum.
Perjalanan tersebut member gambaran kepada kita tentang model birokrasi yang mana yang sekiranya dapat kita pandang lebih baik. San sistem yang bagaimanakan yang sekiranya kemudian dapat diterapkan di Indonesia yang dapat mendukung perkembangan negara Indonesia di segala aspek kehidupan ke arah yang lebih baik.
Kajian Teoritis Birokrasi
Secara etimologis birokrasi berasal dari kata biro atau bureau yang berarti kantor ataupun dinas, dan krasi atau cracy, kratie yang berarti pemerintahan. Dengan demikian birokrasi secara etimologis merujuk pada makna dinas pemerintahan. Namun istilah birokrasi dapat dikembalikan juga pada berbagai istilah dari berbagai negara. Seperti istilah biro atau bureau, yang berarti meja tulis atau suatu tempat tertentu untuk bekerja bagi para pejabat. Birokrasi dalam istilah bahasa Yunani berarti aturan atau rule, dalam bahasa Perancis berarti bureaucratie. Sedangkan birokrasi dalam bahasa Jerman berarti bureaukratie. Terakhir untuk pemaknaan birokrasi dapat diambil dari bahasa Italia, birokrasi berarti burocracia.
Kamis, 10 Februari 2011
DJANGAN TAKOET*
09.01
Taufik Nurohman
No comments
Oleh: Mas Marco Kartodikromo
.
Soenggoehpoen amat berat orang bergerak memihak kepada orang jang lemah (orang jang tertindas), lihatlah adanja pemogokan jang beroelang oelang diwartakan dalam Sinar ini. Di sitoe soedah menoendjoekkan bilangannja berpoeloeh-poeloeh korban itoe pemogokan, inilah memang soedah seharoesnja. Sebab melawan kaoem jang mempoenjai pabrik pabrik itoe sama artinja dengan melawan pemerentah jang tidak adil. Kalau kami menilai hal itoe saja laloe ingat boenjinja boekoe: "Om leven en vrijheid" dan "Zes maanden onder de commando's, boekoe-boekoe itoe menoendjoekkan betapa haibatnja peperangan antara orang Inggris dan orang Belanda (booren) ada di Zuid-Afrika. Karena pada masa itoe orang-orang jang ada di Zuid-Afrika (Kaapstad, Bloemfontein enz) merasa dihinakan oleh pemerentah Inggris. Lantaran hal ini, maka di sitoe timboellah peperangan soeara (soerat kabar) jaitoe fehaknja Pemerentah dan fehaknja ra'jat. Tida djarang lagi kalau pada itoe waktoe Pemerentah Inggris memberi bantoean beberapa soerat kabar jang terbit di Zuid Afrika, soepaja soerat-soerat kabar itoe bisa memehak kepada Pemerentah Inggris. Barangkali Pemerentah sendiri djoega membikin soerat kabar, sengadja diboeat melawan soeara ra'jat, inilah soedah boleh ditentoekan. Toean pembatja kami kira bisa mengira sendiri, seberapa beratkah pikoelan Redacteur-Redacteur itoe jang memehak kepada ra'jat di dalam itoe djaman peperangan soeara di Zuid Afrika? Walaupoen begitoe, banjak anak anak moeda jang dengan soekanja sendiri toeroet membantoe itoe soerat kabarnja ra'jat, meskipoen dia tahoe djoega, bahwa bantoeannja itoe hanja kekoeatan jang ketjil sekali. Tetapi kekoeatan ketjil itoe kalau bertimboen-timboen djadi kekoeatan jang besar!
Apakah sebabnja itoe peperangan? begitoe barangkali seorang toean pembatja bertanja. Ja, tidak lain itoe peperangan djoega reboetan makan, hidoep, kekajaan, kemanoesiaan enz. enz, adapoen jang membikin besar itoe peperangan, sebab reboetan parit mas (goudmijmen). Itoe waktoe banjak bangsa Inggris jang lebih soeka memehak kepada bangsa Belanda (boeren), kerna berboeatan Inggris itoe masa dipandang tidak adil oleh bangsanja sendiri. Begitoe djoega waktoe petjah perang, banjak bangsa Inggris jang toeroet perang mati matian memehak kepada booren. Begitoelah orang jang tebal kemanoesiaannja, dia tidak pandang bangsa, tetapi memandang kebaikan dan kedjahatan! Meskipoen bangsa sendiri kalau soedah terang djahat djoega dibinasakan, begitoe sebaliknja. Tidak sadja pada itoe waktoe bangsa Inggris sama melawan bangsanja sendiri, tetapi bangsa Duitsch dan Franch djoega ada jang membalas kepada orang Belanda (boeren).
Sekarang kami hendak membitjarakan tentang peperangan soeara ditanah kita Hindia jang seperti djemeroetini. Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini achirnja djoega seperti peperangan mentjari makan di Zuid Afrika? Inilah misih djadi pertanjaan jang tidak moedah didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita anak Hindia jang lebih soeka memehak kaoem oeang dari pada memehak bangsanja jang soedah tertindas setengah mati, maar … djangan poetoes pengharapan pembatja! Disini ada banjak sekali anak-anak moeda jang berani membela kepada rajat, dan kalau perloe sampe berbatas jang penghabisan. Dari itoe kita orang tidak oesah takoet dengan bangsa kita makhloek jang lidahnja pandjang, lidah mana jang hanja, perloe diboeat mendjilat makanan jang tidak banjak, dan dia bekerdja diboeat masin melawan bangsanja sensiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan. Bangsa apakah orang sematjam ini?! Itoelah toean pembatja bisa kasih nama sendiri! Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak saban orang bisa mendjawab itoe pertanjaan: Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang dibantoe oleh kaoem oeang, soepaja itoe soerat kabar bisa melawan soerat kabarnja rajat? Ada! Tetapi nama soerat kabar itoe pembatja bisa mentjari sendiri.
Dari itoe saudara-saudara dan sekalian pembatja, soenggoehpoen berat sekali kita bertandingan boeat menghela bangsa kita jang amat tertindas, sebab ketjoeali kita mesti berani bertanding dengan kaoem oeang, dengan bangsa kita sendiri jang lidahnja pandjang. Djadi sesoenggoehnja pada ini waktoe kita orang tidak bisa tjoema memegangi kebangsa'an (nationalisme sadja, sebab bangsa kita masih ada jang djadi berkakas, melawan kepad kita sendiri. Djadi seharoesnja kita djoega mesti mempoenjai hati kemanoesia'an (socialisme). Ingatlah siapa jang menindas kita? …………….. tetapi ………………
Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, djanganlah soeka membatja sembarang soerat kabar, pilihlah soerat kabar jang betoel-betoel memihak kepada kamoeorang, tetapi jang tidak memihak kepada kaoem oeang Sebab kalau tidak begitoe, soedah boleh ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan terdjeroemoes di dalam lobang kesengsara'an jang amat hina sekali.
Achir kalam, kami berkata; NGANDEL, KENDEL, BANDEL, itoelah gambar hatinja manoesia jang tidak memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang amat tadjam, dan kalau perloe ………