Sabtu, 05 Februari 2011

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMENUHAN HAK ATAS PENDIDIKAN SEBAGAI TITIK TOLAK PEMBANGUNAN DAERAH


Pendidikan adalah hak asasi manusia yang sekaligus sarana untuk merealisasikan HAM lainnya. Pendidikan adalah sarana utama dimana orang dewasa dan anak-anak yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial dapat mengangkat dirinya keluar dari kemiskinan serta memperoleh cara untuk turut terlibat dalam komunitasnya. Pendidikan juga berperan penting dalam rangka memberdayakan perempuan, melindungi anak-anak dari eksploitasi kerja dan seksual, dan mempromosikan HAM dan demokrasi.
Dalam perspektif hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, negara berkewajiban memenuhi dan menghormati HAM, termasuk hak atas pendidikan. Kegagalan melaksanakan kewajiban ini merupakan pelanggaran HAM. Kewajiban untuk menghormati mengharuskan negara menahan diri untuk tidak campur tangan dalam hal dinikmatinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya; dan kewajiban untuk memenuhi mengharuskan negara mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, alokasi anggaran, hukum dan semua tindakan lain yang memadai guna melaksanakan sepenuhnya semua hak tersebut.
Komitmen bangsa Indonesia terhadap pendidikan dengan sangat jelas tercermin pada konstitusi negara, UUD 45, khususnya Pasal 31, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan (Ayat 1) dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya (Ayat 2). Skema pembiayaan pendidikan oleh pemerintah tersebut diatur pada ayat 4 yang berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Lalu, pada ayat 5 juga ditegaskan bahwa pemerintah harus memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Landasan konstitusional komitmen pendidikan inilah yang membuka peluang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia untuk berbuat yang terbaik bagi sistem pendidikan nasionalnya melalui berbagai kebijakan dalam bidang pemerintahan dan pembangunan, termasuk kebijakan otonomi daerah.
Kebijakan Otda memang merupakan bagian integral dari program reformasi sistem pemerintahan dan pembangunan secara menyeluruh, tetapi pendidikan adalah salah satu aspek yang mendapat perhatian sangat besar di dalamnya. Bidang pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah, adalah salah satu bidang yang diotonomikan kepada pemerintah daerah sehingga kebijakan Otda tidak hanya menjadi titik tolak reformasi bidang sosial dan politik, tetapi juga menjadi titik tolak reformasi sistem pendidikan nasional. Tokoh-tokoh reformasi telah menjadikan kebijakan Otda sebagai titik tolak bagi bangsa Indonesia untuk membangkitkan kembali kesadaran bangsa ini akan arti penting pendidikan bagi upaya membangun tatanan kehidupan bangsa yang lebih bermutu, demokratis, dan berdaulat agar dapat merespons tiga isu utama yang dihadapi oleh bangsa ini dalam memasuki abad dua puluh satu, yaitu meningkatkan keamanan nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memberdayakan pendidikan sebagai komponen krusial dalam pembangunan sumber daya manusia.
Ada tiga faktor utama yang menghambat upaya rekonstruksi kultural dan renovasi sistem pendidikan nasional sesudah proklamasi kemerdekaan.
1. Lambatnya kegiatan memodernisasi sistem politik untuk menjadi lebih dewasa dan otonom. Sistem politik ini menentukan sangat lambatnya corak kebijakan pendidikan yang cocok bagi bangsa kita yang baru mencapai kemerdekaan.
2. Sulitnya mengubah mental kebanyakan pemimpin kita yang lama mengalami proses penindasan dan tekanan di zaman kolonial. Yaitu dari kebiasaan bergantung/dependensi, diserai kompleks minder dan keraguan, kecemasan dan ketakutan akan kemerdekaan diri sendiri.
3. Sulitnya membangkitkan élan perjuangan penuh vitalitas dan daya kreatif massa rakyat guna membangun, disebabkan oleh pengalaman historis di masa lampau dan sekarang (misalnya oleh kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan; apatisme, kurang percaya diri, skeptisisme, fatalisme, sikap kurang percaya pada banyak pemimpin, dan lain-lain).
Semua harapan, tujuan, dan target pembangunan pendidikan di era otonom daerah diharapkan terwujud melalui empat strategi pokok pembangunan pendidikan nasional sebagaimana diuraikan satu per satu berikut ini.
Strategi pertama adalah peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan. Semua warga negara Republik Indonesia diberi akses pendidikan yang sama, apa pun tingkat ekonomi mereka, di mana pun tempat tinggal mereka, dan apa pun latar belakang sosial mereka.
Strategi kedua adalah peningkatan relevansi pendidikan dengan pembangunan. Salah satu konsep yang digunakan dalam penetapan strategi ini adalah konsep link and match (keterkaitan dan kesepadanan) antara materi ajar (curriculum content) dengan kebutuhan di lapangan (job market). Penerapan konsep link and match diharapkan dapat melahirkan para lulusan yang memiliki jenis ketrampilan yang benar-benar dibutuhkan oleh dunia kerja sehingga ketika lulus mereka “siap bekerja”. Namun, ada kecenderungan dikalangan praktisi pendidikan untuk memahami bahwa yang dibutuhkan oleh para lulusan pendidikan adalah ketrampilan kerja. Semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan diarahkan pada upaya pemberian ketrampilan kerja kepada peserta didik, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada aspek-aspek non ketrampilan, seperti kepribadian dan etika. Akibatnya, banyak para lulusan tersebut terampil bekerja, tetapi kurang memiliki kepribadian dan sikap yang diperlukan untuk sukses bekerja. Banyak di antara mereka yang sangat terampil dan penuh Dedikasi dalam bekerja, tetapi kurang memiliki moralitas kerja yang baik.
Strategi ketiga adalah peningkatan kualitas pendidikan. Penerapan strategi ini dimulai pada jenjang sekolah dasar, yaitu dengan mengembangkan Sistem Pembinaan Profesional (SPP) dengan pendekatan gugus sekolah. Tiga hingga delapan sekolah dasar yang lokasinya berdekatan dikelompokkan dalam satu gugus, lalu salah satu sekolah ditunjuk sebagai sekolah inti dan yang lainnya menjadi sekolah imbas.
Strategi keempat adalah peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan. Hingga tahun 1998 atau saat runtuhnya rezim orde baru, program pembangunan pendidikan lebih terfokus pada aspek kuantitas. Pada era otonomi daerah, program-program pembangunan pendidikan sudah mulai terfokus pada aspek kualitas, relevansi, dan efisiensi, dengan tetap memperhatikan aspek kuantitas. Lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi didorong untuk mengembangkan program-programnya secara sangat efisien.
Sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi, berbagai kebijakan pengelolaan pendidikan di era Otda menekankan sinergi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Keduanya berkewajiban “mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku” (Pasal 10 UU Nomor 20 Tahun 2003); “memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi” (Pasal 11 ayat 1); “menjamin tersedianya dana guna Terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun” (Pasal 11 ayat 2); ”memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin Terselenggaranya pendidikan yang bermutu” (Pasal 41 ayat 3); “menjamin Terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Pasal 34 ayat 2); “membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah (Pasal 44 ayat 1); dan ”membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (Pasal 44 ayat 3).
Kebijakan pada era Otda juga menekankan pentingnya domain lokal dalam pengembangan program-program pendidikan. Ditegaskan pada Pasal 50ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa “pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengolah satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal”. Sejalan dengan kewajiban ini, pemerintah dan pemerintah daerah diharapkan dapat bersinergi dalam melengkapi sarana dan prasarana pendidikan dan mengembangkan budaya ilmu pengetahuan di daerah. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu pengetahuan dan Teknologi, bahwa “pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dapat membangun kawasan, pusat peragaan, serta sarana dan prasarana ilmu pengetahuan dan teknologi lain untuk memfasilitasi kinerja dan pertumbuhan unsur-unsur kelembagaan dan menumbuhkan budaya ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan masyarakat” (Pasal 14). Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan berperan sebagai motivator, stimulator, dan fasilitator perkembangan ilmu pengetahuan di daerah. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 menegaskan sebagai berikut :”Pemerintah daerah berfungsi menumbuhkembangkan motivasi, memberikan stimulasi dan fasilitas, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan serta sinergi unsur kelembagaan, sumber daya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi di wilayah pemerintahannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” .
Peran dan fungsi pemerintah daerah dalam membangun keunggulan lokal dalam dunia pendidikan dan mengembangkan budaya ilmu pengetahuan di daerah benar-benar diperluas. Pemerintah daerah “wajib merumuskan prioritas serta kerangka kebijakan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang dituangkan sebagai kebijakan strategis pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya” (Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2002). Pemerintah daerah “harus mempertimbangkan masukan dan pandangan yang diberikan oleh unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi” serta “membentuk Dewan Riset yang beranggotakan masyarakat dari unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi di daerahnya” (Pasal 20 UU Nomor 18 Tahun 2002). Berbagai kewajiban pemerintah daerah tersebut juga dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa salah satu urusan wajib pemerintah provinsi adalah “penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial” (Pasal 13) dan salah satu urusan wajib pemerintah kabupaten dan kota adalah “Penyelenggaraan pendidikan” (Pasal 14).
Pemerintah Daerah sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap pembangunan di daerahnya memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat khususnya masyarakat di daerahnya.
Dengan tercapainya tingkat pandidikan yang tinggi di suatu daerah akan berimplikasi pada berkembangnya pembangunan di daerah tersebut. Hal ini dikarenakan bahwa dengan dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan berjalan searah dengan tingginya sumberdaya manusia di daerah tersebut. Karena dalam hal ini dalam pembangunan selain sumber daya alam diperlukan juga sumber daya manusia yang tinggi.
Pembangunan di daerah merupakan tanggung jawab masyarakat di daerahnya baik dengan mengelola sumber daya alam maupun meningkatkan sumberdaya manusia, dalam hal ini melalui pendidikan. Semua ini akan dapat tercapai ketika pemerintah daerah sebagai lembaga yang berwenang menyelenggarakan rumah tangga daerahnya memiliki tanggung jawab yang tinggi dalam hal peningkatan kualitas sumberdaya manusia melalui pendidikan. Untuk itu pemerintah daerah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan