Senin, 07 Februari 2011

Otonomi Daerah: Menuju Pendekatan Budaya Lokal


Oleh Taufik Arbain, S Sos
Tuntutan otonomi di republik ini dalam konteks global berlangsung dinamis. Daerah-daerah tidak sabar lagi implementasi konsepsi otonomi daerah segera diwujudkan, terlebih bagi daerah Aceh, Riau dan Papua meminta perlakuan yang privilage. Sebaliknya diskursus "kekhawatiran" sebagian pihak cukup menyelimuti jika implementasi otonomi ini diwujudkan sehingga tarik-menarik yang begitu hebat menyebabkan suasana yang ada kian memposisikan daerah kurang menyedapkan.
Diskursus tentang otonomi di daerah ini nampaknya terfokus pada dua persoalan yakni aspek yang menyangkut sharing of power (pembagian kekuasaan) dan sharing of profit (pembagian keuangan). Hal ini bisa dipahami, sebab persoalan-persoalan daerah yang cukup fundamental untuk diperjuangkan adalah aspek-aspek politik dan ekonomi yang berdimensi kasat mata. Tuntutan pemerataan dan kewenangan pelaksanaan politik orang-orang daerah selama ini memang merasa didikte oleh kekuasaan pusat, sehingga tuntutan desentralisasi kekuasaan sebagai akibat dari mulai tumbuhnya kesadaran pemerintah daerah akan sumber-sumber daya yang ada merupakan pembuka jalan bagi kebebasan dalam memainkan peran-peran daerah lebih dinamis guna mengejar ketertinggalan pembangunan.
Isu Krusial
Pemahaman penulis akan makna otonomi tidak sekadar adanya pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonomi, tetapi bagaimana merubah sikap yang terlanjur feodalistis. Dengan bahasa lain, pemerintah daerah tidak perlu "takut" untuk vis-a-vis terhadap pemerintah pusat selama persoalan yang dihadapi daerah masih dalam koridor dan kewenangan dalam Undang-undang No 22 Tahun 1999. Paling tidak adanya kesempatan kepada daerah untuk mengembalikan hak-hak daerah termasuk hak-hak budaya untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah dipelbagai bidang bukan tidak mungkin daerah harus merestrukturisasi kebijakan-kebijakan yang ada. Sebab dalam UU Otonomi ada sinyal-sinyal yang melegitimasi ke arah itu. Di sinilah secara teknis produk perundang-undangan tersebut perlu dikaji mendalam oleh masing-masing lembaga legislatif dan eksekutif daerah otonom.
Diktum-diktum dan penjelasan dalam pasal-pasal UU No 22 Tahun 1999 terdapat patokan baru yang cukup memberikan makna dalam mengelola rumah tangga daerah secara demokratis. Paradigma yang dikembangkan dalam undang-undang tersebut, bahwa kebijakan-kebijakan yang akan dibuat mesti memperhatikan keragaman daerah yang berarti memperhatikan kondisi daerah yang berbeda adat-istiadat.
Gagasan pemberlakuan otonomi daerah yang berdimensi pendekatan budaya lokal (berbasis daerah) inilah yang ingin kita ketengahkan dalam kerangka menggali kekayaan budaya daerah. Alasan yang kita kemukakan, sekali lagi bahwa kita jangan berkutat pada pemahaman pembagian kekuasaan dan keuangan semata, tetapi bagaimana pemahaman itu menjadi formula kebijakan (policy formula) yang mengedepankan pada aspek pendekatan-pendekatan lokalitas/kultural. Aspek pendekatan kultural/lokalitas ini menjadi acuan bagaimana pemerintah daerah lewat out put yang dihasilkan menjadi sebuah kebijakan justru menghargai adat-istiadat dan budaya di mana kebijakan itu diterapkan.
Fakta-fakta kebijakan masa lalu tidak mencerminkan penghargaan terhadap hak-hak adat daerah, sentralistik dan serba atas nama keseragaman padahal pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya cukup memberikan ruang bagi kelestarian budaya daerah. Undang-undang No 5 Tahun 1979 tentang Sistem Pemerintahan Desa merupakan sebuah kenyataan atas nama keseragaman di mana nama "kampung", "nagari", "negeri", "huta", "bori", "marga", "lebo", pupus diganti dengan sebutan "desa" beserta pranata-pranata sosial. Sebenarnya banyak yang tidak nyaman dengan suasana seperti ini, karena dalam kenyataannya terjadi "penggusuran" nilai-nilai budaya lokal atas nama integrasi bangsa.
Menguatnya identitas komunal dan tuntutan orang-orang daerah secara resmi dan terbuka menentang perlakuan sentralistik, karena selama republik ini merdeka tidak memberikan banyak pemerataan pembangunan dalam berbagai aspek, baik aspek politik, ekonomi, hukum dan budaya. Fakta-fakta penguat akan hegemonik budaya tertentu (Jawa) bisa dilihat dari menebarnya baik secara implisit maupun eksplisit pada pasal-pasal produk perundang-undangan, pendekatan pembangunan termasuk dalam tatanan konsepsi dan wacana.
Kasus yang bisa kita saksikan dalam dunia pendidikan khususnya pada mata pelajaran sejarah, anak-anak didik termasuk mahasiswa lebih pandai menjawab ketika ada pertanyaan siapakah Raja Mataram. Tetapi sangat ironis ketika ditanyakan siapakah tokoh Dayak Siang yang membantu Pangeran Antasari ketika melawan Belanda, atau siapakah putri Junjung Buih ? Kasus serupa yang tidak kalah pentingnya untuk diungkap ketika pemberian pada nama tempat seperti, kantor pemerintah, jembatan dan jalan-jalan utama yang terkadang tidak melihat dari aspek lokalitas. Dalam bahasa ekstrem pemeberian nama tempat atau jalan seakan-akan nilai heroik orang daerah khususnya Kalsel tidak ada artinya dalam merebut kemerdekaan republik ini.
Kembali Istilah Kampung
Menggunakan istilah Eep Syaiffullah Fatah, bahwa otonomi daerah bisa dikatakan sebagai "federasi malu-malu". Alasannya diktum dalam pasal-pasal cukup memberikan keleluasaan pada daerah-daerah untuk mengatur daerahnya beserta perangkat hukum dan pelestarian hak-hak budayanya. Hanya saja faktor-faktor sebutan federalis akan mengundang kontra produktif.
Pelestarian hak-hak budaya dalam rangka otonomi, dati II di Kalimantan Selatan bisa menerapkan atau mengganti peraturan UU No 5 Tahun 1979 dengan perangkat baru UU No 22 tahun 1999, Bab XI pasal 93 (1), "Desa dapat dibentuk, dihapus dan atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD". Pasal 95 (1), "Pemerintah Desa terdiri atas kepala desa atau disebut dengan nama lain dan perangkat desa". Dalam penjelasannya pada pasal-pasal tersebut bahwa penyebutan/istilah disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, termasuk sebutan kepala desa. Jadi Dati-dati II di Kalimantan Selatan bisa menerapkan kembali istilah "desa" menjadi "kampung" dan "kepala kampung" dengan sebutan "pambakal".
Pengembalian sebutan/istilah ini memberikan dampak psikologis masyarakat Kalimantan Selatan sebagai pemilik istilah yang telah ada sejak zaman Raja-raja Banjar, bahkan Dayak Ma’anyan menyebut kepala kampung dengan istilah "pembakal" (Alfred D Hudson, 1963). Sejarah Kampung/Pembakal sudah lama berkesan dalam masyarakat hingga istilah ini digunakan dalam bahasa Undang-undang Sultan Adam Al-wasik Billah Tahun 1835 salah satunya : "Siapa-siapa jang hendak nikah kepada hakim koesoeroeh orang jang terlebih adil di dalam kampoeng itoe membawanja kepada hakim sekoerang-koerangnya doea oerang lamoen kadada seperti itoe djangan dinikahakan" (perkara:4).
Pengembalian istilah ini bukannya kita menciptakan ego sektoral, tetapi memang karena adanya legitimasi yang menjamin ke arah itu dan sesuai tuntutan rakyat selama ini yang menginginkan kelestarian budayanya, di samping memperkaya khazanah budaya Indonesia secara utuh dan asli. Dengan bahasa lain penghargaan terhadap budaya daerah diharapkan tidak sekadar pada tampilan pagelaran, hiburan, upacara ritual, tetapi budaya itu masuk dalam sistem pemerintahan daerah setempat (public policy).
Untuk Kab Banjar Dan Kab HSU
Selain persoalan produk peraturan daerah yang berdimensi politik dan ekonomi, Kabupaten Banjar dengan memperhatikan faktor-faktor kultural bisa menerapkan pengistilahan yang lebih ke depan selain pengistilahan "kampung" menggantikan istilah "desa".
Selama ini Martapura dijuluki sebagai Kota Serambi Mekah yang dikuatkan oleh faktor-faktor pendukung seperti banyaknya ulama dan santri, tempat-tempat ibadah Islam, pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, kumpulan pengajian, hubungan sosial kemasyarakatan, ketaatan mengamalkan ajaran Islam, dan tempat acuan ummat di kabupaten-kabupaten lain dalam hal ihwal ajaran Islam. Di daerah ini pula tempat domisili dan makam ulama besar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dan tempat berdirinya keraton Kerajaan Banjar.
Dalam menyongsong otonomi ini, satu gagasan strategis yang bisa kita kembangkan untuk memperkokoh Kota Martapura sebagai Serambi Mekah perlu dilegalkan dalam peraturan daerah (Perda) yakni sebutan Kota Martapura menjadi "Martapura Darussalam". Kemudian di tiap-tiap kecamatan disebut semisal, Kecamatan "Karang Intan Darul Ehsan", Kecamatan "Astambul Darul Aman", Kecamatan "Sungai Tabuk Darul Rahman" dan seterusnya, disesuaikan dengan keinginan masyarakat yang mendiami wilayah kecamatan tersebut.
Secara teknis perlu ada juklak yang mengatur berkaitan dengan pensosialisasian istilah itu, termasuk proyek-proyek pembangunan pemerintah, pintu gerbang Selamat Datang, marka jalan, bangunan swasta. Dari segi arsitektur bernuansa Islami dan Dayak/lokal (lihat: Kawasan Pertokoan Cahaya Bumi Selamat). Tulisan nama pertokoan, kantor dan plang nama jalan menggunakan kombinasi hurup Arab Melayu (Arab gundul) dan hurup latin.
Istilah/sebutan ini perlu disosialisasikan tidak sekadar dalam bangunan fisik, tetapi dalam bahasa lisan atau tulisan. Gagasan ini pun layak untuk dikembangkan di "Amuntai Daruttaqwa" hingga di tiap kecamatan, karena kabupaten itu juga memiliki faktor-faktor pendukung yang kurang lebih sama.
Apa yang kita gagas ini sebenarnya mengadopsi rancang kebijakan di beberapa negara bagian Malaysia seperti Johor, Kedah Perak termasuk negara Brunei Darussalam. Pengidentifikasian yang berpijak pada norma dan adat tradisi mencerminkan identitas dan marwah daerah. John L Esposito dalam Demokrasi di Negara-negara Muslim: 1996 memberikan gambaran bahwa secara tradisional di negara-negara bagian Melayu, seluruh aspek pemerintah jika tidak diambil langsung dari sumber dan prinsip keagamaan, diliputi oleh aura kesucian agama. Unsur identitas ini memberikan kesadaran tentang agama, nilai-nilai tradisional, kehidupan pedesaan dan kehidupan keluarga. Penduduknya mampu menjaga dan melestarikan budaya dan tradisinya.
Taufik Arbain, S Sos, Staf aktivis Center for Regional Development Studies Borneo Selatan

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan