PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT ADAT DALAM FORMULASI KEBIJAKAN
(Deskripsi tentang Partisipasi Politik Masyarakat Kampung Kuta dalam Formulasi Kebijakan di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis)
Akhmad Satori
Taufik Nurohman
Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi Tasikmalaya
Abstrak
Partisipas Politik secara aktif dalam pembuatan kebijakan menjadi syarat mutlak, karena partisipasi itu akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi partisipasi politik masyarakat adat Kampung Kuta dalam formulasi kebijakan publik di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis.
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Kualitatif Deskriftif. Dalam penelitian ini tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (Indeepth Interview), observasi langsung dan dokumentasi, tekhnik purposive sampling adalah tehnik yang digunakan untuk pengambilan sampel. Analisis data menggunakan metode analisis interaktif dan validitas data yang dipakai adalah tekhnik triangulasi data.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ,Partisipasi politik yang berkembang dalam masyarakat adat Kampung Kuta dalam formulasi kebijakan bisa di lihat dalam dua proses. Pertama, partisipasi politik dalam proses kebijakan di internal komunitas adat, dan Kedua, partisipasi politik dalam proses formulasi kebijakan di tingkat desa.
Partisipasi politik dalam komunitas adat, lebih bersifat tertutup dengan model elitis, Kuncen sangat berperan dalam menentukan kebijakan, sedangkan dalam akses perencanaan, control kebijakan adat masyarakat tidak terlibat sama sekali, hal ini di karenakan kekuatan tradisi yang memposisikan kuncen sebagai aktor utama yang mengeluarkan kebijakan adat. Sedangkan partisipasi politik dalam tahapan atau proses formulasi kebijakan tingkat di Desa Karangpaninggal sudah berjalan dengan dengan mengikuti nilai-nilai yang demokratis. Artinya dalam proses ini ruang partisipasi politik masyarakat terbuka luas.. Namun demikian ruang untuk perpartisipasi tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sumber daya manusia dan tingkat pemahaman mengenai partisitisipasi politik yang rendah.
Kata Kunci : Partisipas Politik, Masyarakat Adat, Formulasi Kebijakan.
Abstract
Political participation is the participation of society or certain parties in political activities. And when politics is defined as a policy and when we associate with public participation then we will arrive at how public participation in making a policy. Politics Partisipas actively in policy-making becomes an absolute requirement, since participation would give birth control community over the course of government. This study aimed to describe the political participation of indigenous village of Kuta in public policy formulation in the Village District Karangpaningal Tambaksari Ciamis district.
Research method used is descriptive qualitative method. In this study the techniques of data collection was done by in-depth interviews (Indeepth Interview), direct observation and documentation, purposive sampling technique is a technique used for sampling. Data analysis using the method of interactive analysis and validity of data used is the technique of data triangulation.
The results of this study show that, this result shows that the growing political participation of indigenous peoples in the village of Kuta in policy formulation can be viewed in two processes. First, political participation in the process of internal policies in indigenous communities, and second, political participation in policy formulation processes at the village level.
Political participation in indigenous communities, are more closed to the elitist model, Kuncen was instrumental in setting policy, while in access planning, policy control indigenous communities are not involved at all, it is in because of the strength of tradition Kuncen positioned as the main actor who issued the customary policy . While political participation in policy formulation process stages or levels in the Village Karangpaninggal already running with the following democratic values. This means that in this process of political participation open space area .. However, space for perpartisipasi is not utilized optimally. This is because the human resources and the level of understanding of the political partisitisipasi low.
Key Word : Political participation, Indigenous People, Publick Policy Formulation
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menggerakkan partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat berperan lebih besar dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen pembangunan untuk membimbing, menggerakkan, dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Upaya itu dilakukan melalui kebijakan, peraturan, serta kegiatan pembangunan pemerintah yang diarahkan untuk menunjang, merangsang, dan membuka jalan bagi kegiatan pembangunan masyarakat.
Partisipasi masyarakat yang dimaksud disini tidak hanya dalam arti partiasipasi yang berbentuk partisipasi dalam pembangunan secara fisik, tetapi juga partisipasi dalam pembangunan politik. Partisipasi dalam arti ini dapat kita artikan sebagai partisipasi politik. Dimana partisipasi politik adalah keikutsertaan masyarakat atau pihak-pihak tertentu dalam kegiatan-kegiatan politik. Ketika politik diartikan sebagai policy dan ketika kita kaitkan dengan partisipasi masyarakat maka kita akan sampai pada bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembuatan suatu kebijakan?
Dalam rangka pembangunan politik kearah yang lebih demokratis, partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik akan menjadi suatu keharusan. Dalam memahami partisipasi politik terdapat dua konsep yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok secara struktural fungsional. Pertama, warganegara dengan fungsi pemerintahan dan wewenang untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan public (public policy) yang bersifat autoritatif. Kedua, warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan tuntutan atau dukungan terhadap aktor politik tipe pertama. Termasuk dalam pengertian tuntutan dan dukungan tersebut adalah mengajukan aspirasi dan kepentingan berupa materi, hukum (G. Almond, 1965) mengajukan alternative kebijakan. Dari pengkotakan seperti ini dapat didefinisikan dan dibatasi bahwa partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warganegara preman (private citizen) bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan politik (Huntington dan Nelson, 1990: 6).
Dari konsep tersebut penelitian ini kemudian diarahkan untuk menganalisis partisipasi politik masyarakat Kampung Kuta yang menjadi bagian dari golongan masyarakat kedua yakni golongan warga negara tanpa fungsi pemerintahan tetapi mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan khususnya kebijakan di tingkat desa.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sudut pandang politik dan hukum, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini, desa bisa kita pilah, dalam beberapa unsur penting : (1) adanya orang-orang atau kelompok orang; (2) adanya pihak-pihak yang menjadi penguasa atau pemimpin (pengambil keputusan); (3) adanya organisasi (badan) penyelenggara kekuasaan; (4) adanya tempat, atau wilayah yang menjadi teritori penyelenggaraan kekuasaan; (5) adanya mekanisme, atat aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan (Team Work Lapera, 2001: 5).
Di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari terdapat suatu komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat setempat. Masyarakat sekitar menyebut komunitas masyarakat ini dengan sebutan masyarakat Kampung Kuta. Perilaku masyarakat kampung Kuta tidak ubahnya seperti perilaku yang ditunjukan oleh masyarakat badui yang ada di Banten dan Kampung Naga yang ada di Garut. Mereka sama-sama memegang teguh adat istiadat. Disini pengaruh-pengaruh dari luar mengalami hambatan untuk masuk ke dalam kehidupan mereka.
Karena Kampung Kuta ini termasuk di wilayah hukum dan wilayah administratif Desa Karangpaningal, maka bagaimana pun kondisi sosial politik dari masyarakat Kampung Kuta tetap harus tunduk pada kebijakan-kebijakan yang ada di Desa Karangpaningal, bahkan ketika pemerintah desa akan mengeluarkan kebijakan, masyarakat Kampung Kuta pun seyogyanya dilibatkan.
Dalam pembuatan suatu kebijakan baik itu dalam tataran nasional maupun lokal atau bahkan sampai tingkat desa, setiap elemen masyarakat harus dilibatkan. Hal ini penting untuk perkembangan demokrasi di negara ini. Ketika kondisi dalam pembuatan kebijakan ini menunjukan gambaran yang sebaliknya, maka dapat dipastikan produk kebijakan publik yang dihasilkan adalah kebijakan yang elitis yang pada umumnya hanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan elit peguasa atau bahkan harus sampai mengorbankan kepentingan-kepentingan rakyat.
Dari latar belakang permasalahan diatas maka permasalahan yang akan dibahas, yaitu : Bagaimana partisipasi politik masyarakat Kampung Kuta dalam proses Formulasi kebijakan desa?
1. Partisipasi Politik
Sebenarnya konsep partisipasi politik hampir tidak dapat dipisahkan secara tegas namun untuk menghindari salah pemahaman dan untuk keperluan analisis hal tersebut harus dilakukan. Perbedaan antara kedua konsep ini berangkat dari anggapan bahwa dalam kehidupan bernegara masyarakat terbagi menjadi dua kelaompok secara struktural fungsional. Pertama, warganegara dengan fungsi pemerintahan dan wewenang untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan public (public policy) yang bersifat autoritatif. Kedua, warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan tuntutan atau dukungan terhadap aktor politik tipe pertama. Termasuk dalam pengertian tuntutan dan dukungan tersebut adalah mengajukan aspirasi dan kepentingan berupa materi, hukum (G. Almond, 1965) mengajukan alternative kebijakan. Dari pengkotakan seperti ini dapat didefinisikan dan dibatasi bahwa partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warganegara preman (private citizen) bertujuan mempengaruhi pegambilan keputusan politik (Huntington dan Nelson, 1990: 6). Istilah warganegara preman digunakan untuk menggantikan warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan.
2. Formulasi Kebijakan
Seperti wajarnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik ini pun realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan. Oleh karenanya, apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan dating. Lalu apa yang dimaksud dengan formulasi kebijakan itu?
Lindblom (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:16) mendefinisikan formulasi kebijakan publik (public policy making) sebagai berikut:
“An extremely complex, analytical and political process to which there is no beginning or end the boundaries of which are most uncertain. Somehow a complex set fo forces that we call policy-making all taken together, produces effect called policies”. (merupakan proses politik yang amat kompleks dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya dan batas dari proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti, serangkaian kekuatan yang agak kompleks itu kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan)
Dalam prosesnya banyak ahli yang merumuskan secara berbeda salah satunya adalah Udoji, seorang pakar kebijakan publik (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:17) merumuskan formulasi kebijakan ini sebagai berikut:
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solution into political demands, chanelling those demands into political system, seeking sanction or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”. (keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengaturan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Winarno (2002:80-84) membagi tahapan Formulasi kebijakan publik menjadi empat tahap, yaitu: perumusan masalah, (defining problem), agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah dan tahap penetapan kebijakan.
Perumusan Masalah
Agenda Kebijakan
Pemilihan Alternatif Kebijakan
Partisipasi Politik Masyarakat dalam Kebijakan Publik
Partisipasi Masyarakat dalam kebijakan publik memiliki 4 konsep pengertian, yakni:
Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal
Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal
Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publikbarang – barang publik
Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
C. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Kualitatif Deskriftif. Dalam penelitian ini tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (Indeepth Interview), observasi langsung dan dokumentasi, tekhnik purposive sampling adalah tehnik yang digunakan untuk pengambilan sampel. Analisis data menggunakan metode analisis interaktif dan validitas data yang dipakai adalah tekhnik triangulasi data.
Tabel 1. Nama-Nama Informan Kunci
No Nama Informan Peran dalam Kemasyarakatan Adat Kuta Peran dalam Pemerintahan
1. Karman Ketua Adat -
2. Warsim Setiawan Tokoh Masyarakat Perangkat Desa
3. Sanmarno Sesepuh Adat/Wk. Ket -
4. Raswan Tokoh Masyarakat Ketua RW
5. Cartim Heryana - Sekdes Karangpaningal
6. Deni, S.IP - KaBid Kebudayaan Disbudpar Kab. Ciamis
7. Eman Hermansyah, A.Md - Kasi Sejarah dan Purbakala Ciamis
8. Mukti Harta, SE - Ka Bag. Pemetaan tanah, Dis Hut. Kab Ciamis
Partisipasi politik warga masyarakat adalah salah satu prinsip dasar dan sekaligus kunci yang wajib dipegang dalam masyarakat demokrasi. Partisipasi politik masyarakat merupakan suatu bentuk kegiatan yang bersifat empirik, bukan semata sikap atau kecenderungan warga negara biasa yang bermain dalam wilayah pemerintahan yang bertujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan (decision making). Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses politik menjadi syarat mutlak, karena partisipasi itu akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan.
Untuk melihat sejauhmana keterlibatan masyarakat adat dalam kebijakan publik, tentu saja harus melihat pola-pola partisipasi seperti apa yang digunakan masyarakat dalam kebijakan publik. Sutoro Eko (2006) membagi paling tidak ada empat pola partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat, yakni: Pertama, Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal; kedua, Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal. Ketiga, Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publik barang – barang publik, Keempat, Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
Dari hasil temuan dilapangan, setidaknya ada sepuluh aspek mengenai partisipasi politik masyarakat kampung kuta bahwa pemahaman pemerintah desa dan masyarakat adat mengenai partisipasi tidak jauh berbeda, pemerintah desa memiliki sudut pandang yang hampir sama dengan masyarakat adat. Aparat pemerintah desa memahami partisipasi sebagai keterlibatan warga masyarakat dalam setiap pembangunan baik dari desa dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Adapun makna keterlibatan disini lebih diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam menjalankan program-program pembangunan dari pemerintah secara fisik. Begitu pula dengan pemahaman masyarakat adat, mereka hanya menganggap bahwa partisipasi adalah keikuti sertaan dalam gotong royong dalam ataupun dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak.
Kedua pihak ini, membedakan pengertian dari partisipasi dan partisipasi politik, anggapan bahwa partisipasi politik hanya dimaknai sebagai keterlibatan warga masyarakat dalam kegiatan pemilihan umum, baik dalam kampanye maupun dalam memberikan hak suaranya sudah sangat umum dipahami oleh masyarakat Kampung Kuta, begitu juga dengan aparat pemerintah desa, meskipun memahami bahwa partisipasi politik membutuhkan keterlibatan aktif dalam bidang politik, namun tetap menyebutkan kegiatan pemilihan umum sebagai bentuk dari partisipasi politik.
Meskipun tidak bisa secara jelas dikatakan sebagai partisipasi tidak aktif, dari pemahaman mengenai partisipasi politik masyarakat Kuta bisa di kategorikan dengan apa yang disebut oleh Lester W. Milbrath (1960) sebagai partisipasi spectator, yakni partisipasi yang setidak-tidaknya hanya dilakukan dengan memberikan suara dalam pemilihan umum atau yang lebih dikenal sebagai partisipasi pasif. Partisipasi pasif ini bisa dilihat dari tindakan masyarakat yang merasa tidak tahu ataupun tidak mampu melakukan mengenai kegiatan politik tersebut.
Partisipasi pasif berbeda dengan partisipasi yang aktif. Partisipasi politik aktif dapat tercipta dalam suatu tatanan masyarakat manakala kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah setempat cukup tinggi. Kebijakan-kebijakan yang tidak lagi memihak kepada rakyat dapat membuat masyarakat bersikap skeptis terhadap perubahan yang lebih baik lagi di dalam negara dan berdampak pada sikap apatis yang ditunjukkan masyarakat.
Sikap masyarakat terhadap output kebijakan juga sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara masyarakat menyuarakan aspirasinya (voice) dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dalam masyarakat Kuta tinggi dan rendahnya aspirasi akan ditentukan pada bagaimana mereka memandang sebuah kebijakan apakah menguntungkan atau tidak bagi kelangsungan adat dan tradisi mereka, pandangan ini juga dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut, berupa aturan-aturan adat dan pantangan-pantangan (tabu) yang berlaku turun-temurun.
Mengenai apakah pola-pola partisipasi yang telah dilaksanakan di kampung kuta, berbeda dengan pandangan diatas menurut informan dari pemerintah desa, aspirasi masyarakat hanya muncul ketika berurusan dengan bantuan-bantuan dari pemerintah itu pun yang bantuan fisik saja, walaupun hanya bantuan yang bersifat stimulus, respon masyarakat akan tinggi. Masyarakat Kuta pada umumnya hanya menerima program-program pemerintah yang diterima begitu saja (taken for granted), akibatnya ketersediaan akses bagi masyarakat Kuta tidak bisa dioptimalkan. Berbeda dengan penjelasan diatas, masyarakat Kuta sendiri menganggap bahwa representasi wakil mereka di pemerintahan desa sebagai alasan mengapa akses terhadap aspirasi warga Kuta tersendat.
Jika dilihat, partisipasi politik masyarakat kuta dalam pemerintahan termasuk paling rendah dibandingkan dengan dusun lain di wilayah desa karangpaningal, namun demikian setidaknya masih ada beberapa wakil dari kuta yang duduk dalam pemerintahan, beberapa warga kuta yang terlibat dalam pemerintahan desa, diantaranya :
Table. 3 Reresentasi warga Kampung Kuta dalam Pemerintahan
No. Nama Peran dalam Pemerintahan
1 Warsim Setiawan Kaur Ek Bang
2 Warman Kepala Dusun
3 Maman Sarno, Saryo Anggota LMD
4 Warso Anggota BPD
5 Rasman Ketua RW
(Sumber : data primer diolah)
Alasan tersebut di respon pemerintah, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di kampung Kuta yang rendah menyebabkan kurang terakomodirnya aspirasi masyarakat, hanya saja pemerintah mengakui bahwa strategi pembangunan dari pemerintah ternyata tidak menjamin terakomodirnya aspirasi dari masyarakat, sehingga dengan banyaknya bantuan yang bersifat fisik, masyarakat Kuta menjadi semakin dimanjakan dengan program-program bantuan tersebut. Akibatnya partisipasi yang berkembang di masyarakat Kuta lebih kepada fisik implementatif. Sementara pada tahap perencanaan, kontrol dan evaluasi terhadap kebijakan dan program pemerintah masyarakat cenderung tidak terlibat sama sekali.
Kondisi ini menjadi demikian ironis karena masyarakat adat pada hakikatnya merupakan elemen penting yang menjadi bagian dalam masyarakat Indonesia, baik secara jumlah populasi maupun nilai budayanya. Sayangnya dari sebagian besar keputusan-keputusan politik, eksistensi komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses dan agenda politik dari pusat maupun daerah. Bahkan jarang sekali ada klausul atau regulasi yang memberikan ketegasan (jaminan) bagi partisipasi masyarakat adat.
Persoalan sumber daya manusia juga merupakan aspek yang menjadi sorotan dalam melihat partisipasi politik di Kampung Kuta. Pemerintah desa menganggap bahwa faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat kuta dalam setiap kebijakan yang ditingkat desa maupun daerah adalah faktor SDM, tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi yang rendah mengakibatkan aspirasi dan kontrol masyarakat adat terhadap perumusan kebijakan rendah pula, disamping itu tidak adanya peraturan dari pemerintah daerah yang menjamin itu.
Keberadaan peraturan pemerintah bagi masyarakat adat merupakan harapan agar eksistensi dan keberadaan mereka sebagai masyarakat adat di akui dan diberikan keleluasaan untuk menjalankan tradisi dan budaya mereka dengan tenang. Hanya saja pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat tidak lebih sebatas mengumpulkan simbol-simbol masyarakat adat dari berbagai penjuru Indonesia, tanpa mendalami makna dan hubungan timbal-balik simbol-simbol tersebut dengan alam sekitar mereka. Atau cenderung memusemkan masyarakat adat sebagai sekelompok manusia unik, atau memandang mereka sebagai orang terbelakang dan 'memaksa' mereka untuk hidup dengan cara-cara modern, yang sangat berbias pikiran kelompok dominan. Simbol-simbol adat (seperti tari-tarian ritual adat dan bentuk rumah) tetap dilestarikan sementara organisasi masyarakat adat dibiarkan merana.
Maka dari itu perlu strategi pengembangan partisipasi masyarakat adat, agar senantiasa mendapatkan jaminan dan akses terhadap keputusan-keputusan politik yang menyangkut masa depan kehidupan mereka. Hal ini juga yang disadari oleh pemerintah Desa Karangpaningal, menurutnya perlu peningkatan pendidikan dan pelatihan keterampilan, tentu saja pendidikan politik masyarakat lewat pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan kebijakan publik akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat adat dengan kekuatan tradisi dan lembaga adat yang dimilikinya.
Masyarakat adat merupakan unsur terbesar pembentuk Negara bangsa (nation state) Indonesia, komunitas-komunitas adat ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan warisan leluhur sebagai modal dasar bagi kehidupan masyarakat adat dalam mempertahankan hidupnya secara berkesinambungan dengan dibingkai oleh aturan adat yang disebut dengan hukum adat. Hukum adat tersebut jika dilihat dari kajian kebijakan publik maka dapat digolongkan kepada suatu produk dari suatu proses pembuatan kebijakan. Namun, kebijakan ini biasanya merupakan kabijakan yang berlaku dalam tataran lokal atau hanya dikenakan untuk masyarakat adat dimana hukum adat itu dibuat. Setiap masyarakat masyarakat adat bisanya memiliki hukum adatnya sendiri, namun banyak sekali hukum atau aturan-aturan adat itu yang tidak tertulis. Artinya hukum adat itu hanya ada dalam tataran pemahaman pikiran yang dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan baik dalam wilayah privat maupun dalam kehidupan di lingkungan masyarakat adatnya.
Berkaitan dengan hal ini menurut David Easton (dalam Islamy, 1984:19), public policy is the outhoritative allocation of values for the whole society atau pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat). Artinya dari pengertian ini maka dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat adat merupakan salah satu bentuk kebijakan publik karena seluruh masyarakat yang ada didalamnya tunduk dan melaksanakan aturan-aturan tersebut.
Namun apa yang terjadi di Kampung Kuta khususnya dalam hal kebijakan yang berbentuk aturan adat itu sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan publik yang lainya. Terlebih ketika dilihat dalam proses formulasinya dimana formulasi kebijakan menurut Lindblom (dalam Solihin Abdul Wahab, 1997:16) merupakan proses politik yang amat komplek dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya dan batas dari proses itu sesungguhnya tidak pasti, serangkaian kekuatan yang agak kompleks itu kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan. Pembuatan kebijakan yang berbentuk aturan-aturan ada di Kampung Kuta tidak melewati proses pembuatan kebijakan pada umumnya, namun aturan-aturan adat itu dibuat dan dikeluarkan oleh seorang Kuncen.
Sebagaimana dijelaskan pada bab dan sub-bab sebelumnya bahwa Kuncen adalah seorang keturunan langsung dari pendiri Kampung Kuta. Seorang Kuncen mempunyai kedudukan dan tempat tersendiri dalam proses penentuan aturan-aturan adat. Selain karena sebagai keturunan pendiri Kampung Kuta, kedudukannya itu diperkuat oleh adanya mitos-mitos tertentu. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya masyarakat Kampung Kuta merupakan suatu masyarakat yang menjalani kehidupannya dengan penuh ketaatan pada suatu pantangan-pantangan yang oleh masyarakat sekitas disebut dengan “pamali” yang diikuti oleh mitos-mitos yang memperkuatnya. Dengan kata lain, posisi dan kedudukan seorang Kuncen diperkuat melalui adanya larangan-larangan atau pantangan-pantangan tersebut khususnya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan Kampung Kuta. Selain itu, Kuncen berkedudukan sebagai satu-satunya perantara dalam menghubungkan antara dunia nyata dengan dunia supra-natural. Dengan begitu seorang Kuncen dalam masyarakat Kampung Kuta menjadi sangat penting dan berpengaruh.
Pengaruh yang sangat kuat dalam hal yang berkaitan aturan-aturan adat yang ada dan berlaku di Kampung Kuta menjadikan seorang Kuncen sebagai satu-satunya aktor dalam pembuatan dan penetapan aturan-aturan tersebut. Dengan dianggapnya Kuncen tersebut ditempatkan sebagai satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan menghubungkan dunia nyata dengan dunia supra-natural (arwah leluhur) maka apa yang dikatakan oleh Kuncen akan dijadikan aturan adat yang harus ditaati ketika Kuncen itu menyatakan bahwa apa yang dikatakannya itu merupakan wangsit atau petuah atau impen dari arwah leluhur. Jika kedudukan seorang Kuncen dalam pembuatan kebijakan yang berbentuk aturan-aturan ada itu dikaji dari teori kebijakan khususnya dari segi model kebijakan maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang berbentuk aturan-aturan adat tersebut dapat digolongkan ke dalam model kebijakan model elit. Menurut Silalahi (1989:39), kebijakan model elit adalah kebijakan sebagai preferensi elit. Dalam teori ini rakyat atau masyarakat umum dimana kebijakan itu diberlakukan dalam hubungannya dengan kebijakan tersebut dibuat apatis dan miskin informasi sehingga elitlah yang membentuk pendapat umum serta kebijakan mengalir dari elit kepada massa atau masyarakat melalui administrator-administrator. Elit pada proses kebijakan yang berbentuk aturan adat di Kampung Kuta adalah Kuncen, sedangkan administrator dalam hal ini adalah Ketua Adat dan para perangkat adat.
Kuncen menjadi satu-satunya elit yang paling berkuasa dalam pembuatan aturan-aturan adat. Untuk menguatkan kekuasaan itu, Kuncen menyampaikan kepada masyarakat tentang akibat yang akan menimpa masyarakat jika ada anggota dari masyarakat Kampung Kuta melanggar aturan-aturan itu. Sebagai contohnya ketika ada yang membuat rumah dari bahan tembok dan atap genting beberapa hari kemudian yang bersangkutan tiba-tiba sakit keras sampai akhirnya meninggal dunia. Dalam fenomena ini Kuncen menyatakan bahwa itu merupakan akibat dari yang bersangkutan tersebut melanggar salah satu aturan adat dimana aturan adat melarang pembuatan rumah dari bahan tembok dan atap genting.
Dalam pandangan kebijakan model elit masyarakat dibagi atas dua bagian yaitu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan. Kedua kelompok itu mempunyai kekuatan yang berbeda. Kelompok yang mempunyai kekuasaan itu dalam pembuatan aturan adat itu adalah Kuncen karena dalam hal ini Kuncen memiliki kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur dan memiliki kekuasaan untuk membuat aturan-aturan adat tersebut. Kelompok yang disebutkan memiliki kekuasaan diatas pada umumnya mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Hal ini terbukti dengan apa yang terjadi di Kampung kuta dimana sebagai perantara dalam menghubungkan dunia nyata dengan dunia supranatural yang diperankan oleh seorang Kuncen yang kedudukannya sangat khusus dengan beberapa aturan yang berkenaan dengan tatacara berkehidupan sesuai dengan aturan adat. Oleh karena itu, kedudukan seorang kuncen dalam masyarakat Kampung Kuta menjadi sangat tinggi dan berpengaruh. Penguatan atas status sosial tersebut dalam masyarakat Kampung Kuta adalah dengan dilakukannya ritual-ritual yang pelaksanaannya dipimpin oleh Kuncen. Dalam ritual-ritual adat yang dilaksanakan di Kampung Kuta pada hakikatnya adalah suatu proses legitimasi yang bersifat sakral. Dalam proses ritual-ritual tersebut juga menyangkut masalah stuktur sosial dalam sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Untuk menguatkan kekuasaan dan kedudukan sosial Kuncen dipakai penggambaran mitos-mitos yang dikaitkan dengan arwah leluhur atau karuhun yang hanya bisa dipanggil atau hanya bisa berhubungan dengan Kuncen tersebut.
Dalam pandangan model elit kebijakan tidak memantulkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat umum tetapi banyak mengutamakan kepentingan elit. Oleh karena itu perubahan terhadap kebijakan lebih banyak dilakukan secara lamban dan bertahap daripada bersifat revolusioner. Pandangan ini telihat pada masyarakat Kampung Kuta dimana aturan-aturan adat yang ada itu bukan merupakan keinginan sebagian besar masyarakat Kampung Kuta bahkan banyak diantara masyarakat Kampung Kuta mulai tidak sepaham dengan aturan-aturan adat itu. Hal ini juga mengakibatkan pola kehidupan masyarakat Kampung Kuta berlangsung dengan pola yang tetap. Artinya, tidak banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Kampung Kuta yang memang segala sapek kehidupannya terikat oleh aturan-aturan adat.
Dalam pandangan lain mengenai kebijakan model elit, elit secara aktif selalu berusaha agar dapat mempengaruhi massa yang sifatnya pasif. Massa yang pasif disini jika melihat masyarakat Kampung Kuta artinya masyarakat Kampung Kuta yang hanya melaksanakan aturan-aturan adat dan tidak pernah mempertanyakan secara kritis latar belakang, maksud dan tujuan, dan kenapa aturan-aturan adat tersebut dibuat. Elit dalam hal ini adalah Kuncen selalu mempengaruhi masyarakat Kampung Kuta untuk menaati aturan-aturan yang ada dengan memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat bahwasanya jikalau ada anggota masyarakat Kampung Kuta yang melanggar salah satu aturan adat maka ada akibat yang diterimanya baik yang menimpa individu yang bersangkutan maupun masyarakat Kampung Kuta secara umum. Oleh sebab itu, apapun yang dikatakan oleh Kuncen khususnya yang berkaitan tentang tata berkehidupan yang kemudian dijadikan aturan adat pasti akan dilaksanakan oleh semua anggota masyarakat Kampung Kuta dan jarang sekali ada anggota masyarakat yang berani melanggarnya.
Setiap dibuat atau dikeluarkan suatu kebijakan didalamnya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mempengaruhinya. Artinya, nilai-nilai tersebut dipakai oleh pembuat kebijakan untuk memberikan warna dalam kebijakan yang dibuatnya atau dengan kata lain nilai-nilai tersebut digunakan digunakan oleh pembuat kebijakan untuk menentukan arah ke mana kebijakan tersebut ditujukan. Menurut Anderson (dalam Winarno, 2002:93) nilai-nilai yang dipakai oleh pembuat kebijakan atau keputusan adalah nilia-nilai politik, nilai-nilai organisasi, nilai-nilai pribadi, nilai-nilai kebijaksanaan dan nilai-nilai organisasi. Dari nilai-nilai yang mempengaruhi kebijakan yang dikemukakan oleh Anderson tersebut jika dipakai untuk melihat nilai-nilai mana yang paling dominan dalam pembuatan aturan-aturan adat tersebut maka terlihat bahwa nilai-nilai yang paling dominan dalam pembuatan aturan-aturan adat tersebut adalah nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai pribadi dalam pembuatan kebijakan atau keputusan artinya adalah kriteria keputusan yang didasarkan pada usaha untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonomi, reputasi atau kedudukan. Berkaitan dengan hal ini,berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kampung Kuta terlihat bahwa nilai-nilai pribadi yang mempengaruhi pembuatan aturan-aturan adat di Kampung Kuta digunakan oleh Kuncen ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan reputasi dan kedudukannya dalam masyarakat Kampung Kuta.
Keputusan atau kebijakan yang demokratis adalah kebijakan yang dalam proses pembuatannya membuka selebar-lebarnya pintu partisipasi masyarakat. Khususnya masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebijakan yang dibuat tersebut. Dimana partisipasi disini dapat diartikan sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan kegiatan pembuatan kebijakan atau keputusan yang berbentuk aturan-aturan adat.
Keputusan atau kebijakan publik merupakan proses politik. Maka dengan demikian partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dapat dikatakan sebagai partisipasi politik. Menurut Lester W Milbrath dan M. Goel tipologi partisipasi politik berdasarkan tingkatannya terbagi kedalam tiga kelompok yaitu pertama, gladiator yang menempati tingkatan tertinggi dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Gladiator ini merupakan pemain atau orang yang sangat aktif dalam dunia politik atau dalam proses pembuatan keputusan. Kedua, spectator yang menempati tingkatan kedua dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Spectator ini merupakan penonton atau orang yang hanya menggunakan hak pillihnya dalam pemilu, selebihnya spectator ini hanya melakukan partisipasi dalam wilayah output seperti mentaati hukum atau aturan-aturan, membayar pajak atau retribusi ataupun memelihara ketertiban dan keamanan. Ketiga, Aphathethics yang menempati tingkatan terendah dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Aphathetics ini dengan kata lain adalah apatis atau orang yang tidak aktif sama sekali termasuk tidak mempergunakan hak pilihnya termasuk didalamnya tindakan untuk tidak melakukan apa-apa, seperti tidak memilih, tidak membayar pajak, tidak mentaati peraturan secara sengaja.
Berdasarkan temuan pada saat penelitian berkaitan tentang partisipasi politik dalam pembuatan keputusan adat yang berupa aturan-aturan adat. Maka dapat digambarkan bahwa masyarakat Kampung Kuta termasuk pada kelompok Spectator. Hal ini terlihat jelas ketika keputusan Kuncen yang kemudian dijadikan salah satu aturan adat dibuat tidak ada sebagian kecil pun dari anggota masyarakat Kampung Kuta yang berpartisipasi dalam hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh salah satunya adalah kedudukan Kuncen yang merupakan satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur. Dan apa yang menjadi keputusan kuncen dianggap oleh masyarakat Kampung Kuta sebagai keputusan arwah para leluhur yang harus dijadikan aturan adat yang harus ditaati, sehingga tidak ada seorang pun dari anggota masyarakat Kampung Kuta yang intervensi dalam pembuatan keputusan Kuncen.
b. Partisipasi Politik Masyarakat Kampung Kuta dalam Pembuatan Kebijakan di Tingkat Desa
Pada saat Indonesia memasuki babak baru sistem politik dengan diikuti terbukanya keran demokratisasi, segala bentuk kebijakan pun mengalami pergeseran nilai. Pada saat Indonesia dikuasai oleh rezim otoriter yang dipimpin oleh Soeharto. Kebijakan-kebijakan yang ada juga mencerminkan seperti apa sistem politik yang ada pada saat itu. Setiap kebijakan yang dibuat pada saat itu merupakan kebijakan yang ditujukan hanya untuk kepentingan para elit rezim. Kebijakan-kebijakan itu biasanya dibuat untuk memperkuat kedudukan para elit dan sistem politik yang telah dibentuknya. Jarang sekali kebijakan yang dibentuk untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam proses pembuatannya pun pada saat itu para elit menutup ruang partisipasi masyarakat. Masyarakat hanya dijadikan objek tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat merupakan sebagai preferensi elit saja.
Pergeseran nilai yang disebutkan diatas adalah nilai-nilai yang otoriter dan menutup ruang partisipasi politik masyarakat dalam pembuatan kebijakan menjadi terbukanya ruang partisipasi politik masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan yang dibuat lebih demokratis. Dengan perubahan-perubahan seperti ini juga membawa arus demokratisasi di tingkat pusat mengalir ke tingkat yang lebih rendah, ke tingkat lokal sampai pada tingkat desa. Hal ini kemudian menyebabkan pembuatan kebijakan di tingkat desa pun dibuat dengan demokratis. Kebijakan atau keputusan yang demokratis adalah keputusan atau kebijakan yang membuka ruang partisipasi politik bagi masyarakat umum.
Jika partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan warga masyarakat secara sukarela. Dan jika politik di tujukan sebagai segala aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan yang otoritatif untuk kesejahteraan umum maka partisipasi politik berarti keikutsertaan warga masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan atau keputusan. Dengan mengalirnya arus demokratisasi sampai tingkat desa maka pembuatan kebijakan di tingkat desa pun menjadi demokratis artinya membuka lebih luas akses masyarakat untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan atau keputusan yang dibuat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis khususnya dari hasil wawancara dengan para informan terlihat bahwa setiap kebijakan yang dibuat di Desa Karangpaninggal dibuat dengan melibatkan semua elemen masyarakat tanpa ada membeda-bedakan masyarakat baik berdasarkan status sosial maupun status ekonomi. Artinya siapapun dan apapun status sosial maupun seperti apapun kondisi ekonominya dari masyarakat Desa Tambaksari berhak berpartisipasi dalam membuatan kebijakan di Desa Karangpaninggal tersebut.
Setiap orang yang termasuk sebagai anggota masyarakat Desa Karangpaninggal berhak untuk berpartisipasi dalam setiap proses formulasi kebijakan di desanya. Dimana, formulasi kebijakan menurut Udoji (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:17) adalah keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengaturan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Terbukanya ruang partisipasi politik dalam setiap kebijakan di Desa Karangpaninggal berarti terbuka pula ruang partisipasi dalam setiap prosesnya. Artinya, tidak ada di setiap tahapan yang dilalui dalam setiap proses formulasi kebijakan di Desa Karangpaningal yang menutup ruang partisipasi politik bagi masyarakat. Menurut Budi Winarno (2002:80-84) tahapan dalam formulasi kebijakan dibagi menjadi empat tahap yaitu perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternative kebijakan untuk memecahkan masalah dan tahan penetapan kebijakan.
Berdasarkan fokus penelitian dan temuan data di lapangan bahwa masyarakat Kampung Kuta berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan tingkat desa dengan melalui anggota Badan Permusyawaratan Desa yang mewakili Dusun Kuta dan melalui Ketua Adat yang memang mempunyai status sosial khusus yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya di Desa Karangpaninggal. Dalam berpartisipasi masyarakat Kampung Kuta tidak dapat dipandang sebelah mata. Artinya masyarakat Kampung Kuta memiliki posisi tawar yang tinggi dalam pembuatan kebijakan di tingkat desa terlebih ketika kebijakan yang dibuat di tingkat desa itu berkaitan langsung dengan masyarakat Kampung Kuta. Sebagai salah satu contoh kasusnya adalah ketika dalam penyusunan Peraturan Desa Nomor 1 tahun 2010 tentang Rencana Anggaran Pendapatan Desa. Dalam peraturan desa tersebut diatur tentang pendapatan desa yang didalamnya terdapat pemasukan dari pengelolaan Tanah Kas Desa. Yang termasuk tanah kas desa tersebut adalah “tanah pangangonan” yang disewakan kepada masyarakat. Berdasarkan informasi yang didapat dari perangkat desa dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis, selain tanah pangangonan, tanah Kas desa yang lainya adalah tanah hutan yang oleh masyarakat Kampung Kuta dijadikan Hutan Keramat. Walaupun Hutan keramat tersebut termasuk kedalam tanah kas desa tetapi pengelolaannya tidak masuk kedalam penerimaan kas desa. Selain hal tersebut posisi tawar masyarakat kampung Kuta juga terlihat ketika Desa Tambaksari mengeluarkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Ketika program ini diimplementasikan, program ini tidak dapat diimplementasikan di wilayah Dusun Kuta. Hal ini dikarenakan masyarakat Kampung Kuta menolak Program tersebut karena bertentangan dengan aturan-aturan adat.
Secara kultural, masyarakat dusun Kuta berbeda dengan masyarakat dusun lain di Desa Karangpaningal, karena dalam kehidupan masyarakat Kuta nilai-nilai tradisi leluhur masiih dipegang dan dilestarikan secara turun temurun yang sesuai dengan karakteristik masyarakat adat.
Partisipasi politik yang berkembang dalam masyarakat adat Kampung Kuta dalam formulasi kebijakan bisa di lihat dalam dua proses. Pertama, partisipasi politik dalam proses kebijakan di internal komunitas adat, dan Kedua, partisipasi politik dalam proses formulasi kebijakan di tingkat desa.
Partisipasi politik dalam komunitas adat, lebih bersifat tertutup dengan model elitis, Kincen sangat berperan dalam menentukan kebijakan, sedangkan dalam akses perencanaan, control kebijakan adat masyarakat tidak terlibat sama sekali, hal ini di karenakan kekuatan tradisi yang memposisikan kuncen sebagai aktor utama yang mengeluarkan kebijakan adat.
Sedangkan partisipasi politik dalam tahapan atau proses formulasi kebijakan tingkat di Desa Karangpaninggal sudah berjalan dengan dengan mengikuti nilai-nilai yang demokratis. Artinya dalam proses ini ruang partisipasi politik masyarakat terbuka luas. Ruang partisipasi yang terbuka dalam proses formulasi kebijakan di Desa Karangpaninggal tersebut digunakan oleh masyarakat Kampung Kuta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan dengan jalan setiap aspirasi maupun tuntutan dari masyarakat Kampung Kuta disampaikan melalui wakilnya yang ada di Badan Permusyawaratan Desa dimana dari Badan Permusyawaratan Desa tersebut kemudian akan disampaikan kepada pemerintah Desa.
Namun demikian ruang untuk perpartisipasi tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sumber daya manusia dan tingkat pemahaman mengenai partisitisipasi politik yang rendah.
Daftar Pustaka
Apter, E. David. 1988. Pengantar Analisa Politik, alih bahasa Yasogama. CV Rajawali. Jakarta
Aziz, Munir. 1991. Partisipasi Politik Masyarakat dalam Sistem Pemerintahan Desa, P3IL Universitas Syah Kuala, Banda Aceh.
Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Duverger, Maurice.1981. Partai Politik Dan Kelompok Penekan. Alih Bahasa Laila Hasyim. Jakarta
Easton, David. 1984. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Haryanto. 1982. Sistem Politik; Suatu Pengantar. Liberty. Jakarta.
Hermansyah, Eman, 2009, Kampung Kuta Sebagai Kawasan Warisan Budaya Kabupaten Ciamis, Disbudpar Kabupaten Ciamis. Ciamis.
Islamy, Irfan. 1984. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta
Jones, O. Charles. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Nashir Budiman (ed), CV Rajawali Press. Jakarta
Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Sinar Baru. Jakarta
Lindlom, E. Charles. 1986. Proses Penetapan Kebijakan, Alih Bahasa Syamsudin Ardian. Erlangga. Jakarta
Mac Andrew, C. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Gajah Mada University. Yogyakarta
Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi dunia: Gerakan Sosial Dan Perubahan Politik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar dan Nasikun. 1987. Sosiologi Politik. PAU-Studi Sosial UGM. Yogyakarta
Miles, Mathew dan A. Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Nawawi, Handari M. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajahmada University Press. Yogyakarta
Nazir, Muhamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Putra, Fadillah. 2001. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik: Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Ripley, B. Randall. 1985. Policy Analisys in Political Science. Nelson-Hall Publishers. Chicago
Rush, Michael & Althoff, P. !988. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta.
Setiawan, Bonnie. 2000. Perjuangan Demokrasi dan Masyarakat Sipil: Reposisi dan Peran Ornop/LSM di Indonesia. INFID. Jakarta
Silalahi, Oberlin. 1989. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Negara. Liberty Yogyakarta
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Subakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana. Jakarta
Sukarna. 1981. Sistem Politik. Offset Alumni. Bandung
Susser, Bernard. 1992. Approaches to The Study of Politics. Macmillan Publishing Company. New York
Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif: dasar-dasar teoritis dan praktis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Varma, S.P. 1990. Teori Politik Modern. Rajawali Pers. Jakarta
Wahab, A. Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta. Jakarta
Wahab, A Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanan Negara. Bumi Aksara. Jakarta
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressido. Yogyakarta
Latar Belakang
Menggerakkan partisipasi masyarakat bukan hanya esensial untuk mendukung kegiatan pembangunan yang digerakkan oleh pemerintah, tetapi juga agar masyarakat berperan lebih besar dalam kegiatan yang dilakukannya sendiri. Dengan demikian, menjadi tugas penting manajemen pembangunan untuk membimbing, menggerakkan, dan menciptakan iklim yang mendukung kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Upaya itu dilakukan melalui kebijakan, peraturan, serta kegiatan pembangunan pemerintah yang diarahkan untuk menunjang, merangsang, dan membuka jalan bagi kegiatan pembangunan masyarakat.
Partisipasi masyarakat yang dimaksud disini tidak hanya dalam arti partiasipasi yang berbentuk partisipasi dalam pembangunan secara fisik, tetapi juga partisipasi dalam pembangunan politik. Partisipasi dalam arti ini dapat kita artikan sebagai partisipasi politik. Dimana partisipasi politik adalah keikutsertaan masyarakat atau pihak-pihak tertentu dalam kegiatan-kegiatan politik. Ketika politik diartikan sebagai policy dan ketika kita kaitkan dengan partisipasi masyarakat maka kita akan sampai pada bagaimana partisipasi masyarakat dalam pembuatan suatu kebijakan?
Dalam rangka pembangunan politik kearah yang lebih demokratis, partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan politik akan menjadi suatu keharusan. Dalam memahami partisipasi politik terdapat dua konsep yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok secara struktural fungsional. Pertama, warganegara dengan fungsi pemerintahan dan wewenang untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan public (public policy) yang bersifat autoritatif. Kedua, warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan tuntutan atau dukungan terhadap aktor politik tipe pertama. Termasuk dalam pengertian tuntutan dan dukungan tersebut adalah mengajukan aspirasi dan kepentingan berupa materi, hukum (G. Almond, 1965) mengajukan alternative kebijakan. Dari pengkotakan seperti ini dapat didefinisikan dan dibatasi bahwa partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warganegara preman (private citizen) bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan politik (Huntington dan Nelson, 1990: 6).
Dari konsep tersebut penelitian ini kemudian diarahkan untuk menganalisis partisipasi politik masyarakat Kampung Kuta yang menjadi bagian dari golongan masyarakat kedua yakni golongan warga negara tanpa fungsi pemerintahan tetapi mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan khususnya kebijakan di tingkat desa.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dari sudut pandang politik dan hukum, desa dipahami sebagai organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis mempunyai wewenang tertentu dalam struktur pemerintahan negara. Dengan sudut pandang ini, desa bisa kita pilah, dalam beberapa unsur penting : (1) adanya orang-orang atau kelompok orang; (2) adanya pihak-pihak yang menjadi penguasa atau pemimpin (pengambil keputusan); (3) adanya organisasi (badan) penyelenggara kekuasaan; (4) adanya tempat, atau wilayah yang menjadi teritori penyelenggaraan kekuasaan; (5) adanya mekanisme, atat aturan dan nilai, yang menjadi landasan dalam proses pengambilan keputusan (Team Work Lapera, 2001: 5).
Di Kabupaten Ciamis, tepatnya di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari terdapat suatu komunitas masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat setempat. Masyarakat sekitar menyebut komunitas masyarakat ini dengan sebutan masyarakat Kampung Kuta. Perilaku masyarakat kampung Kuta tidak ubahnya seperti perilaku yang ditunjukan oleh masyarakat badui yang ada di Banten dan Kampung Naga yang ada di Garut. Mereka sama-sama memegang teguh adat istiadat. Disini pengaruh-pengaruh dari luar mengalami hambatan untuk masuk ke dalam kehidupan mereka.
Karena Kampung Kuta ini termasuk di wilayah hukum dan wilayah administratif Desa Karangpaningal, maka bagaimana pun kondisi sosial politik dari masyarakat Kampung Kuta tetap harus tunduk pada kebijakan-kebijakan yang ada di Desa Karangpaningal, bahkan ketika pemerintah desa akan mengeluarkan kebijakan, masyarakat Kampung Kuta pun seyogyanya dilibatkan.
Dalam pembuatan suatu kebijakan baik itu dalam tataran nasional maupun lokal atau bahkan sampai tingkat desa, setiap elemen masyarakat harus dilibatkan. Hal ini penting untuk perkembangan demokrasi di negara ini. Ketika kondisi dalam pembuatan kebijakan ini menunjukan gambaran yang sebaliknya, maka dapat dipastikan produk kebijakan publik yang dihasilkan adalah kebijakan yang elitis yang pada umumnya hanya mengakomodasi kepentingan-kepentingan elit peguasa atau bahkan harus sampai mengorbankan kepentingan-kepentingan rakyat.
Dari latar belakang permasalahan diatas maka permasalahan yang akan dibahas, yaitu : Bagaimana partisipasi politik masyarakat Kampung Kuta dalam proses Formulasi kebijakan desa?
1. Partisipasi Politik
Sebenarnya konsep partisipasi politik hampir tidak dapat dipisahkan secara tegas namun untuk menghindari salah pemahaman dan untuk keperluan analisis hal tersebut harus dilakukan. Perbedaan antara kedua konsep ini berangkat dari anggapan bahwa dalam kehidupan bernegara masyarakat terbagi menjadi dua kelaompok secara struktural fungsional. Pertama, warganegara dengan fungsi pemerintahan dan wewenang untuk membuat keputusan politik berupa kebijakan public (public policy) yang bersifat autoritatif. Kedua, warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak dan kewajiban untuk memberikan tuntutan atau dukungan terhadap aktor politik tipe pertama. Termasuk dalam pengertian tuntutan dan dukungan tersebut adalah mengajukan aspirasi dan kepentingan berupa materi, hukum (G. Almond, 1965) mengajukan alternative kebijakan. Dari pengkotakan seperti ini dapat didefinisikan dan dibatasi bahwa partisipasi politik hanya sebagai kegiatan warganegara preman (private citizen) bertujuan mempengaruhi pegambilan keputusan politik (Huntington dan Nelson, 1990: 6). Istilah warganegara preman digunakan untuk menggantikan warganegara biasa tanpa fungsi pemerintahan.
2. Formulasi Kebijakan
Seperti wajarnya pada paradigma kritis dalam kebijakan publik, maka dalam fase formulasi kebijakan publik ini pun realitas politik yang melingkupi proses pembuatan kebijakan publik itu tidak boleh dilepaskan dalam fokus kajiannya. Formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam proses kebijakan publik secara keseluruhan. Oleh karenanya, apa yang terjadi pada fase ini akan sangat menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan dating. Lalu apa yang dimaksud dengan formulasi kebijakan itu?
Lindblom (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:16) mendefinisikan formulasi kebijakan publik (public policy making) sebagai berikut:
“An extremely complex, analytical and political process to which there is no beginning or end the boundaries of which are most uncertain. Somehow a complex set fo forces that we call policy-making all taken together, produces effect called policies”. (merupakan proses politik yang amat kompleks dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya dan batas dari proses itu sesungguhnya yang paling tidak pasti, serangkaian kekuatan yang agak kompleks itu kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan)
Dalam prosesnya banyak ahli yang merumuskan secara berbeda salah satunya adalah Udoji, seorang pakar kebijakan publik (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:17) merumuskan formulasi kebijakan ini sebagai berikut:
“The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solution into political demands, chanelling those demands into political system, seeking sanction or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”. (keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengaturan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Winarno (2002:80-84) membagi tahapan Formulasi kebijakan publik menjadi empat tahap, yaitu: perumusan masalah, (defining problem), agenda kebijakan, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah dan tahap penetapan kebijakan.
Perumusan Masalah
Agenda Kebijakan
Pemilihan Alternatif Kebijakan
Partisipasi Politik Masyarakat dalam Kebijakan Publik
Partisipasi Masyarakat dalam kebijakan publik memiliki 4 konsep pengertian, yakni:
Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal
Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal
Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publikbarang – barang publik
Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
C. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode Kualitatif Deskriftif. Dalam penelitian ini tekhnik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (Indeepth Interview), observasi langsung dan dokumentasi, tekhnik purposive sampling adalah tehnik yang digunakan untuk pengambilan sampel. Analisis data menggunakan metode analisis interaktif dan validitas data yang dipakai adalah tekhnik triangulasi data.
Tabel 1. Nama-Nama Informan Kunci
No Nama Informan Peran dalam Kemasyarakatan Adat Kuta Peran dalam Pemerintahan
1. Karman Ketua Adat -
2. Warsim Setiawan Tokoh Masyarakat Perangkat Desa
3. Sanmarno Sesepuh Adat/Wk. Ket -
4. Raswan Tokoh Masyarakat Ketua RW
5. Cartim Heryana - Sekdes Karangpaningal
6. Deni, S.IP - KaBid Kebudayaan Disbudpar Kab. Ciamis
7. Eman Hermansyah, A.Md - Kasi Sejarah dan Purbakala Ciamis
8. Mukti Harta, SE - Ka Bag. Pemetaan tanah, Dis Hut. Kab Ciamis
Partisipasi politik warga masyarakat adalah salah satu prinsip dasar dan sekaligus kunci yang wajib dipegang dalam masyarakat demokrasi. Partisipasi politik masyarakat merupakan suatu bentuk kegiatan yang bersifat empirik, bukan semata sikap atau kecenderungan warga negara biasa yang bermain dalam wilayah pemerintahan yang bertujuan mempengaruhi proses pengambilan keputusan (decision making). Keterlibatan masyarakat secara aktif dalam proses politik menjadi syarat mutlak, karena partisipasi itu akan melahirkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan.
Untuk melihat sejauhmana keterlibatan masyarakat adat dalam kebijakan publik, tentu saja harus melihat pola-pola partisipasi seperti apa yang digunakan masyarakat dalam kebijakan publik. Sutoro Eko (2006) membagi paling tidak ada empat pola partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat, yakni: Pertama, Voice (suara), yang terkait dengan aspirasi masyarakat dalam mempengaruhi pengambilan kebijakan pemerintah lokal; kedua, Akses, yakni kesempatan dan kemampuan masyarakat untuk masuk atau mencapai akses terhadap pembuatan keputusan maupun pengelolaan sumber daya lokal. Ketiga, Ownership (kepemilikan), yaitu rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat terhadap kebijakan maupun sarana-prasarana, dan pelayanan publik barang – barang publik, Keempat, Kontrol, yaitu kesempatan dan kapasitas masyarakat menilai dan melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan lokal maupun kebijakannya.
Dari hasil temuan dilapangan, setidaknya ada sepuluh aspek mengenai partisipasi politik masyarakat kampung kuta bahwa pemahaman pemerintah desa dan masyarakat adat mengenai partisipasi tidak jauh berbeda, pemerintah desa memiliki sudut pandang yang hampir sama dengan masyarakat adat. Aparat pemerintah desa memahami partisipasi sebagai keterlibatan warga masyarakat dalam setiap pembangunan baik dari desa dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Adapun makna keterlibatan disini lebih diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam menjalankan program-program pembangunan dari pemerintah secara fisik. Begitu pula dengan pemahaman masyarakat adat, mereka hanya menganggap bahwa partisipasi adalah keikuti sertaan dalam gotong royong dalam ataupun dalam kegiatan-kegiatan yang melibatkan masyarakat banyak.
Kedua pihak ini, membedakan pengertian dari partisipasi dan partisipasi politik, anggapan bahwa partisipasi politik hanya dimaknai sebagai keterlibatan warga masyarakat dalam kegiatan pemilihan umum, baik dalam kampanye maupun dalam memberikan hak suaranya sudah sangat umum dipahami oleh masyarakat Kampung Kuta, begitu juga dengan aparat pemerintah desa, meskipun memahami bahwa partisipasi politik membutuhkan keterlibatan aktif dalam bidang politik, namun tetap menyebutkan kegiatan pemilihan umum sebagai bentuk dari partisipasi politik.
Meskipun tidak bisa secara jelas dikatakan sebagai partisipasi tidak aktif, dari pemahaman mengenai partisipasi politik masyarakat Kuta bisa di kategorikan dengan apa yang disebut oleh Lester W. Milbrath (1960) sebagai partisipasi spectator, yakni partisipasi yang setidak-tidaknya hanya dilakukan dengan memberikan suara dalam pemilihan umum atau yang lebih dikenal sebagai partisipasi pasif. Partisipasi pasif ini bisa dilihat dari tindakan masyarakat yang merasa tidak tahu ataupun tidak mampu melakukan mengenai kegiatan politik tersebut.
Partisipasi pasif berbeda dengan partisipasi yang aktif. Partisipasi politik aktif dapat tercipta dalam suatu tatanan masyarakat manakala kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah setempat cukup tinggi. Kebijakan-kebijakan yang tidak lagi memihak kepada rakyat dapat membuat masyarakat bersikap skeptis terhadap perubahan yang lebih baik lagi di dalam negara dan berdampak pada sikap apatis yang ditunjukkan masyarakat.
Sikap masyarakat terhadap output kebijakan juga sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara masyarakat menyuarakan aspirasinya (voice) dalam pembuatan kebijakan tersebut. Dalam masyarakat Kuta tinggi dan rendahnya aspirasi akan ditentukan pada bagaimana mereka memandang sebuah kebijakan apakah menguntungkan atau tidak bagi kelangsungan adat dan tradisi mereka, pandangan ini juga dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut, berupa aturan-aturan adat dan pantangan-pantangan (tabu) yang berlaku turun-temurun.
Mengenai apakah pola-pola partisipasi yang telah dilaksanakan di kampung kuta, berbeda dengan pandangan diatas menurut informan dari pemerintah desa, aspirasi masyarakat hanya muncul ketika berurusan dengan bantuan-bantuan dari pemerintah itu pun yang bantuan fisik saja, walaupun hanya bantuan yang bersifat stimulus, respon masyarakat akan tinggi. Masyarakat Kuta pada umumnya hanya menerima program-program pemerintah yang diterima begitu saja (taken for granted), akibatnya ketersediaan akses bagi masyarakat Kuta tidak bisa dioptimalkan. Berbeda dengan penjelasan diatas, masyarakat Kuta sendiri menganggap bahwa representasi wakil mereka di pemerintahan desa sebagai alasan mengapa akses terhadap aspirasi warga Kuta tersendat.
Jika dilihat, partisipasi politik masyarakat kuta dalam pemerintahan termasuk paling rendah dibandingkan dengan dusun lain di wilayah desa karangpaningal, namun demikian setidaknya masih ada beberapa wakil dari kuta yang duduk dalam pemerintahan, beberapa warga kuta yang terlibat dalam pemerintahan desa, diantaranya :
Table. 3 Reresentasi warga Kampung Kuta dalam Pemerintahan
No. Nama Peran dalam Pemerintahan
1 Warsim Setiawan Kaur Ek Bang
2 Warman Kepala Dusun
3 Maman Sarno, Saryo Anggota LMD
4 Warso Anggota BPD
5 Rasman Ketua RW
(Sumber : data primer diolah)
Alasan tersebut di respon pemerintah, keterbatasan sumber daya manusia (SDM) di kampung Kuta yang rendah menyebabkan kurang terakomodirnya aspirasi masyarakat, hanya saja pemerintah mengakui bahwa strategi pembangunan dari pemerintah ternyata tidak menjamin terakomodirnya aspirasi dari masyarakat, sehingga dengan banyaknya bantuan yang bersifat fisik, masyarakat Kuta menjadi semakin dimanjakan dengan program-program bantuan tersebut. Akibatnya partisipasi yang berkembang di masyarakat Kuta lebih kepada fisik implementatif. Sementara pada tahap perencanaan, kontrol dan evaluasi terhadap kebijakan dan program pemerintah masyarakat cenderung tidak terlibat sama sekali.
Kondisi ini menjadi demikian ironis karena masyarakat adat pada hakikatnya merupakan elemen penting yang menjadi bagian dalam masyarakat Indonesia, baik secara jumlah populasi maupun nilai budayanya. Sayangnya dari sebagian besar keputusan-keputusan politik, eksistensi komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses dan agenda politik dari pusat maupun daerah. Bahkan jarang sekali ada klausul atau regulasi yang memberikan ketegasan (jaminan) bagi partisipasi masyarakat adat.
Persoalan sumber daya manusia juga merupakan aspek yang menjadi sorotan dalam melihat partisipasi politik di Kampung Kuta. Pemerintah desa menganggap bahwa faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat kuta dalam setiap kebijakan yang ditingkat desa maupun daerah adalah faktor SDM, tingkat pendidikan serta tingkat ekonomi yang rendah mengakibatkan aspirasi dan kontrol masyarakat adat terhadap perumusan kebijakan rendah pula, disamping itu tidak adanya peraturan dari pemerintah daerah yang menjamin itu.
Keberadaan peraturan pemerintah bagi masyarakat adat merupakan harapan agar eksistensi dan keberadaan mereka sebagai masyarakat adat di akui dan diberikan keleluasaan untuk menjalankan tradisi dan budaya mereka dengan tenang. Hanya saja pengakuan pemerintah terhadap masyarakat adat tidak lebih sebatas mengumpulkan simbol-simbol masyarakat adat dari berbagai penjuru Indonesia, tanpa mendalami makna dan hubungan timbal-balik simbol-simbol tersebut dengan alam sekitar mereka. Atau cenderung memusemkan masyarakat adat sebagai sekelompok manusia unik, atau memandang mereka sebagai orang terbelakang dan 'memaksa' mereka untuk hidup dengan cara-cara modern, yang sangat berbias pikiran kelompok dominan. Simbol-simbol adat (seperti tari-tarian ritual adat dan bentuk rumah) tetap dilestarikan sementara organisasi masyarakat adat dibiarkan merana.
Maka dari itu perlu strategi pengembangan partisipasi masyarakat adat, agar senantiasa mendapatkan jaminan dan akses terhadap keputusan-keputusan politik yang menyangkut masa depan kehidupan mereka. Hal ini juga yang disadari oleh pemerintah Desa Karangpaningal, menurutnya perlu peningkatan pendidikan dan pelatihan keterampilan, tentu saja pendidikan politik masyarakat lewat pelibatan masyarakat dalam setiap tahapan kebijakan publik akan meningkatkan kesadaran politik masyarakat adat dengan kekuatan tradisi dan lembaga adat yang dimilikinya.
Masyarakat adat merupakan unsur terbesar pembentuk Negara bangsa (nation state) Indonesia, komunitas-komunitas adat ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah yang merupakan warisan leluhur sebagai modal dasar bagi kehidupan masyarakat adat dalam mempertahankan hidupnya secara berkesinambungan dengan dibingkai oleh aturan adat yang disebut dengan hukum adat. Hukum adat tersebut jika dilihat dari kajian kebijakan publik maka dapat digolongkan kepada suatu produk dari suatu proses pembuatan kebijakan. Namun, kebijakan ini biasanya merupakan kabijakan yang berlaku dalam tataran lokal atau hanya dikenakan untuk masyarakat adat dimana hukum adat itu dibuat. Setiap masyarakat masyarakat adat bisanya memiliki hukum adatnya sendiri, namun banyak sekali hukum atau aturan-aturan adat itu yang tidak tertulis. Artinya hukum adat itu hanya ada dalam tataran pemahaman pikiran yang dijadikan landasan dalam menjalani kehidupan baik dalam wilayah privat maupun dalam kehidupan di lingkungan masyarakat adatnya.
Berkaitan dengan hal ini menurut David Easton (dalam Islamy, 1984:19), public policy is the outhoritative allocation of values for the whole society atau pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat). Artinya dari pengertian ini maka dapat disimpulkan bahwa aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat adat merupakan salah satu bentuk kebijakan publik karena seluruh masyarakat yang ada didalamnya tunduk dan melaksanakan aturan-aturan tersebut.
Namun apa yang terjadi di Kampung Kuta khususnya dalam hal kebijakan yang berbentuk aturan adat itu sedikit berbeda dengan kebijakan-kebijakan publik yang lainya. Terlebih ketika dilihat dalam proses formulasinya dimana formulasi kebijakan menurut Lindblom (dalam Solihin Abdul Wahab, 1997:16) merupakan proses politik yang amat komplek dan analisis dimana tidak mengenal saat dimulai dan diakhirinya dan batas dari proses itu sesungguhnya tidak pasti, serangkaian kekuatan yang agak kompleks itu kita sebut sebagai pembuatan kebijakan publik, itulah yang kemudian membuahkan hasil yang disebut kebijakan. Pembuatan kebijakan yang berbentuk aturan-aturan ada di Kampung Kuta tidak melewati proses pembuatan kebijakan pada umumnya, namun aturan-aturan adat itu dibuat dan dikeluarkan oleh seorang Kuncen.
Sebagaimana dijelaskan pada bab dan sub-bab sebelumnya bahwa Kuncen adalah seorang keturunan langsung dari pendiri Kampung Kuta. Seorang Kuncen mempunyai kedudukan dan tempat tersendiri dalam proses penentuan aturan-aturan adat. Selain karena sebagai keturunan pendiri Kampung Kuta, kedudukannya itu diperkuat oleh adanya mitos-mitos tertentu. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya masyarakat Kampung Kuta merupakan suatu masyarakat yang menjalani kehidupannya dengan penuh ketaatan pada suatu pantangan-pantangan yang oleh masyarakat sekitas disebut dengan “pamali” yang diikuti oleh mitos-mitos yang memperkuatnya. Dengan kata lain, posisi dan kedudukan seorang Kuncen diperkuat melalui adanya larangan-larangan atau pantangan-pantangan tersebut khususnya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan Kampung Kuta. Selain itu, Kuncen berkedudukan sebagai satu-satunya perantara dalam menghubungkan antara dunia nyata dengan dunia supra-natural. Dengan begitu seorang Kuncen dalam masyarakat Kampung Kuta menjadi sangat penting dan berpengaruh.
Pengaruh yang sangat kuat dalam hal yang berkaitan aturan-aturan adat yang ada dan berlaku di Kampung Kuta menjadikan seorang Kuncen sebagai satu-satunya aktor dalam pembuatan dan penetapan aturan-aturan tersebut. Dengan dianggapnya Kuncen tersebut ditempatkan sebagai satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan menghubungkan dunia nyata dengan dunia supra-natural (arwah leluhur) maka apa yang dikatakan oleh Kuncen akan dijadikan aturan adat yang harus ditaati ketika Kuncen itu menyatakan bahwa apa yang dikatakannya itu merupakan wangsit atau petuah atau impen dari arwah leluhur. Jika kedudukan seorang Kuncen dalam pembuatan kebijakan yang berbentuk aturan-aturan ada itu dikaji dari teori kebijakan khususnya dari segi model kebijakan maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan yang berbentuk aturan-aturan adat tersebut dapat digolongkan ke dalam model kebijakan model elit. Menurut Silalahi (1989:39), kebijakan model elit adalah kebijakan sebagai preferensi elit. Dalam teori ini rakyat atau masyarakat umum dimana kebijakan itu diberlakukan dalam hubungannya dengan kebijakan tersebut dibuat apatis dan miskin informasi sehingga elitlah yang membentuk pendapat umum serta kebijakan mengalir dari elit kepada massa atau masyarakat melalui administrator-administrator. Elit pada proses kebijakan yang berbentuk aturan adat di Kampung Kuta adalah Kuncen, sedangkan administrator dalam hal ini adalah Ketua Adat dan para perangkat adat.
Kuncen menjadi satu-satunya elit yang paling berkuasa dalam pembuatan aturan-aturan adat. Untuk menguatkan kekuasaan itu, Kuncen menyampaikan kepada masyarakat tentang akibat yang akan menimpa masyarakat jika ada anggota dari masyarakat Kampung Kuta melanggar aturan-aturan itu. Sebagai contohnya ketika ada yang membuat rumah dari bahan tembok dan atap genting beberapa hari kemudian yang bersangkutan tiba-tiba sakit keras sampai akhirnya meninggal dunia. Dalam fenomena ini Kuncen menyatakan bahwa itu merupakan akibat dari yang bersangkutan tersebut melanggar salah satu aturan adat dimana aturan adat melarang pembuatan rumah dari bahan tembok dan atap genting.
Dalam pandangan kebijakan model elit masyarakat dibagi atas dua bagian yaitu kelompok yang mempunyai kekuasaan dan kelompok yang tidak mempunyai kekuasaan. Kedua kelompok itu mempunyai kekuatan yang berbeda. Kelompok yang mempunyai kekuasaan itu dalam pembuatan aturan adat itu adalah Kuncen karena dalam hal ini Kuncen memiliki kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur dan memiliki kekuasaan untuk membuat aturan-aturan adat tersebut. Kelompok yang disebutkan memiliki kekuasaan diatas pada umumnya mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Hal ini terbukti dengan apa yang terjadi di Kampung kuta dimana sebagai perantara dalam menghubungkan dunia nyata dengan dunia supranatural yang diperankan oleh seorang Kuncen yang kedudukannya sangat khusus dengan beberapa aturan yang berkenaan dengan tatacara berkehidupan sesuai dengan aturan adat. Oleh karena itu, kedudukan seorang kuncen dalam masyarakat Kampung Kuta menjadi sangat tinggi dan berpengaruh. Penguatan atas status sosial tersebut dalam masyarakat Kampung Kuta adalah dengan dilakukannya ritual-ritual yang pelaksanaannya dipimpin oleh Kuncen. Dalam ritual-ritual adat yang dilaksanakan di Kampung Kuta pada hakikatnya adalah suatu proses legitimasi yang bersifat sakral. Dalam proses ritual-ritual tersebut juga menyangkut masalah stuktur sosial dalam sistem kemasyarakatan yang lebih luas. Untuk menguatkan kekuasaan dan kedudukan sosial Kuncen dipakai penggambaran mitos-mitos yang dikaitkan dengan arwah leluhur atau karuhun yang hanya bisa dipanggil atau hanya bisa berhubungan dengan Kuncen tersebut.
Dalam pandangan model elit kebijakan tidak memantulkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat umum tetapi banyak mengutamakan kepentingan elit. Oleh karena itu perubahan terhadap kebijakan lebih banyak dilakukan secara lamban dan bertahap daripada bersifat revolusioner. Pandangan ini telihat pada masyarakat Kampung Kuta dimana aturan-aturan adat yang ada itu bukan merupakan keinginan sebagian besar masyarakat Kampung Kuta bahkan banyak diantara masyarakat Kampung Kuta mulai tidak sepaham dengan aturan-aturan adat itu. Hal ini juga mengakibatkan pola kehidupan masyarakat Kampung Kuta berlangsung dengan pola yang tetap. Artinya, tidak banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat Kampung Kuta yang memang segala sapek kehidupannya terikat oleh aturan-aturan adat.
Dalam pandangan lain mengenai kebijakan model elit, elit secara aktif selalu berusaha agar dapat mempengaruhi massa yang sifatnya pasif. Massa yang pasif disini jika melihat masyarakat Kampung Kuta artinya masyarakat Kampung Kuta yang hanya melaksanakan aturan-aturan adat dan tidak pernah mempertanyakan secara kritis latar belakang, maksud dan tujuan, dan kenapa aturan-aturan adat tersebut dibuat. Elit dalam hal ini adalah Kuncen selalu mempengaruhi masyarakat Kampung Kuta untuk menaati aturan-aturan yang ada dengan memberikan suatu pemahaman kepada masyarakat bahwasanya jikalau ada anggota masyarakat Kampung Kuta yang melanggar salah satu aturan adat maka ada akibat yang diterimanya baik yang menimpa individu yang bersangkutan maupun masyarakat Kampung Kuta secara umum. Oleh sebab itu, apapun yang dikatakan oleh Kuncen khususnya yang berkaitan tentang tata berkehidupan yang kemudian dijadikan aturan adat pasti akan dilaksanakan oleh semua anggota masyarakat Kampung Kuta dan jarang sekali ada anggota masyarakat yang berani melanggarnya.
Setiap dibuat atau dikeluarkan suatu kebijakan didalamnya dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mempengaruhinya. Artinya, nilai-nilai tersebut dipakai oleh pembuat kebijakan untuk memberikan warna dalam kebijakan yang dibuatnya atau dengan kata lain nilai-nilai tersebut digunakan digunakan oleh pembuat kebijakan untuk menentukan arah ke mana kebijakan tersebut ditujukan. Menurut Anderson (dalam Winarno, 2002:93) nilai-nilai yang dipakai oleh pembuat kebijakan atau keputusan adalah nilia-nilai politik, nilai-nilai organisasi, nilai-nilai pribadi, nilai-nilai kebijaksanaan dan nilai-nilai organisasi. Dari nilai-nilai yang mempengaruhi kebijakan yang dikemukakan oleh Anderson tersebut jika dipakai untuk melihat nilai-nilai mana yang paling dominan dalam pembuatan aturan-aturan adat tersebut maka terlihat bahwa nilai-nilai yang paling dominan dalam pembuatan aturan-aturan adat tersebut adalah nilai-nilai pribadi. Nilai-nilai pribadi dalam pembuatan kebijakan atau keputusan artinya adalah kriteria keputusan yang didasarkan pada usaha untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonomi, reputasi atau kedudukan. Berkaitan dengan hal ini,berdasarkan penelitian yang dilakukan di Kampung Kuta terlihat bahwa nilai-nilai pribadi yang mempengaruhi pembuatan aturan-aturan adat di Kampung Kuta digunakan oleh Kuncen ditujukan untuk melindungi dan mengembangkan reputasi dan kedudukannya dalam masyarakat Kampung Kuta.
Keputusan atau kebijakan yang demokratis adalah kebijakan yang dalam proses pembuatannya membuka selebar-lebarnya pintu partisipasi masyarakat. Khususnya masyarakat yang berkaitan langsung dengan kebijakan yang dibuat tersebut. Dimana partisipasi disini dapat diartikan sebagai bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya dalam keseluruhan kegiatan pembuatan kebijakan atau keputusan yang berbentuk aturan-aturan adat.
Keputusan atau kebijakan publik merupakan proses politik. Maka dengan demikian partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan dapat dikatakan sebagai partisipasi politik. Menurut Lester W Milbrath dan M. Goel tipologi partisipasi politik berdasarkan tingkatannya terbagi kedalam tiga kelompok yaitu pertama, gladiator yang menempati tingkatan tertinggi dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Gladiator ini merupakan pemain atau orang yang sangat aktif dalam dunia politik atau dalam proses pembuatan keputusan. Kedua, spectator yang menempati tingkatan kedua dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Spectator ini merupakan penonton atau orang yang hanya menggunakan hak pillihnya dalam pemilu, selebihnya spectator ini hanya melakukan partisipasi dalam wilayah output seperti mentaati hukum atau aturan-aturan, membayar pajak atau retribusi ataupun memelihara ketertiban dan keamanan. Ketiga, Aphathethics yang menempati tingkatan terendah dalam piramida tingkatan partisipasi politik. Aphathetics ini dengan kata lain adalah apatis atau orang yang tidak aktif sama sekali termasuk tidak mempergunakan hak pilihnya termasuk didalamnya tindakan untuk tidak melakukan apa-apa, seperti tidak memilih, tidak membayar pajak, tidak mentaati peraturan secara sengaja.
Berdasarkan temuan pada saat penelitian berkaitan tentang partisipasi politik dalam pembuatan keputusan adat yang berupa aturan-aturan adat. Maka dapat digambarkan bahwa masyarakat Kampung Kuta termasuk pada kelompok Spectator. Hal ini terlihat jelas ketika keputusan Kuncen yang kemudian dijadikan salah satu aturan adat dibuat tidak ada sebagian kecil pun dari anggota masyarakat Kampung Kuta yang berpartisipasi dalam hal tersebut. Hal ini disebabkan oleh salah satunya adalah kedudukan Kuncen yang merupakan satu-satunya orang yang mempunyai kemampuan berhubungan dengan arwah leluhur. Dan apa yang menjadi keputusan kuncen dianggap oleh masyarakat Kampung Kuta sebagai keputusan arwah para leluhur yang harus dijadikan aturan adat yang harus ditaati, sehingga tidak ada seorang pun dari anggota masyarakat Kampung Kuta yang intervensi dalam pembuatan keputusan Kuncen.
b. Partisipasi Politik Masyarakat Kampung Kuta dalam Pembuatan Kebijakan di Tingkat Desa
Pada saat Indonesia memasuki babak baru sistem politik dengan diikuti terbukanya keran demokratisasi, segala bentuk kebijakan pun mengalami pergeseran nilai. Pada saat Indonesia dikuasai oleh rezim otoriter yang dipimpin oleh Soeharto. Kebijakan-kebijakan yang ada juga mencerminkan seperti apa sistem politik yang ada pada saat itu. Setiap kebijakan yang dibuat pada saat itu merupakan kebijakan yang ditujukan hanya untuk kepentingan para elit rezim. Kebijakan-kebijakan itu biasanya dibuat untuk memperkuat kedudukan para elit dan sistem politik yang telah dibentuknya. Jarang sekali kebijakan yang dibentuk untuk kepentingan masyarakat luas. Dalam proses pembuatannya pun pada saat itu para elit menutup ruang partisipasi masyarakat. Masyarakat hanya dijadikan objek tanpa memperhatikan apa yang diinginkan oleh masyarakat. Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat merupakan sebagai preferensi elit saja.
Pergeseran nilai yang disebutkan diatas adalah nilai-nilai yang otoriter dan menutup ruang partisipasi politik masyarakat dalam pembuatan kebijakan menjadi terbukanya ruang partisipasi politik masyarakat dalam setiap pembuatan kebijakan. Sehingga kebijakan yang dibuat lebih demokratis. Dengan perubahan-perubahan seperti ini juga membawa arus demokratisasi di tingkat pusat mengalir ke tingkat yang lebih rendah, ke tingkat lokal sampai pada tingkat desa. Hal ini kemudian menyebabkan pembuatan kebijakan di tingkat desa pun dibuat dengan demokratis. Kebijakan atau keputusan yang demokratis adalah keputusan atau kebijakan yang membuka ruang partisipasi politik bagi masyarakat umum.
Jika partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan warga masyarakat secara sukarela. Dan jika politik di tujukan sebagai segala aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan yang otoritatif untuk kesejahteraan umum maka partisipasi politik berarti keikutsertaan warga masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan atau keputusan. Dengan mengalirnya arus demokratisasi sampai tingkat desa maka pembuatan kebijakan di tingkat desa pun menjadi demokratis artinya membuka lebih luas akses masyarakat untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan atau keputusan yang dibuat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Desa Karangpaninggal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis khususnya dari hasil wawancara dengan para informan terlihat bahwa setiap kebijakan yang dibuat di Desa Karangpaninggal dibuat dengan melibatkan semua elemen masyarakat tanpa ada membeda-bedakan masyarakat baik berdasarkan status sosial maupun status ekonomi. Artinya siapapun dan apapun status sosial maupun seperti apapun kondisi ekonominya dari masyarakat Desa Tambaksari berhak berpartisipasi dalam membuatan kebijakan di Desa Karangpaninggal tersebut.
Setiap orang yang termasuk sebagai anggota masyarakat Desa Karangpaninggal berhak untuk berpartisipasi dalam setiap proses formulasi kebijakan di desanya. Dimana, formulasi kebijakan menurut Udoji (dalam Solichin Abdul Wahab, 1997:17) adalah keseluruhan proses yang menyangkut pengartikulasian dan pendefinisian masalah, perumusan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dalam bentuk tuntutan-tuntutan politik, pengaturan tuntutan-tuntutan tersebut ke dalam sistem politik, pengupayaan pemberian sanksi-sanksi atau legitimasi dari arah tindakan yang dipilih pengesahan dan pelaksanaan atau implementasi, monitoring dan peninjauan kembali (umpan balik).
Terbukanya ruang partisipasi politik dalam setiap kebijakan di Desa Karangpaninggal berarti terbuka pula ruang partisipasi dalam setiap prosesnya. Artinya, tidak ada di setiap tahapan yang dilalui dalam setiap proses formulasi kebijakan di Desa Karangpaningal yang menutup ruang partisipasi politik bagi masyarakat. Menurut Budi Winarno (2002:80-84) tahapan dalam formulasi kebijakan dibagi menjadi empat tahap yaitu perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternative kebijakan untuk memecahkan masalah dan tahan penetapan kebijakan.
Berdasarkan fokus penelitian dan temuan data di lapangan bahwa masyarakat Kampung Kuta berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan tingkat desa dengan melalui anggota Badan Permusyawaratan Desa yang mewakili Dusun Kuta dan melalui Ketua Adat yang memang mempunyai status sosial khusus yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya di Desa Karangpaninggal. Dalam berpartisipasi masyarakat Kampung Kuta tidak dapat dipandang sebelah mata. Artinya masyarakat Kampung Kuta memiliki posisi tawar yang tinggi dalam pembuatan kebijakan di tingkat desa terlebih ketika kebijakan yang dibuat di tingkat desa itu berkaitan langsung dengan masyarakat Kampung Kuta. Sebagai salah satu contoh kasusnya adalah ketika dalam penyusunan Peraturan Desa Nomor 1 tahun 2010 tentang Rencana Anggaran Pendapatan Desa. Dalam peraturan desa tersebut diatur tentang pendapatan desa yang didalamnya terdapat pemasukan dari pengelolaan Tanah Kas Desa. Yang termasuk tanah kas desa tersebut adalah “tanah pangangonan” yang disewakan kepada masyarakat. Berdasarkan informasi yang didapat dari perangkat desa dan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ciamis, selain tanah pangangonan, tanah Kas desa yang lainya adalah tanah hutan yang oleh masyarakat Kampung Kuta dijadikan Hutan Keramat. Walaupun Hutan keramat tersebut termasuk kedalam tanah kas desa tetapi pengelolaannya tidak masuk kedalam penerimaan kas desa. Selain hal tersebut posisi tawar masyarakat kampung Kuta juga terlihat ketika Desa Tambaksari mengeluarkan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Ketika program ini diimplementasikan, program ini tidak dapat diimplementasikan di wilayah Dusun Kuta. Hal ini dikarenakan masyarakat Kampung Kuta menolak Program tersebut karena bertentangan dengan aturan-aturan adat.
Secara kultural, masyarakat dusun Kuta berbeda dengan masyarakat dusun lain di Desa Karangpaningal, karena dalam kehidupan masyarakat Kuta nilai-nilai tradisi leluhur masiih dipegang dan dilestarikan secara turun temurun yang sesuai dengan karakteristik masyarakat adat.
Partisipasi politik yang berkembang dalam masyarakat adat Kampung Kuta dalam formulasi kebijakan bisa di lihat dalam dua proses. Pertama, partisipasi politik dalam proses kebijakan di internal komunitas adat, dan Kedua, partisipasi politik dalam proses formulasi kebijakan di tingkat desa.
Partisipasi politik dalam komunitas adat, lebih bersifat tertutup dengan model elitis, Kincen sangat berperan dalam menentukan kebijakan, sedangkan dalam akses perencanaan, control kebijakan adat masyarakat tidak terlibat sama sekali, hal ini di karenakan kekuatan tradisi yang memposisikan kuncen sebagai aktor utama yang mengeluarkan kebijakan adat.
Sedangkan partisipasi politik dalam tahapan atau proses formulasi kebijakan tingkat di Desa Karangpaninggal sudah berjalan dengan dengan mengikuti nilai-nilai yang demokratis. Artinya dalam proses ini ruang partisipasi politik masyarakat terbuka luas. Ruang partisipasi yang terbuka dalam proses formulasi kebijakan di Desa Karangpaninggal tersebut digunakan oleh masyarakat Kampung Kuta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kebijakan yang dikeluarkan dengan jalan setiap aspirasi maupun tuntutan dari masyarakat Kampung Kuta disampaikan melalui wakilnya yang ada di Badan Permusyawaratan Desa dimana dari Badan Permusyawaratan Desa tersebut kemudian akan disampaikan kepada pemerintah Desa.
Namun demikian ruang untuk perpartisipasi tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini dikarenakan sumber daya manusia dan tingkat pemahaman mengenai partisitisipasi politik yang rendah.
Daftar Pustaka
Apter, E. David. 1988. Pengantar Analisa Politik, alih bahasa Yasogama. CV Rajawali. Jakarta
Aziz, Munir. 1991. Partisipasi Politik Masyarakat dalam Sistem Pemerintahan Desa, P3IL Universitas Syah Kuala, Banda Aceh.
Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Duverger, Maurice.1981. Partai Politik Dan Kelompok Penekan. Alih Bahasa Laila Hasyim. Jakarta
Easton, David. 1984. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Alih Bahasa Sahat Simamora. Bina Aksara. Jakarta
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Haryanto. 1982. Sistem Politik; Suatu Pengantar. Liberty. Jakarta.
Hermansyah, Eman, 2009, Kampung Kuta Sebagai Kawasan Warisan Budaya Kabupaten Ciamis, Disbudpar Kabupaten Ciamis. Ciamis.
Islamy, Irfan. 1984. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Bumi Aksara. Jakarta
Jones, O. Charles. 1994. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), Nashir Budiman (ed), CV Rajawali Press. Jakarta
Kantaprawira, Rusadi. 1988. Sistem Politik Indonesia; Suatu Model Pengantar. Sinar Baru. Jakarta
Lindlom, E. Charles. 1986. Proses Penetapan Kebijakan, Alih Bahasa Syamsudin Ardian. Erlangga. Jakarta
Mac Andrew, C. 2001. Perbandingan Sistem Politik. Gajah Mada University. Yogyakarta
Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi dunia: Gerakan Sosial Dan Perubahan Politik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Mas’oed, Mohtar dan Nasikun. 1987. Sosiologi Politik. PAU-Studi Sosial UGM. Yogyakarta
Miles, Mathew dan A. Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta
Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung
Nawawi, Handari M. 1983. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gajahmada University Press. Yogyakarta
Nazir, Muhamad. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Putra, Fadillah. 2001. Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik: Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Ripley, B. Randall. 1985. Policy Analisys in Political Science. Nelson-Hall Publishers. Chicago
Rush, Michael & Althoff, P. !988. Pengantar Sosiologi Politik. Rineka Cipta.
Setiawan, Bonnie. 2000. Perjuangan Demokrasi dan Masyarakat Sipil: Reposisi dan Peran Ornop/LSM di Indonesia. INFID. Jakarta
Silalahi, Oberlin. 1989. Beberapa Aspek Kebijaksanaan Negara. Liberty Yogyakarta
Sorensen, Georg. 2003. Demokrasi dan Demokratisasi: Proses dan Prospek dalam Sebuah Dunia yang Sedang Berubah. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Subakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana. Jakarta
Sukarna. 1981. Sistem Politik. Offset Alumni. Bandung
Susser, Bernard. 1992. Approaches to The Study of Politics. Macmillan Publishing Company. New York
Sutopo, H. 1988. Pengantar Penelitian Kualitatif: dasar-dasar teoritis dan praktis. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Varma, S.P. 1990. Teori Politik Modern. Rajawali Pers. Jakarta
Wahab, A. Solichin. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Rineka Cipta. Jakarta
Wahab, A Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanan Negara. Bumi Aksara. Jakarta
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressido. Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar